Apa Alasan Pembentukan Manggarai Barat Daya?

Bupati Agustinus Ch Dulla dan Wakil Bupati Maksi Gasa
Bupati Agustinus Ch Dulla dan Wakil Bupati Maksi Gasa

Oleh: AGUSTINUS BANDUR

Masih segar dalam ingatan saya kekuatiran pimpinan STKIP St Paulus Ruteng tahun 2001 ketika harian Flores Pos memuat tujuh pernyataan sikap Senat Mahasiswa STKIP tentang pembentukan Kabupaten Manggarai Barat (Mabar).

Bahkan, Pastor Piet Pedo Neo SVD mengumpulkan semua mahasiswa di kapel kampus untuk meminta klarifikasi dari pengurus senat tentang proses perumusan pernyataan sikap tersebut.

Tujuh pernyataan tersebut merupakan draft saya sendiri untuk didiskusikan dengan pengurus senat lainnya dan awak media, tapi terlanjur duluan dipublikasikan.

Intisari utama pernyataan sikap senat tersebut adalah pemekaran wilayah Kabupaten Manggarai harus berpijak pada tujuan bersama untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan, apalagi upaya segelintir orang dalam mengisi jabatan-jabatan yang ada.

Sikap pro kontra seperti yang pernah dialami tersebut tentu terjadi lagi sekarang ini terutama ketika Pemerintah Daerah (Pemda) Mabar telah mengalokasikan anggaran sebesar 273 juta rupiah pada APBD Perubahan 2014 untuk tujuan sosialisasi pembentukan kabupaten baru, Manggarai Barat Daya (MBD).

Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab bersama baik oleh Pemda yang menginisiasi pemekaran wilayah kabupaten maupun oleh masyarakat yang perlu memberikan respon secara kritis adalah apakah pemekaran tersebut bersifat urgen (urgency matters) atau sesuatu yang penting untuk dilakukan di masa mendatang (important matters)? Apa dasar kajian empiris Pemda dan apakah kajian tersebut telah dilakukan? Jika belum, bagaimana bentuk sosialisasi yang tepat sasaran?

Penting, Tapi Tidak Urgen

Pemekaran Kabupaten Mabar merupakan sesuatu yang penting, tapi bukan sesuatu yang urgen. Artinya, Pemda tidak perlu menjadikan wacana pembentukan kabupaten baru ini sebagai sesuatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Sosialisasi tersebut tentu bertujuan menampung pikiran dan aspirasi masyarakat terkait dengan peluang-peluang potensial yang akan diterima masyarakat dengan melihat faktor-faktor kekuatan dan kelemahan yang ada di Mabar sekarang ini serta menemukan strategi-strategi yang efektif dalam upaya mengatasi tantangan-tantangan yang akan dihadapi Mabar pada waktu mendatang.

Berkaitan dengan itu, model sosialisasi yang perlu diaplikasikan Pemda tidak boleh monolog, apalagi hanya berkunjung ke kecamatan-kecamatan atau desa-desa untuk memberitahukan masyarakat akan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh tanpa mendalami akibat-akibat yang ditimbulkan dengan pemekaran tersebut. Sebaliknya, Pemda perlu merencanakan adanya konsultasi publik melalui debat umum (public debate) atau seminar publik berbasis studi kelayakan pemekaran wilayah agar proses penjaringan aspirasi dapat dibuat secara sistematis.

Sesungguhnya agenda prioritas utama Pemda Mabar sekarang ini adalah membuktikan pada masyarakat bahwa pembentukan Mabar belasan tahun lalu benar-benar telah berhasil untuk kesejahteraan lahir batin masyarakat, seperti intisari pernyataan Senat Mahasiswa STKIP tahun 2001 itu.

Indikator output yang paling kasat mata untuk menunjukkan hal itu adalah fasilitas kesehatan, keterpenuhan kebutuhan air minum bersih, dan kelancaran distribusi hasil pertanian. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemerintahan yang sudah berkuasa dalam dua periode ini, baik periode Bupati Fidelis Pranda-Wakil Bupati Agustinus Dulla maupun Agustinus Dulla – Maksimus Gasa belum mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat Mabar. Lalu kalau pemekaran segera direstui pemerintah pusat, apakah semua sektor pembangunan langsung menjawab kebutuhan masyarakat? Jawabannya bisa ya, tergantung pemimpin kita.

Mabar Butuh Pemimpin

Publik Mabar butuh pemimpin. Pemimpin adalah orang-orang yang dapat memberikan harapan akan adanya kesejahteraan hidup dan kebahagiaan lahir batin, baik yang dapat dicapai dalam masa urgensi (sekarang), dalam jangka waktu menengah (5-10 tahun) maupun dalam waktu jangka panjang (lebih dari 25 tahun mendatang) atau bahkan untuk masa depan anak cucu yang sulit diprediksi dari sekarang.

Pemimpin juga adlah orang yang memiliki empat sumber kuasa yang dimiliknya agar memiliki otoritas dan pengaruh bagi perbaikan hidup orang banyak. Dalam konteks ini, seorang pemimpin harus memiliki legitimasi yakni pengesahan dari atasan melalui surat keputusan untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin. Legitimasi saja tidak cukup. Pemimpin harus memiliki keahlian tentang gaya dan seni memimpin agar mampu mewujudkan misi, visi, dan tujuan-tujuan bersama serta mampu mengambil keputusan strategis demi kebaikan orang banyak. Pemimpin juga perlu memiliki perangkat-perangkat aturan dan sanksi bagi para pengikut yang tidak mengikuti kebijakan dan peraturan-peraturan untuk kepentingan publik serta memiliki atribut kepemimpinan agar dapat dijadikan referensi bagi orang lain.

Jika Mabar tidak memiliki pemimpin, mustahil perubahan itu akan terjadi. Apalagi kalau Mabar hanya dipimpin oleh seorang manajer atau ’pengikut’, dia hanya menjalankan aturan-aturan dan petunjuk yang ditetapkan Jakarta atau Kupang tanpa memiliki daya kekuatan dari dalam untuk melakukan inovasi dan perubahan bagi masyarakatnya. Mungkin baik kalau kita perlu menginternalisasi apa yang tertulis dalam Al’Quran, ”Gagal merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan”.


Agustinus Bandur

[infobox style=”alert-success”]Agustinus Bandur merupakan dosen dan peneliti pada Puslitbang Universitas Persada Indonesia Y.A.I Jakarta. Sebelum pindah ke Jakarta, ia menjadi staf pengajar di STKIP Ruteng pada 2003-2012. Agustinus juga Pendiri Florenza Resources Centre, Lembaga Sukarela Pelayanan Pendidikan Anak Jl. Trans Flores, Paang-Lembor, Manggarai Barat. Kontak: [email protected][/infobox]

 

spot_img

Artikel Terkini