Tahun Politik Imajinasi dan Indonesia Masa Depan

Oleh: Alfred Tuname

Alfred Tuname
Alfred Tuname

Hiruk-pikuk politik tahun 2014 ditandai dua peristiwa penting berikut: perebutan kursi legislatif melalui pileg pada 9 April lalu dan pergantian pucuk pimpinan lembaga eksekutif atau :presiden melalu pilpres Juli mendatang.

Setiap strategi politik dari mereka yang ikut menjadi kontestan dalam dua hal itu, ditandai dengan “jual-beli” idea.

Idea-idea tersebut diproduksi dan dikonstruksi oleh para politisi. Segenap daya, upaya dan tenaga dikerahkan untuk menghasilkan tawaran idea yang bernas. Secara umum, idea yang tawarkan oleh setiap politisi nyaris sama, yakni kesejahteraan dan keadilan.

Hanya saja, detail-detail program dan strategi untuk mencapai kesejahteraan bersama dan keadilan itu berbeda-beda pada level praksis.

Perbedaan detail program dan strategi itu mengantarkan kita para titik imajinatif akan kesejahteraan bersama dan keadilan. Imajinasi sangat penting agar setiap orang (konstituen) tidak mengalami myiopia politik.

Di sini, imajinasi membentuk perilaku dan pikiran seorang akan cita-cita politik yang lebih besar di masa mendatang. Dengan begitu, orang tidak lagi terjebak pada arus pikiran pendek dan pragmatisme politik.

Selain itu, resiko lain myopia politik adalah apatisme politik dan golput. Hal itu bermulai dari “kegagalan” dalam berimajinasi. Artinya, ada kegagalan dalam hasrat untuk mengetahui pilihan-pilihan politik dan tanda-tanda perubahan yang lebih baik.

Kegagalan itu akan menempatkan seseorang pada cermin labirin hiruk-pikuk politik riil yang penuh kepalsuan dan permainan kotor. Politik begitu pengap dengan intrik-intrik busuk, sehingga orang menjadi lupa akan satu yang esensial dalam politik, yakni pengabdian; sebuah pengabdian demi kesejahteraan dan kebaikan bersama.

Kesejahteraan dan kebaikan bersama merupakan mimpi bersama. Bahwa, segenap anak bangsa menginginkan kehidupan yang lebih baik. Dasarnya adalah keadilan. Ada distribusi kekayaan yang merata serta perhatian penuh kepada orang-orang miskin dan terlantar. Cara kerja politik dimulai dari fundamen itu.

Politik adalah ikthiar untuk mengabdi kepada sumber kekuasaan (:rakyat), sebab politik mengandaikan adanya kekuasaan. Demokrasi politik seharusnya bisa menangguhkan disparitas sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Demokrasi politik kian menjadi kering tanpa imajinasi. Tanpa imajinasi tentang kesejahteraan bersama, politik hanya menjatuhkan dirinya pada kubah perjuangan kering tak bermakna. Tanpa imajinasi tentang kebaikan bersama, maka politik akan kehilangan daya juang untuk membela rakyat kecil.

Dalam konteks politik, imajinasi merupakan perangkat konstruksi kehidupan bersama yang lebih baik dan lebih sejahtera. Ketika filsuf John Ralws menuliskan ide-ide keadilan, masyarakat maupun pemimpin harus mampu mendekati keadilan itu dengan konstruksi imajinatif. Ketika filsuf Jurgen Habermas menguraikan ide-ide tentang masyarakat komunikatif, masyarakat maupun pemimpin mampu membayangkan efektivitas demokrasi dalam partisipasi dialogis di ruang publik.

Oleh karena itu, politik menjadi seni dengan imajinasi sebagai perangkat konstruktif. Dengan imajinasi, politik menjadi aksi yang melampaui logika-logika ketakmungkinan. Politik adalah seni kemungkinan dalam ketakmungkinan politik an sich.

Imajinasi selalu berangkat dari ketakmungkinan; kondisi-kondisi sosial-politik manusia yang serba buruk, seakan tidak mampu berubah. Di situ, bersemayam memori akan kesengsaraan, ketidakadilan, kekerasan dan lain sebagainya.

Semua perkakas memorial itu membuat manusia merasa tersiksa bahkan takut akan hidup itu sendiri. Pesimisme dan apatisme politik menjalar dalam runtun kehidupan manusia. Imajinasi politik selalu melampaui ketertundukan manusia pada sikap pesimis dan apatis itu. Imajinasi politik selalu menubuh dalam politik harapan.

Kesejahteraan dan kehidupan bersama yang adil merupakan harapan kita. Politik dieram oleh harapan, sebab politik selalu dimulai dari kekurangan (the lack). Karenanya, politik selalu mensyaratkan mimpi; mimpi akan kesejahteraan dan kehidupan bersama yang adil.

Ciri fictive politik inilah yang melahirkan proyeksi konstruktif realitas politik. Teori-teori politik juga merupakan hasil proyeksi itu. Tujuannya adalah menciptakan suatu kondisi kehidupan bersama yang sejahtera dan adil.

Dengan demikian, tahun politik imajinasi merupakan sebuah tawaran akan cita-cita kehidupan bersama yang sejahtera dan adil. Bahwa, proliferasi korupsi, kolusi dan nepotime (KKN) telah memperburuk rupa politik tanah air. Cita-cita kehidupan bersama telah tergadaikan dengan kesengasaraan dan kemiskinanan.

Pasca peristiwa sengsara holocaust Nazi Jerman, Filsuf eksistensialis Prancis Jean-Paul Sartre, pernah mengatakan, “Setelah Auschwitz, tidak ada lagi puisi”. Dengan memimesis Satre, “setelah kesangsaraan dan kemiskinan rakyat lantaran laku pejabat yang korup, tidak adakah lagi politik yang poetik pada bangsa kita? Politik seharusnya poetik, sebab puisi adalah ungkapan kebenaran (the saying of truth) (Martin Heidegger, 1975). Kebenaran harus ada dalam politik.

Kebenaran adalah sumbu tahun politik imaginasi 2014, saat ini. Tahun politik imajinasi 2014 menyuguhkan suatu optimisme kehidupan bersama. Bahwa, bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa yang hebat dan kuat.

Hal itu mengandaikan kita mampu memimpikan pemimpin negara yang hebat dan merakyat. Pemimpin itu harus mampu merealisasikan mimpi bersama dan menyingkap kebenaran yang tertunda.

Alfred Tuname, pemerhati isu-isu sosial dan politik.

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini