Gelar Pertemuan Ahli Waris Raja-raja, Pemprov NTT Ingin Lestarikan Budaya

Boawae, Floresa.co – Punahnya kekayaan budaya di daerah dapat mempengaruhi lunturnya budaya nasional. Sebelum masuknya kaum kolonial di Indonesia, bangsa Indonesia memiliki sistem kerajaan dengan kebudayaan yang memperkokoh persatuan suatu daerah. Setelah kemerdekaan, peranan kaum bangsawan atau raja-raja di daerah di seluruh Indonesia semakin berkurang.

Hal ini dijelaskan Kepala Bidang Kebudayaan di Dinas Kebudayaan dan Pendidikan Nusa Tenggara Timur, Falentinus Khalu saat membuka acara dialog budaya dan rapat tahunan ahli waris raja-raja Rayon II, yaitu Flores dan Lembata di Kampung Boawae, Kabupaten Nagekeo, Kamis (2/10/2014).

Pelestarian budaya daerah sebagai pilar budaya nasional yang berkelanjutan, kata dia mulai dibangkitkan di NTT. Karena itulah, dialog ini diadakan.

Acara ini juga bertujuan untuk konsolidasi para ahli waris raja-raja yang dibagi dalam tiga rayon, yaitu rayaon Sumba, Flores dan Lembata serta Timor.

Kata Falentinus, adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat merupakan salah satu modal sosial yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan.

Ia juga menjelasksan, dialog budaya ini bermaksud mengakomodasi keanekaragaman lokal untuk memperkokoh kebudayaan nasional, terjaga, terlindungi dan terbinanya adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat.

Bupati Nagekeo, Elias Djo menjelaskan, sejarah mencatat, jauh sebelum kedatangan para penjajah, keberadaan para raja di bumi Nusantara tidak terkecuali di Flores dan Lembata sangat disegani oleh rakyatnya.

Raja-raja di bumi Nusantara, kata dia, memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat pada zamannya.

Meski kemudian peran itu agak bergeser karena kadang harus tunduk pada kemauaan kaum colonial, namun jelasnya, kredibilitas kepemimpinan seorang raja pada jaman itu sangat diakui oleh rakyatnya.

Peran raja berangsur-angsur berkurang sesuai dengan tataran hukum yang berlaku di Republik Indonesia pasca kemerdekaan.

Tatkala peran para raja berkurang dalam tatanan kepemerintahan, lanjut Elias, keberadaan golongan bangsawan ini tetap memiliki pengaruh penting dalam aspek budaya dan adat istiadat.

Sementara itu, Silvester  Teda Sada, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nagekeo sekaligus Ketua Penyelenggara dialog budaya ini menjelaskan, kegiatan dialog budaya ini digelar setiap tahun untuk membangkitkan kesadaran dan kesepahaman bersama segenap komponen masyarakat mengenai pentingnya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.

Silvester mengatakan, ahli waris raja-raja Flores-Lembata pada 2013 lalu di Maumere telah membentuk forum ahli waris yang meliputi ahli waris Lembata, Larantuka, Raja Nita, Raja Sikka, Raja Lio, Raja Ende, Raja Nagekeo, Raja Bajawa, Raja Riung dan Raja Manggarai.

Kata dia, bukan feodalisme dan kekuasaan baru yang mau dimunculkan, tetapi semangat kebijaksanaan dan kearifan budaya yang telah diwariskan leluhur yang hendak digali dan dikembangkan.

“Ahli waris Raja-Raja Flores-Lembata dilibatkan dalam memikirkan pembangunan di masing-masing daerah demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya,” jelasnya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pendidikan Nusa Tenggara Timur, Sinun Petrus Manuk mengatakan, membangun kebudayaan tidak terlepas dari berbagai elemen masyarakat seperti pewaris kerajaan, pemangku adat, budayawan dan pemerhati budaya untuk mempertahankan nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya.

Petrus menjelaskan, nilai-nilai budaya tersebut dapat menjadi fundasi bagi pembangunan mental bangsa yang mengacu kepada nilai-nilai luhur yang ada. Bahkan, saat ini budaya menjadi bagian penting dalam membangun pendidikan karakter yang dapat menyelamatkan bangsa dari degradasi moral.

“Masyarakat harus menyikapi secara arif hadirnya budaya asing, namun, tidak meninggalkan budaya lokal yang dimiliki sehingga dapat saling melengkapi,” ajaknya. (Markus Makur)

spot_img

Artikel Terkini