Wajah Sekolah – Rupa Masyarakat

Pastor Paul Budi Kleden SVD
Pastor Paul Budi Kleden SVD

Oleh: PASTOR PAUL BUDI KLEDEN SVD, Dosen STFK Ledalero

“Membaca kertas ujian mahasiswa itu seperti membaca jiwa manusia”, demikian kata seorang rekan dosen yang sudah lebih dari empat puluh tahun mengabdi di salah satu perguruan tinggi di NTT.

Menurutnya, dari apa yang ditulis dan bagaimana mahasiswa menulis dapat dibaca banyak aspek dari kepribadiannya. Entahkah seorang mahasiswa/i adalah orang yang tenang atau penuh ketegangan, orang yang sedang punya masalah atau tanpa beban, dapat diperhatikan kalau dosen membaca dengan saksama kertas ujian si mahasiswa.

Juga dapat diketahui, entahkah si mahasiswa/i mempunyai minat yang besar terhadap kuliah yang diampu dosen atau tidak. Kertas ujian menjadi sarana revelasi diri seseorang.

“Membaca karangan ilmiah para calon mahasiswa di sini adalah membaca wajah pendidikan NTT yang semakin buram”, kata seorang sahabat dosen muda dari perguruan tinggi yang sama waktu lalu.

Alur berpikir yang tidak jelas, lompatan gagasan yang membingungkan dan penguasaan tata bahasa Indonesia yang sangat miskin adalah gejala yang sangat sering diamatinya ketika membaca karya-karya ilmiah tersebut. Kesalahan yang paling sering muncul adalah kalimat tanpa subjek atau predikat.

Kedua pernyataan di atas berbicara mengenai membaca sesuatu yang lebih jauh ketika berhadapan dengan sesuatu, membaca suasana kejiwaan dan kepribadian seorang mahasiswa saat memeriksa kertas ujiannya, membaca wajah pendidikan NTT ketika mengoreksi tulisan ilmiah para calon mahasiswa.

Apa yang dapat kita baca ketika mengamati kondisi pendidikan di NTT? Apakah kondisi ini merujuk pada sesuatu yang lebih jauh?

Apabila kita mempersempit pendidikan pada sekolah, maka dapat dikatakan bahwa sekolah adalah cerminan untuk membaca sebuah masyarakat. Kita dapat melihat sekolah sebagai masyarakat mini. Begitu sekolah, demikian masyarakatnya.

Sekolah yang disenangi anak-anak yang datang untuk menimba ilmu sebagai bekal petualangannya lebih lanjut mencerminkan masyarakat yang memiliki daya juang yang tinggi, yang menanamkan cita-cita dan dorongan untuk bermimpi dalam diri kaum mudanya.

Sebaliknya, masyarakat yang jenuh, yang sudah tidak banyak lagi bercita-cita, yang tidak memberikan penghargaan terhadap prestasi seseorang, dapat dibaca dari sekolah-sekolah yang hanya menjadi tempat kaum muda menghabiskan waktu terbaik hidupnya dengan tindakan-tindakan yang sama sekali tidak berguna.

Sekolah yang teratur dan tertib, di mana para siswa/inya saling menghargai, adalah pantulan dari masyarakat yang saling menghargai.

Sekolah merupakan barometer yang sangat baik untuk memantau dan menilai derajat kemajuan sebuah masyarakat. Sekolah merupakan cermin yang sangat jelas, yang secara jujur mengungkapkan sejumlah tendensi di dalam masyarakat.

Brutalitas dan kesediaan menggunakan kekerasan di dalam sebuah masyarakat ditunjukkan juga di halaman sekolah dalam berbagai kelakuan dan tingkah anak. Struktur otoritas yang ada di dalam masyarakat dipamerkan di tempat bermain di sekolah: entahkah yang disegani adalah yang pintar dan mempunyai otak, ataukah yang mempunyai otot dan tinju yang mudah dikepalkan, atau uang dan kekayaan.

Nilai mana yang tengah dikejar di dalam masyarakat dapat dilihat di sekolah: apakah nilai persahabatan atau kekuatan/kekerasan, nilai keindahan atau kelonggaran.

Kalau demikian, sebelum sekolah dapat memberikan sesuatu kepada masyarakat, sekolah sudah sangat ditentukan oleh masyarakat, oleh semangat zaman. Sebelum sekolah menghasilan manusia untuk hidup dan berkarya di dalam masyarakat, sekolah sudah terlebih dahulu dihasilkan oleh masyarakat. Bagaimana masyarakat, siapa masyarakat, itu dapat dibaca di sekolah.

Saya kira, hal ini pun dapat diamati di NTT. Sekolah-sekolah kita perlahan bergeser perannya dari tempat pembentukan orang untuk masuk ke dalam masyarakat, tempat pendidikan nilai dan pengalihan ketrampilan dan informasi, menjadi tempat show bagi mental dan semangat yang tengah menjiwai masyarakat kita.

Di kampung-kampung mungkin kita masih menemukan sekolah sebagai tempat pendidikan nilai. Tetapi peran ini pun akan segera berkurang. Sebab di samping beban tugas para guru yang semakin berat, para guru itu pun semakin sering tidak tinggal di tempat kerjanya, sementara pendidikan nilai membutuhkan tokoh referensi.

Pada guru di NTT dulu umumnya tinggal di kampung tempat dia mengajar. Sekarang, karena perbaikan kondisi perhubungan, guru bisa tinggal di kampung yang cukup jauh. Dengan itu peran guru sungguh dibatasi hanya pada jam mengajar sebagai pengajar.

Selain itu, dengan masuknya media massa, masuk pula semakin banyak figur yang dapat dijadikan idola. Nilai akan diteruskan oleh orang yang dianggap mempunyai kewibawaan, orang yang dihargai dan disukai.

Sesuatu mempunyai nilai yang lebih tinggi di mata saya, apabila sesuatu itu juga mempúnyai tempat yang istimewa pada orang yang saya hargai. Karena itu, banyak institut karitatif misalnya mencari dukungan dari figur-figur publik yang telah menjadi idola banyak orang, untuk memperluas nilai karitatif yang diperjuangkannya. Banyak artis dan pemain sepakbola menjadi duta UNICEF, karena mereka ini lebih sanggup menanamkan sebuah nilai di dalam diri para remaja daripada banyak guru dan orangtua.

Nilai tidak dapat hanya dikotbahkan. Memang nilai membutuhkan pendasaran, dan untuk kita perlu pula membuka wawasan orang untuk mengenal dan mengeritik nilai secara kritis, tetapi pewarisan nilai dilakukan karena kedekatan cita-cita, karena kepanutan.

Dan, era globalisasi yang perlahan menghadirkan antene-antene parabola di kampung-kampung kita menghadirkan pula semakin banyak tokoh panutan, orang-orang yang menjadi referensi nilai.

Dalam alur argumentasi yang sama, jika orang mengeluh tentang kekerasan di sekolah, maka sebenarnya orang itu harus mengkritik secara tajam kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat. Anak yang dibesarkan dalam iklim kekerasan oleh orangtua, akan berlaku keras terhadap sesama siswanya.

Masyarakat yang tidak dengan tegas mengencam kekerasan tetapi mentolerirnya malah mengaguminya, sebenarnya merupakan rahim yang melahirkan para pelajar yang doyan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Kondisi ini bertambah parah apabila guru pun menggunakan kekerasan.

Satu gejala lain dalam pendidikan di NTT dan Indonesia pada umumnya adalah ramainya praktik menyontek. Gejala ini pun perlu dibaca dalam konteks masyarakat seluruhnya. Ketika penggunaan jalan pintas untuk mencapai hasil didiamkan dan dibenarkan masyarakat, maka tidak perlu ada keheranan apabila praktik nyontek menjadi marak.

Saat orang mengamini saja pelaku korupsi, ketika itu nyontek perlahan tidak dipandang sebagai masalah yang menggugat nurani. Pembiasaan warga pada penyimpangan kewenangan berakibat pada memubudayanya praktik menyontek.

Situasi menjadi semakin memprihatinkan apabila guru pun membantu praktik ini ketika musim ujian nasional supaya nama sekolah tidak tercemar dan martabat provinsi tidak lagi tercoreng sebagai provinsi orang-orang bodoh di Indonesia.

Persoalan pendidikan di mana saja, juga di NTT, adalah masalah masyarakat. Sekolah bukanlah ruang tertutup dari masyarakat. Masyarakat memainkan bagian sangat sentral dalam permasalahan pendidikan di NTT.

Sebab itu, masyarakat pun menjadi bagian sangat sentral bagi penyelesaiannya. Tanpa komitmen seluruh masyarakat untuk mengubah diri, pendidikan di sekolah akan terus memproduksi kebohongan. Masyarakat hanya akan berubah, apabila ada keprihatinan terhadap kondisi yang ada.

Dan, orang hanya menjadi prihatin, apabila orang membuka mata untuk melihat kepincangan yang ada. Kita memang mengalami kepincangan, antara wilayah kita dengan wilayah lain, antara apa yang kita bisa lakukan dan dengan yang secara konkret kita hasilkan.

Kepincangan bisa diatasi. Tekad perubahan mesti menjadi kehendak bersama, dan muaranya adalah sekolah. Sebab, sebelum sekolah mempengaruhi masyarakat, dia terlebih dahulu dipengaruhi masyarakat.

spot_img

Artikel Terkini