Belis Tinggi: Perendahan Martabat Perempuan?

Floresa.co – Kecenderungan terus meningkatnya nilai belis perempuan di Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), kerap jadi topik pembicaraan yang hangat.

Ada yang mengatakan, belis tinggi justeru merendahkan martabat perempuan. Tapi ada juga yang menganggap itu sebagai hal yang wajar, dengan sejumlah alasan tertentu.

Sejumlah pria asal Manggarai yang diwawancarai Floresa.co, melihat belis sudah melenceng dari spiritnya sebagai bentuk penghormatan terhadap  perempuan.

Stanis Dugis, seorang anak muda di Manggari Barat, mengatakan, terjadi pergeseran makna belis.

“Belis lebih dilihat pada nilai materialnya. Ada perhitungan untung rugi di sana. Konsekuensinya kemudian, keluarga baru akan memikul utang,” katanya.

Penilaian senada dilontarkan oleh Willy Salih. Pemuda Manggarai yang bekerja sebagai staf pengajar di sebuah sekolah swasta di Jakarta ini berpendapat, dorongan mencari keuntungan ekonomi dari belis sudah kian kental.

“Belis sebagai bentuk penghargaan terhadap perempuan berubah menjadi aset ekonomis dan pendongkrak status sosial keluarga,” komentarnya.

Yanto, mahasiswa asal Manggarai yang kuliah di Jakarta juga punya komentar serupa.

Ia tegas mengatakan tidak setuju dengan belis tinggi, karena menurutnya, dalam konteks sosial, belis tinggi menciptakan ketegangan relasi  antara keluarga laki-laki dan perempuan. Bahkan bisa saja berujung pada gagalnya pernikahan.

“Jadi, sebenarnya  belis tinggi hanya untuk memenuhi ambisi semu dari keluarga yang mengatasnamakan adat. Yang menjadi korban adalah pasangan yang hendak menikah, terutama perempuan, martabatnya,” komentar Yanto.

Belis adalah sebuah praktik budaya dalam sistem perkawainan orang Manggarai. Seorang laki-laki yang hendak mempersunting seorang perempuan Manggarai diwajibkan membayar belis yang dalam bahasa lokal disebut “paca”.

Tak ada catatan tertulis sejak kapan kebiasaan ini dimulai. Tetapi Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia (UI), Robert M.Z Lawang mengatakan, tradisi ini bermula dari wabah penyakit cacar  yang melanda Manggarai pada era 1930-an.

Penyakit ini, kala itu, tergolong penyakit mematikan. Setiap hari, kata Robert, banyak korban berjatuhan. Sampai-sampai, orang tidak mau menguburkan jenazah karena takut tertular.

Populasi orang Manggarai saat itu, menurun drastis. Dalam situasi seperti ini, perempuan dianggap sebagai benih (ni’i) berharga yang bisa melanjutkan dan mempertahankan keberadaan keluarga (wa’u).

Soal tingginya rendahnya belis, menurut Robert, zaman dulu tergantung status sosial seseorang atau keluarga. Dulu, menurutnya, status kebangsawanan menjadi faktor yang menentukan tingginya belis seorang perempuan.

Pola yang sama pun terjadi sekarang, meski faktor penentunya adalah jabatan, tingkat ekonomi dan pendidikan.

“Sebetulnya, kadang-kadang, belisnya tinggi, tapi sebenarnya sekadar pengumuman ke orang kalau belisnya tinggi. Padahal, tidak dibayar semua itu”, katanya.

Informasi yang dihimpun Floresa.co kisaran belis untuk gadis Manggarai saat ini, antara 50-250 juta. Biasanya penentuan jumlah belis didasari pertimbangan soal status pendidikan perempuan, status sosial dan kondisi keluarga kaum laki-laki. (ARS/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini