Jokowi, Prabowo dan HAM

Prabowo-JokowiOleh: Usman Hamid,  aktivis mahasiswa pada 1998 dan pendiri Public Virtue Foundation dan Change.org Indonesia. Saat ini adalah kandidat M. Phil di Departemen Perubahan Sosial dan politik di Australian National University.

Komisi Pemilihan Umum Indonesia akan segera mengumumkan hasil perolehan suara dari pemilihan umum legislatif April lalu. Setelah itu, para partai politik hampir pasti akan segera mengumumkan para kandidat Presiden untuk dipilih pada 9 Juli mendatang. Hak asasi manusia sepertinya akan menjadi salah satu hal utama yang diperdebatkan. Menjelang masa pemilihan presiden dimana Joko Widodo dan Prabowo Subianto akan berhadapan sebagai pihak yang bertarung, mari kita menelisik rekam jejak mereka.

Rekam jejak Prabowo Subianto telah menjadi subyek politisasi, tetap juga materi debat yang kritis. Sebagai mantan komandan Kopasus, ia terimplikasi dalam penculikan aktivis pro demokrasi 1997/1998 di akhir masa Orde Baru.

Sebanyak 9 orang ditemukan hidup, 1 orang ditemukan meninggal dunia, 13 orang tidak pernah diketahui keberadaannya dan dianggap “hilang.” Orang-orang hilang ini dikategorisasikan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah aktivis mahasiswa dari Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yaitu Petrus Bimo Anugerah, Herman Hendrawan, Suyat dan Wiji Thukul. Kelompok kedua adalah para aktivis pendukung Megawati Soekarnoputri, yaitu Yani Afri, Sonny, M. Yusuf, Noval Al Katiri, Dedi Hamdun dan supirnya, Ismail. Kelompok ketiga adalah orang-orang yang menjadi saksi dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, seperti Hendra Hambali dan Yadin Muhidin.

Dua tahun lalu, saat wawancara eksklusif dengan pembawa acara TV, Dalton Tanonaka, Prabowo membantah bahwa ia telah memerintahkan penculikan dan penyiksaan terhadap para aktivis. “Saya tidak (akan) pernah memerintahkan penyiksaan (karena hal itu) sepenuhnya tidak sesuai dengan kebijakan saya. Saya tidak pernah memerintahkan hal yang disebut ‘pencuikan’ atau penahanan.”

Pernyataan ini dibiaskan dalam berbagai cara yang berbeda oleh kubu Prabowo. Bulan ini, pensiunan Kepala Kostrad, Mayjen Kivlan Zen bersikukuh bahwa Prabowo hanya “mengamankan” 9 aktivis, dimana akhirnya mereka dikembalikan dalam keadaan hidup. Kivlan menyalahkan bahwa “lawan” Prabowo membuat operasi lain, yaitu terhadap para aktivis yang masih hilang. Bulan lalu di bulan April, Fadli Zon, Wakil Ketua Gerindra membantah adanya tanggung jawab Prabowo kepada mereka yang masih hilang. Fadli mengakui bahwa unit khusus yang disebut Tim Mawar Kopassus pimpinan Prabowo telah mengamankan 9 orang aktivis dan mengembalikan mereka – tetapi ia menyatakan bahwa aktivis lain yang masih hilang telah diculik oleh “pelaku yang tidak diketahui.”

Pernyataan keduanya, baik Kivlan Zen maupun Fadli Dzon menyatakan bahwa Prabowo telah menculik para aktivis. Mereka hanya menempatkan Prabowo dalam kategori moral yang lebih tinggi dibandingkan lawannya, dimana mereka mengartikan bahwa yang dimaksud adalah pesaingnya yaitu Panglima TNI Jend. Wiranto. Mereka mengarahkan bahwa Jend. TNI Wiranto adalah otak di balik penculikan terhadap 13 aktivis.

Berpindah dari keriuhan kampanye, mari kita telusuri kembali hasil dari investigasi resmi. Pada awal 1998,terdapat tekanan publik yang intens meminta pemerintah mengembalikan para aktivis yang hilang dan menghukum para pelaku. Tekanan itu memaksa ABRI untuk membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada 3 Agustus 1998 untuk menginvestigasi para pejabat yang terlibat.

Dua minggu kemudian, Ketua DKP, Jen. Subagyo Hadisiswoyo merekomendasikan kepada Panglima TNI Jendral Wiranto, bahwa Letjen Prabowo, Mayjen Muchdi Purwoprandjono dan Kol. Chairawan harus dibawa ke proses hukum militer (lihat Kompas: DKP: Bawa Prabowo dan lain-lain, 15 Agustus 1998, halaman 1).

Pengadilan tidak pernah terjadi. Pada Agustus 1998, Wiranto memecat Prabowo dari tugas militer, berdasarkan rekomendasi DKP. Masih terbuka ruang dimana para pejabat ini akan dibawa sebelum pengadilan militer, tambah Wiranto. Anggota DKP, Letjen Agum Gumelar menyatakan bahwa Prabowo terbukti mengakui menculik 9 orang aktivis. (Lihat Kompas, Prabowo dipecat, Muchdi dan Chairawan dibebastugaskan, 25 Agustus 1998).

Sebuah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh Presiden BJ Habibie juga secara jelas menyatakan bahwa: …Dalam kasus penculikan, Letjen Prabowo dan semua aktor yang terlibat harus dibawa ke pengadilan militer.. (Lihat laporan final TGPF pada 13-14 Mei 1998, rekomendasi no. 2, 3 November 1998, halaman 19).

Yang agak terbaru adalah saat tahun 2006 Komnas HAM menyerahkan laporan penyelidikan pro justicia tentang penghilangan paksa pada 1997/1998. Temuan utama mereka adalah bahwa 23 aktivis telah diculik oleh Kopasus yang dipimpin oleh Prabowo. Mereka mengkonfirmasi bahwa 9 orang aktivis telah disiksa secara berat, satu orang aktivis dibunuh (Gilang) dan 13 orang sisanya dihilangkan. Temuan penting lain adalah bahwa beberapa orang aktivis yang diculik berada dalam fasilitas tahanan militer yang sama dengan aktivis yang masih hilang. Sebagian dari mereka bertestimoni bahwa mereka bertemu dengan Yani Afri atau Rian, salah satu dari 13 orang yang masih hilang.

Pada 2009, DPR mendukung laporan Komnas HAM dengan mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden SBY untuk membentuk pengadilan HAM adhoc. Meskipun demikian, Prabowo dan pejabat militer lain yang terlibat tidak pernah dibawa ke dalam proses hukum. Pengadilan yang jujur dan tidak memihak dibutuhkan untuk membuka dan mengkonfimasi peran dari mantan jendral militer yang dibutuhkan dalam pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk Prabowo.

Bagaimana dengan kandidat kedua, Joko Widodo? Bagaimana jejak HAMnya? Salah satu peristiwa menarik terjadi 3 minggu lalu saat Wakil Ketua Gerindra, Fadli Dzon menyerang Prabowo dengan menulis puisi. Ketika jurnalis bertanya kepada Jokowi apakah ia membaca puisi tersebut, Jokowi menjawab bahwa ia lebih menyukai puisi yang dibuat oleh Wiji Thukul, khususnyayang terkenal berjudul “Peringatan.”

Wiji Thukul adalah penyair Indonesia yang hilang pada tahun 1998 pada masa-masa demonstrasi yang mengarah pada jatuhnya Orde Baru. Ia kehilangan penglihatan di salah satu matanya setelah dipukul dengan popor senapan pada saat demonstrasi buruh, 1995. Puisi-puisinya mengajak orang-orang untuk berbicara kebenaran menjadi sebuah kekuatan.

Wiji Thukul adalah penyair kiri yang hilang pada akhir tahun 1990. Jokowi bersimpati kepada keluarga Wiji Thukul, mengunjunginya di Solo dan menawarkan bantuan. Bersama dengan kunjungan Jokowi ke Papua, ini semua tampaknya juga penting. Sayangnya Jokowi belum mengelaborasi visinya lewat sebuah pernyataan kebijakan yang jelas tentang HAM. Bahkan lebih buruk lagi, beberapa mantan jendral militer yang memiliki catatan yang problematik kini di sekitar Jokowi. Mereka adalah Letjen Jend (Purn) AM Hendropriyono dan Jend (Purn) Ryamizard Ryacudu.

Di masa Orde Baru, Hendropriyono adalah pemimpin militer tingkat tinggi yang menjadi Kepala BIN di bawah pemerintahan Megawati. Hendropriyono dan khususnya putranya, Diaz Hendropriyono, mengambil peran utama dalam barisan kampanye Jokowi meskipun hal ini sempat menimbulkan ketegangan dari aktivis pro demokrasi seperti Teten Masduki dan ahli pertahanan seperti Andi Widjajanto pada tim kampanye inti Jokowi, “Tim 11.”

Saat menjadi Komandan Korem 043/Garuda Hitam di Lampung pada 1998, Hendropriyono terlibat dalam serangan militer dini hari terhadap masyarakat sipil yang dituduh berusaha untuk mendirikan negara islam di dusun Cihideung, Talangsari, Lampung Tengah. Serangan terhadap 3 desa tersebut menyebabkan 27 orang meninggal dunia, 78 orang hilang, 5 orang hilang, dan 23 orang ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang (KontraS, 2008).

Kepala BIN AM Hendropriyono dan Wakil V BIN, Muchdi Purwopranjono juga terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap pembela HAM, Munir Said Thalib. Pada 2004, Presiden SBY membentuk sebuah tim pencari fakta atas kasus meninggalnya Munir dan dalam laporan akhirnya, TPF merekomendasikan penyidikan polisi terhadap Direktur Garuda, Indra Setiawan, Wakil V BIN Muchdi Hendropriyono dan Kepala BIN AM Hendropriyono.

Pada 2008, Indra terbukti terlibat dan diputus bersalah. Pada Juni 2008, Muchdi ditahan sampai selama proses penuntutan di pengadilan berakhir pada 31 Desember 2008.

Munir adalah aktivis yang mendirikan KontraS. Ia diracun di pesawat Garuda dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam pada September 2004.

Hal inilah yang membuat rekam jejak HAM terhadap dua orang kandidat Presiden yang bersaing terjalin secara ganjil. Muchdi bertindak sebagai komandan Kopasus di bawah Prabowo pada peristiwa penculikan 23 aktivis pro demokrasi. Pada pengadilan kasus Munir, penuntut umum mendakwa Muchdi memiliki motif untuk membunuh Munir karena aktivis muda ini telah mengungkap peran Muchdi pada peristiwa penculikan aktivis yang menyebabkan pemecatannya (bersama dengan Prabowo sebagai Panglima Kostrad) dari komandan jenderal Kopasus.

Muchdi adalah komandan Kopasus pada 1998 dan dipecat bersama Prabowo untuk kasus penghilangan paksa terhadap aktivis mahasiswa di tahun 1998. Pada tahun 2004, ia menjabat sebagai Wakil V BIN di bawah kepemimpinan Hendropriyono. Ia terlibat dalam pembunuhan Munir dan berada pada tahanan polisi selama 6 bulan, meskipun akhirnya dibebaskan dari seluruh dakwaan.

Tidak ada penyidikan lebih lanjut atas Hendropriyono dalam kematian Munir. Sepanjang hidupnya, Munir berjuang untuk keadilan dan menjadi target dari Hendropriyono.

Munir mewakili ratusan keluarga korban Talangsari 1989. Munir mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara ketika Megawati menunjuk Hendropriyono menjadi Kepala BIN pada tahun 2001. Munir juga mengkritisi Hendropriyono yang melaporkan 20 orang aktivis yang dituduh berbahaya pada pemilu 2004.

