Pantai Pede: Melampaui Persoalan Kepemilikan

 

Aksi PMKRI saat membongkar pagar pembatas di Pantai Pede, Sabtu (20/12/2014). (Foto: Ist)
Aksi PMKRI saat membongkar pagar pembatas di Pantai Pede, Sabtu (20/12/2014). (Foto: Ist)

Oleh: ENCE GEONG

Persoalan Pantai Pede di Manggarai Barat yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini cenderung mengerucut pada persoalan entahkah Pantai Pede adalah milik Pemerintah Provinsi NTT ataukah milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.

Pada satu sisi, Pemprov NTT mengklaim bahwa secara hukum Pantai Pede merupakan aset Pemprov NTT. Sementara pada sisi yang lain, masyarakat Manggarai Barat mengklaim bahwa pantai ini adalah milik Pemerintah dan Masyarakat Manggarai Barat karena sesuai dengan Pasal 13 huruf b UU No. 8 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat dan Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri No 42 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyerahan Barang dan Hutan Piutang Pada Daerah Yang Baru Dibentuk. Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 42 ini bahkan dijelaskan bahwa penyerahan segala aset kepada Daerah Pemekaran Baru dilakukan paling lambat satu tahun setelah peresmian wilayah baru itu.

Diskursus tentang status hukum kepemilikan Pantai Pede ini tentu saja penting agar pihak yang secara hukum merupakan pemilik Pantai Pede secara bertanggung jawab mengelola Pantai Pede. Hal ini semakin urgen karena Pantai Pede berada di wilayah destinasi pariwisata. Tanpa pengelolaan yang baik, Pantai Pede akan terbengkalai bahkan menjadi momok yang menghancurkan pariwisata Labuan Bajo.

Kenyataan selama ini, Pantai Pede dibiarkan tak terurus. Pemerintah Provinsi yang mengklaim sebagai pemilik sah Pantai Pede (sesuai dengan tiga sertifikat tanah yang ada di Pantai Pede) tak peduli dengan keberadaan pantai ini. Sementara Pemda Kab. Manggarai Barat yang dengan basis hukum berbeda menghendaki pantai ini menjadi milik Manggarai Barat pun tidak berbuat apa-apa terhadap pantai ini.

Akhirnya Pantai Pede yang menjadi tempat kecil – yang tersisa dari pencaplokan para investor- bagi masyarakat Manggarai Barat menikmati keindahan alam dengan biaya yang murah justru dipenuhi sampah. Hal ini tentu saja merusak pariwisata Manggarai Barat itu sendiri.

Dalam kondisi tanpa perhatian pemerintah baik kabupaten maupun provinsi ini, dalam masyarakat Manggarai Barat mulai lahir kelompok-kelompok yang peduli dengan kebersihan pantai ini. Bagi masyarakat Manggarai Barat, siapa pun pemiliknya, entah itu Pemprov NTT atau Pemkab Manggara Barat, Pantai Pede merupakan milik rakyat yang harus dikelola untuk kepentingan rakyat itu sendiri.

Apa yang dibuat masyarakat itu sangat berbeda dengan tingkah Gubernur dan Bupati yang saling klaim kepemilikan atas tanah itu tanpa ada tindakan yang diambil untuk melayani masyarakat sebagai pemilik yang terutama.

Pemprov NTT dan Pemkab Mabar sibuk mencari dasar hukum yang bisa memperkuat klaim kepemilikan atas tanah itu. Akan tetapi substansi yang mendasari adanya pembagian peran dalam mengelola aset masyarakat yang dipercayakan kepada pemerintah diabaikan sama sekali.

Masyarakat sebagai pemilik utama Pantai Pede dan yang harus dilayani oleh pemerintah dengan pengelolaan Pantai Pede secara baik demi masyarakat itu sendiri tidak diperhatikan oleh pemerintah.

Fokus Pemprov NTT dan Pemkab Manggarai Barat adalah pada siapa yang secara hukum berhak atas tanah tersebut sehingga bisa mendapat keuntungan pribadi (tetapi berjuang atas nama PAD) dalam transaksi dengan para investor. Menjadi jelas bahwa masyarakat tidak masuk dalam pikiran pemerintah saat membicarakan kepemilikan pantai Pede.

Melampaui Persoalan Kepemilikan

Pertanyaan yang muncul adalah apakah polemik Pantai Pede berhenti pada persoalan kepemilikan atau harus melangkah lebih jauh melampaui pola pikir pemerintah dan  menemukan masalah dan menawarkan alternatif atas masalah Pantai Pede ini?

Pertanyaan ini menjadi penting agar substansi persoalan tidak hilang ditelan persoalan klaim kepemilikan oleh para pengelolah tanah ini.

Selain itu, berkutatnya para pengelolah provinsi NTT dan Kabupaten Manggarai Barat pada persoalan kepemilikan adalah suatu pintu masuk yang baik untuk membongkar kebobrokan sistem pemerintahan, mekanisme kontrol DPR dan juga patut dicurigai adanya deal-deal dengan pihak ketiga.

Pertama, Pantai Pede dibagi atas tiga bagian dengan sertifikat masing-masing atas nama Pemprov NTT. Dua sertifikat Hak Pakai No 10 dan 11 dikeluarkan tahun 1989 dan satunya, No. 1 dikeluarkan tahun 1994. Akan tetapi kemudian terdapat keanehan. Pada 19 April 1999 baru dilakukan serah terima tanah dengan sertifikat Hak Pakai No. 10 dan 11 oleh Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya RI kepada Pemerintah Provinsi NTT (Berita acara serah terima/hibah Barang nomor PL.302/I/2/PSB-99). Sementara 5 tahun sebelumnya (5 April 1994) Pemerintah Provinsi telah menyerahkan kedua tanah itu kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai (Berita Acara nomor P.519/1.1/IV/1994). Dengan demikian maka posisi Pantai Pede sesungguhnya bermasalah sejak awal.

