Setelah Pileg Usai

Pastor Peter C Aman OFM
Pastor Peter C Aman OFM

Oleh: Pastor Peter C Aman OFM

Pemilihan anggota legislatif  (Pileg), yang menandai aktivitas masyarakat setahun ini, berakhir dengan hiruk-pikuk dan keriuhan baru. Harapan bahwa Pileg berlangsung “jujur, adil serta rahasia” ternyata jauh panggang dari api. Terlalu banyak fakta yang menyingkapkan kecurangan dan kejahatan, baik dalam pelaksanaan Pileg maupun dalam penghitungan suara sesudahnya.

Kecurangan dan kejahatan yang berlangsung selama kegiatan Pileg maupun sesudahnya, mendorong kita untuk mempertanyakan bukan saja kualitas, tetapi juga motivasi di balik “nafsu berkuasa” pada para calon legislatif (Caleg). Sekarang sudah mulai terkuak fakta jual-beli suara, penyelewengan dan kecurangan dalam penghitungan suara. Memang tak mudah menyelenggarakan pemilu yang benar-benar bebas, rahasia, jujur dan adil. Tetapi ketika kecurangan dan money politic atau politik uang semakin vulgar dan tak risih dilakukan, maka tak salah jika disimpulkan bahwa kualitas berdemokrasi kita semain buruk dan tidak bermutu.

Nafsu Berkuasa

Di balik praktek-praktek tak terpuji itu, sebenarnya tersingkap motivasi berpolitik dari para politisi kita. Politik telah mengalami kebangkrutan dan defisit makna. Peristiwa politik telah berganti rupa, menjadi arena pertarungan liar serta buas. Kecerdasan emosional, rasional dan moral tak hinggap dalam sanubari banyak politisi dan tim suksesnya. Yang dipentaskan adalah pertarungan fisik dan anti-etika dari manusia-manusia yang juga paceklik nurani dan etika. Kondisi seperti ini, menghancurkan dan melibas segelintir politisi yang bernurani dan berdedikasi. Dalam pertarungan seperti ini, ideologi, kecakapan berwacana politik serta kecerdasan etis dari segelintir politisi bernurani, menjadi ternista.

Yang disebut sebagai “pesta demokrasi”, telah menjadi pertarungan tanpa nurani. Sejatinya, tak ada pesta, tak ada demokrasi. Yang terjadi di pentas politik adalah kekerasan dan pemerkosaan terhadap demokrasi itu sendiri. Demos (rakyat) adalah korbannya, karena harga diri dan martabatnya sebagai rakyat tak lebih dari satu lembar rupiah. Suatu transaksi politik yang melecehkan kedaulatan rakyat, karena memanipulasi rakyat yang buta politik dan tak sadar, bahwa kedaulatan ada di tangan mereka.

Di sisi lain para politisi menelanjangi diri melalui perilaku politik yang seronok dan tak santun. Yang terlihat jelas ke permukaan adalah hasrat dan nafsu kuasa. Pemujaan dan keinginan berkuasa menjadi motivasi utama, dan untuk itu segalanya digadaikan: harga diri, kejujuran, kebaikan bahkan agama. Agama selalu menjadi alat politik dan para pemimpin agama dengan mudah dapat dikelabui. Perselingkuhan agama dan kekuasaan nyaris menjadi pertunjukan kolosal, demi suatu simbiose-mutualis yang semu dan memalukan.

Filantropis Palsu dan Musiman

Fakta lain yang menambah suasana hiruk-pikuk menjelang Pileg adalah munculnya banyak filantropis (dermawan) yang menawarkan kedermawanan kepada masyarakat. Filantropis model ini mempunyai karakter ini: ia muncul sekali dalam lima tahun menjelang Pemilu atau Pemilukada. Dia tampil modis dengan pencintraan diri penuh pesona. Kaum agamawan, ada juga yang turut bergadang serta berkelana bersama si deramawan, berkeliling meyakinkan umat agar si dermawan ini dipilih. Ketika kesuksesan dia raih, maka ia akan raib. Ibarat menunggu godot, ia akan datang lima tahun lagi.

Yang tragis adalah ketika kegagalan datang menimpa. Si dermawan menjadi pesakitan dan meradang menuntut mengembalikan bantuan yang diberikan. Politisi menjadi filantropis palsu dan musiman. Sejatinya, dia bukan dermawan, tetapi penggila kekuasaan yang akan memanfaatkan kekuasaan yang diraih untuk dirinya dan utang-utangnya. Politisi jenis ini jumlahnya banyak. Mereka menghimpit politisi bernurani, ibarat ilalang, menghimpit gandum.

Tak Salah Jika Tetap Berharap

Potret buruk seputar peristiwa politik Pileg tentu tak harus menguburkan asa. Banyak wajah baru, tak sedikit wajah lama. Entah baru, entah lama, untuk konteks NTT mereka dengan segera dihadapkan pada tantangan-tantangan yang tak kecil.

Memulai suatu budaya politik yang sehat adalah suatu tuntutan yang niscaya. Jika tak nyaman mendengar atau membaca cap-cap negatif terhadap para politisi, maka yakinlah dengan sungguh bahwa cap-cap itu bukan tanpa dasar, dan bahwa cap-cap negatif itu bukanlah tidak bisa dienyahkan. Mengintrodusir budaya politik yang sehat ke dalam partai-partai politik mesti menjadi agenda dengan prioritas. Maksudnya adalah untuk mengembalikan peran pokok partai politik sebagai institusi politik dengan tugas memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan merumuskan ideologi partai yang inklusif dan akomodatif terhadap kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Bagaimanapun juga rakyat muak melihat perilaku politisi, yang mengelabui rakyat untuk kepentingannya sendiri atau partainya. Cukuplah sudah perselingkuhan tak etis antara birokrasi dan wakil rakyat, yang merugikan rakyat. Wakil rakyat tak patut menjadi mainan birokrasi untuk melawan rakyat yang diwakilinya. Kasus-kasus pertambangan di NTT yang mengancam hajat hidup rakyat banyak serta masa depan NTT, bermula dari perselingkuhan itu. Rakyat akan terus tergilas ketika bangunan atas (legislatif, birokrasi dan korporasi) bermetamorfosa menjadi oligarki. Jangan salahkan rakyat jika suatu saat mereka bangkit, karena tak ada pilihan lain selain bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Selamat bertugas kepada anggota legislatif!***

Artikel ini sudah dimuat di Majalah FLORESA Edisi Mei 2014

spot_img

Artikel Terkini