Nah, apa peluang keadilan bagi kasus Talangsari ketika Jokowi tetap menjaga hubungan kedekatan dengan AM Hendropriyono? Apa yang akan dilakukan oleh Jokowi jika istri Munir, Suciwati memintanya untuk bertindak atas temuan TPF yang menyebutkan keterlibatan Hendropriyono sebagai Kepala BIN dalam pembunuhan suaminya?

Persoalan serupa adalah pada jendral angkatan darat lain dalam lingkaran Jokowi, Ryamizard Ryacudu, seorang mantan KASAD yang dipertimbangkan sebagai wakil presiden Jokowi. Ryamizard telah dikenal atas posisi garis kerasnya tentang HAM dan separatis tanpa mempertimbangkan kebijakan pemerintah.

Ryamizard Ryacudu adalah mantan jendral militer yang terkenal memiliki garis keras juga terhadap isu separatisme. Ia dikenal dekat dengan Megawati dan sempat diangkat sebagai Panglima TNI di bawah pemerintahannya, meski tak terwujud karena peralihan kekuasaan. Karena itu, digadang-gadang memiliki peluang sebagi wakil presiden untuk Jokowi.

Sebagai Panglima TNI, Ryamizard telah sering bersikeras bahwa NKRI hanya dapat diselamatkan dengan memberikan peran yang lebih besar dan berpengaruh untuk TNI dalam memerangi separatisme. Pada saat darurat militer di Aceh yang membunuh ratusan jiwa, militer dibawah kepemimpinannya menolak negosiasi bagi solusi damai. “Tugas kami adalah menghancurkan kapasitas militer GAM. Issu atas keadilan, agama, otonomi, kesejahteraan sosial, pendidikan – hal tersebut bukanlah persoalan militer Indoensia,” ujar Ryamizard dalam sebuah wawancara dengan TIME Asia, 2 Juni 2003.

Pada April 2003, setelah pejabat militer dinyatakan terbukti bersalah dalam pembunuhan kepada pemimpin kemerdekaan Papua, Theys Hiyo Eluay, Ryamizard sebagai Panglima TNI membuat pernyataan publik yang menyatakan bahwa “Hukum menyatakan mereka bersalah. Mereka akan dihukum. Namun untuk saya, mereka adalah para pahlawan.”

Memasangkan Jokowi dengan seorang calon presiden seperti Ryamizard memungkinkan pemerintahan ke depan yang akan dia bentuk akan memilih sebuah pendekatan kebijakan militer dalam menangani isu hak asasi manusia dan konflik wilayah dengan isu separatisme. Bersama Ryamizard, Jokowi sepertinya akan kehilangan dukungan dari pemilih di Aceh dan Papua.

Tidak jelas seberapa jauh pengaruh para mantan jendral kepada Jokowi, tetapi tidak jelas pula mengapa Jokowi membiarkan dirinya dikelilingi dengan mereka sedari awal. Pada tahapan ini, Jokowi membutuhkan seseorang yang dapat bermain peran dalam mempengaruhi damai di Papua, sebagaimana telah terjadi pada GAM di Aceh. Dengan hubungan seperti ini, bagaimana Jokowi dapat memutuskan bahwa isu HAM, apalagi untuk menjawab pertanyaan korban untuk membawa para pelaku kejahatan ke pengadilan?

Secara keseluruhan, pilihan presidensial bagi para pemilih yang memiliki perhatian isu HAM sangat menyedihkan. Pelanggar HAM muncul untuk mengelola kekuasaan mereka dan mempengaruhi pusat politik Indonesia. Karena pemilu semakin dekat, media, masyarakat sipil dan para pemilih secara umum harus mendesak keduanya, kubu Prabowo dan Jokowi untuk mengklarifikasi posisi mereka terhadap pelanggaran HAM dan mereka harus memberikan penjelasan mengapa jenderal garis keras di masa lalu mesti diberikan peran dalam menentukan masa depan Indonesia.

Versi asli artikel ini dalam Bahasa Inggris muncul di situs Asiapacific.anu. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pencerahan bagi publik.

spot_img

Artikel Terkini