Kedua, jika dipandang dari sudut pandang UU No. 8 tahun 2003 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 42 tahun 2001 maka Pemerintah Provinsi NTT atau Pemkab Manggarai wajib menyerahkan segala aset yang ada di wilayah Kabupaten baru Manggarai Barat paling lambat setahun setelah diresmikan sebagai kabupaten otonomi baru. Akan tetapi hal ini tidak terjadi. Bisa jadi persoalan kepemilikan awal di atas menjadi hambatan. Akan tetapi alasan tersebut gugur dengan sendirinya ketika pemerintah provinsi justru membuat MoU dengan investor untuk mengelola Pantai Pede.

Bagi saya, masalah Pantai Pede ini melahirkan kecurigaan bahwa banyak aset di daerah Pemekaran Baru di NTT ini yang sesungguhnya bermasalah. Pantai Pede hanyalah satu masalah yang muncul ke permukaan karena merupakan tempat strategis dan bisa menjadi ATM bagi penguasa.

Tetapi yang terutama, Pantai Pede muncul karena masyarakat Manggarai Barat memberontak karena terancam kehilangan ruang publik berbiaya murah. Maka jika ditelusuri aset-aset di wilayah pemekaran baru, saya yakin ada banyak aset yang sampai sekarang masih teregistrasi sebagai milik Pemprov NTT. Dengan demikian, Gubernur NTT sesungguhnya telah melanggar UU. Hal ini sekaligus menggambarkan bobroknya pemerintahan di NTT ini sekaligus lemahnya mekanisme kontrol wakil rakyat terhadap pemerintah.

Dengan melihat persoalan ini, kita mesti melampaui perdebatan Pemprov NTT dan Pemkab Manggarai Barat. Persoalan Pantai Pede ini mesti dibawa kembali ke persoalan yang lebih substansial tentang asset ini baik aset negara, Pemprov maupun Pemkab dan asas manfaatnya bagi masyarakat. Hal ini sangat penting agar para pemegang kekuasaan tahu bahwa apa yang disebut sebagai aset negara, Pemprov atau Pemkab bukanlah dalam arti kepemilikan para penguasa itu sehingga seenaknya dikelola tanpa mempertimbangkan masyarakatnya.
Dalam konteks ini, para penguasa harus sadar benar bahwa segala aset yang teregistrasi sebagai aset Pemprov atau Pemkab dan ada dalam lingkup Pemprov maupun Pemkab merupakan aset masyarakat yang dipercayakan pengelolaannya kepada pemerintah baik Pemprov maupun Pemkab untuk tujuan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, masyarakat sebagai pemilik utama atas aset – aset pemerintah mesti didengarkan aspirasinya.

Karena itu, entahkan Pantai Pede teregistrasi sebagai aset Pemprov atau pun Pemkab, peruntukkannya haruslah bagi masyarakat. Maka untuk mengetahui bagaimana Pantai Pede seharusnya dimanfaatkan adalah dengan menggali aspirasi masyarakat dan belajar dari pemanfaatan aset negara lainnya.

Untuk itu pemerintah tidak pernah boleh mendahului kehendak rakyat dengan membuat MoU dengan pihak investor (Aparat Penegak Hukum atau KPK mesti menyelidiki hal ini). Penolakan privatisasi Pantai Pede oleh banyak kelompok masyarakat di Manggarai Barat secara jelas menggambarkan bahwa pemerintah Provinsi belum atau bahkan tidak mau menggali aspirasi masyarakat. Dan penolakan itu juga sekaligus menunjukkan apa yang dikehendaki masyarakat dengan Pantai Pede.

Selain itu, penolakan masyarakat pun secara jelas menggambarkan bahwa model pengelolaan aset negara dengan melibatkan kaum kapitalis tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat banyak.

Untuk konteks Manggarai Barat, masyarakat sudah benar-benar kehilangan ruang publik yang bisa dinikmati dengan biaya murah. Berjejernya hotel dan restoran di pesisir Pantai Labuan Bajo menghilangkan ruang publik bagi masyarakat umum. Dan keindahan alam Labuan Bajo akhirnya hanya dinikmati oleh orang-orang kaya dan wisatawan asing. Masyarakat umum akhirnya hanya menjadi pemilik nama sebagai tempat destinasi pariwisata dunia, tetapi keindahannya tidak bisa dinikmatinya sendiri.

Maka melampuai persoalan kepemilikan, masyarakat dan pemerintah harus fokus pada bagaimana pemanfaatan Pantai Pede sebagai ruang publik yang bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Manggarai Barat.

Yang jelas privatisasi ditolak karena tidak menguntungkan masyarakat dengan alasan PAD sekalipun karena keuntungan yang diperoleh masyarakat kalau Pantai Pede dikelolah untuk ruang publik jauh lebih besar dan tidak dapat dihitung dengan uang. Jika tidak maka masyarakat Manggarai Barat hanya menjadi pemilik nama kota pariwisata tetapi tidak bisa menikmatinya.

Ence Geong adalah Alumnus Sekolah Tinggi FIlsafat Katolik (STFK) Ledalero, Sekarang Aktivis HAM di Papua

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini