Kontroversi Peradilan Tumbak

Edi Danggur
Edi Danggur

Oleh: Edi Danggur, Advokat dan Dosen Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta

Pada tanggal 24 Juli 2014, PN Ruteng menjatuhkan vonis 3 (tiga) bulan penjara kepada 2 (dua) orang warga Kampung Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur masing-masing Rikardus Hama (52) dan Adrianus Ruslin (36). Majelis Hakim menyatakan keduanya terbukti melakukan tindak pidana “perbuatan tidak menyenangkan” sebagaimana diatur dalam Pasal 335 ayat (1) KUHPidana.

Putusan itu menuai protes karena Putusan MK No. 1/PUU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2014 sudah menyatakan frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan”dalam Pasal 335 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian, Pasal 335 ayat (1) tersebut hanya berbunyi: “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.

Beberapa media cetak dan media sosial memberitakan, jaksa dan hakim di PN Ruteng belum mengetahui adanya Putusan MK tersebut. Bahkan advokat dari kedua terpidana tersebut mengaku belum mengetahui frasa “perbuatan tidak menyenangkan” sudah dicabut dari Pasal 335 ayat (1) tersebut.

Ada dua persoalan di sini. Pertama, dapatkah kedua warga Tumbak tersebut divonis penjara dengan suatu unsur delik yang ternyata sudah dicabut atau tidak eksis lagi? Kedua, apakah ketidaktahuan aparat penegak hukum akan undang-undang (pencabutan frasa “perbuatan tidak menyenangkan”) dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf?

Asas Legalitas

Dalam hukum pidana berlaku asas legalitas (principle of legality) bahwa seseorang tidak boleh dihukum jika perbuatan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana tidak ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian kedua warga Tumbak tersebut tidak dapat divonis penjara dengan unsur delik yang terbukti sudah dicabut atau tidak eksis lagi dalam tata hukum Indonesia. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana: ”Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Asas legalitas ini diperkenalkan pertama kalinya oleh seorang ahli hukum Jerman, von Feuerbach (1775-1833) yang merumuskan adagium “nullum delictum, nulla poena sine praevia” (tidak ada delik, tidak ada pidana, tanpa peraturan lebih dulu). Artinya, seseorang tidak boleh dihukum, jika perbuatan yang diduga dilakukan oleh orang itu belum diatur dalam undang-undang.

Filosofi dari asas legalitas ini adalah untuk mengendalikan kesewenang-wenangan para penegak hukum dan naluri absolutisme para pemegang kekuasaan politik di masa lalu. Sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika terlebih dahulu telah ditentukan prbuatan-perbuatan mana saja yang dapat dipidana, agar masyarakat lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut.

Di Prancis pun asas legalitas ini mulai diperkenalkan sejak pecahnya Revolusi Prancis. Montesquieu dalam bukunya L’esprit des Lois (1748) dan Rousseau dalam bukunya Die Contract Social (1762) sama-sama memperkenalkan asas legalitas ini. Asas legalitas ini dirumuskan dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789), semacam UUD-nya orang Prancis, yang kemudian dimuat pula dalam Pasal 4 Code Penal Prancis yang berbunyi: “Tidak seorang pun boleh dipidana selain karena ada suatu ketentuan hukum yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundang-undangkan secara sah”.

Perumusan asas legalitas dalam UU di berbagai negara dimaksudkan agar dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang, bukan hanya tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan demikian orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi, sudah lebih dulu mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan.

Konsekuensi penerapan asas legalitas dalam hukum pidana. Pertama, seperti telah disinggung di atas: tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang. Kedua, untuk menentukan adanya perbuatan pidana, tidak boleh digunakan analogi atau kias. Ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

Dengan menerapkan asas legalitas, dakwaan perbuatan tidak menyenangkan terhadap kedua petani asal Tumbak seharusnya batal demi hukum. Sebab sejak tanggal 16 Januari 2014 MK telah mencabut atau menyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi frasa “perbuatan tidak menyenangkan “ dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP kita.

Tak Ada Alasan Pemaaf

Dalam hukum pidana, alasan pemaaf berarti alasan yang menghapuskan kesalahan seseorang. Jadi, walaupun perbuatan itu benar-benar telah dilakukan, dan benar-benar bersifat melawan hukum, dan karenanya tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi si pelaku tidak dipidana karena dianggap tidak ada kesalahan.

Dalam kasus Tumbak, ketidaktahuan aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) akan undang-undang (pencabutan frasa “perbuatan tidak menyenangkan”) dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf. Sebab dalam hukum berlaku prinsip universal dimana setiap warganegara dianggap tahu akan undang-undang ((iedereen wordt geacht de wet to kennen; nemo ius ignorare consetur). Konsekuensinya: ketidaktahuan akan hukum bukan merupakan alasan pemaaf (ignorantia legis excusat neminem).

Asas universal ini telah diadopsi dalam berbagai Putusan MA dimana tiap orang dianggap mengetahui aturan-aturan dan larangan-larangan dalam hukum, walaupun dalam kenyataannya tidak semua aturan dan larangan itu diketahui (Vide Putusan MA No.645K/Sip/1970 tanggal 10 Februari 1971).

Bahkan khusus bagi hakim, berlaku prinsip “ius curia novit” (hakim dianggap tahu akan hukum atau undang-undang). Sekalipun mungkin dalam kenyataannya, dengan begitu banyaknya undang-undang yang lahir dan/atau diubah dari waktu ke waktu, tidak semuanya diketahui oleh hakim. Prinsip ini tentu tidak berlebihan mengingat untuk jadi hakim, seseorang harus sarjana hukum. Bahkan sebelum memegang palu di pengadilan, seorang hakim wajib mengikuti pendidikan khusus calon hakim.

Hakim pun patut mengetahui bahwa hukum atau UU terbaru atau perubahan UU terbaru itulah yang mempunyai kekuatan hukum, dan harus diberlakukan, dengan mengalahkan pasal-pasal UU sebelumnya (judicio posteriora sunt in lege fortiora). Maka hakim tidak boleh hakim tenggelam dalam rutinitas penerapan pasal-pasal undang-undang yang lama, yang sudah dicabut atau tidak berlaku lagi.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh warga masyarakat yang menjadi korban dari penerapan frasa “perbuatan tidak menyenangkan” ex Pasal 335 ayat (1) KUHP yang sudah dicabut MK itu?

Pertama, secara teknis yustisial, jika upaya hukum biasa (banding dan kasasi) masih terbuka, gunakan upaya hukum banding dan kasasi tersebut. Kalaupun pun putusan sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), gunakan upaya hukum luar biasa: Peninjauan Kembali (PK) agar kedua warga Tumbak itu mendapatkan keadilan yang menjadi haknya sebagai warga negara.

Kedua, secara administratif, majelis hakim PN Ruteng tersebut seyogyanya dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dan KY diharapkan bisa melakukan sesuatu yang bisa mendorong agar keadilan segera didapatkan oleh kedua warga Tumbak. Di samping itu, diharapkan majelis hakim di PN Ruteng itu diberikan sanksi hukum agar mereka jera sehingga tak ada warga pencari keadilan yang akan jadi korban lagi di masa yang akan datang.

Artikel ini sebelumnya dimuat di Harian Flores Pos, Jumat 8 Agustus 2014. Dipublikasi kembali di sini untuk pencerahan publik.

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini