Merasa Dicurigai Terima Uang dari Perusahan Tambang, Ini Kata Bupati Tote

Bupati Manggarai Timur, Yosep Tote.
Bupati Manggarai Timur, Yosep Tote.

Wae Lengga, Floresa.co – Bupati Yosep Tote pada Rabu (21/1/2015) kembali mengomentari masalah pertambangan di Kabupaten Manggarai Timur (Matim) yang dipimpinnya.

Ia mengaku merasa dicurigai mendapat uang dari perusahan tambang yang beroperasi di Matim. Ia menyebut, semua itu tidaklah benar.

Di hadapan ratusan warga di Kapela Kampung Ritapada Desa Gunung, Kecamatan Kota Komba yang mengikuti kegiatan penanaman pohon, Tote mengatakan, selama dua periode menjadi orang nomor satu di Matim, ia tidak pernah mendapat satu rupiahpun uang dari perusahan tambang.

“Selama saya menjadi bupati dua periode, (saya) tidak pernah mendapat uang dari tambang. Saya sudah sampaikan hal itu kepada keluarga besar saya,” kata Tote.

Ia pun menyebut, ia tidak pernah mengeluarkan izin tambang selama menjadi bupati.

Perusahan tambang yang beroperasi di wilayah Matim selama ini, kata dia, mendapat surat izin operasi dari Kabupaten Manggarai, sebelum Matim dimekarkan.

Ia juga merespon desakan publik, baik aktivis maupun Gereja yang mendesak agar semua izin tambang dicabut.

“Pemda tidak semudah itu mencabut Izin. Ada ketentuan yang mengatur semua itu,” jelas Tote yang didampingi Wakil Bupati Andreas Agas dan beberapa pimpinan SKPD.

Lebih lanjut, Tote menjelaskan, jangan memprovokasi dengan berita-berita soal tambang.

“Kalau ada yang provokasi, silahkan tanya langsung di Pemda Matim di Lehong untuk menguji kebenarannya. Sektor tambang NTT menyumbang 34 Miliar Pendapat Asli Daerah (PAD),” tutup Tote.

Dalam catatan Floresa.co, memang hingga sekarang tidak ada temuan hukum terkait adanya dana yang mengalir ke Bupati Tote dari perusahan-perusahan tambang.

Namun, sikap Pemda Matim yang melempem berhadapan dengan perusahan tambang membuat sejumlah pihak mengatakan, patut diduga pejabat di Matim menerima uang dari perusahan-perusahan itu.

Dalam kasus PT Manggarai Manganese (PT MM) misalnya, Pemkab Matim yang tidak mau memperpanjang Izin Usaha Eksplorasi Perusahan (IUP) itu membuka ruang bagi perusahan itu untuk tetap beroperasi dengan menerbitkan surat izin sementara lewat Kepala Dinas ESDM Zakarias Sarong.

Padahal, sesuai ketentuan UU Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara, yang boleh menerbitkan dan memperpanjang IUP hanya menteri ESDM, gubernur dan bupati atau walikota.

Sikap diam Tote berhadapan dengan kasus PT MM, selain dicurigai karena tidak paham UU, juga diduga mendapat uang dari PT MM.

Selain itu soal klaim bahwa ia tidak pernah menerbitkan IUP, dalam catatan Floresa.co, pernyataan yang sama pernah ia sampaikan pada Oktober 2014 lalu saat kasus PT Aditya Bumi Pertambangan di kampung Tumbak lagi heboh.

Namun, Melky Nahar, Manager Kampanye Walhi NTT kala itu mengatakan, Tote tidak memahami substansi persoalan tambang di Matim dan menyebut Tote “sedang bingung soal substansi permasalahan tambang.”

Letak kebingungan itu, kata dia, ketika berdalih tidak menerbitkan IUP baru, padahal, pada tahun 2009 misalnya, Tote mengeluarkan IUP Operasi Produksi kepada PT Adytia Bumi Pertambangan.

“Lantas, dimana letak kebenaran pernyataan Tote bahwa ia tidak mengeluarkan IUP? Bahwa IUP Operasi Produksi PT Adytia bermula dari IUP Eksplorasi. Tapi kan, substansinya bukan disitu. Substansinya adalah, Tote sepakat meningkatkan IUP Eksplorasi PT Adytia menjadi Operasi Produksi. Tote yang menandatangani dokumen”, tegasnya.

Ia menjelaskan, kalau saja Tote memahami dengan benar soal pertambangan terkait mekanisme mengeluarkan IUP dan sejenisnya, mengapa dia harus menaikan tahapan pekerjaan perusahaan dari eksplorasi kepada operasi produksi.

“Dengan Tote menerbitkan dua IUP Operasi Produksi, itu artinya Tote memang sepakat dengan pertambangan di wilayah itu. Walaupun faktanya, penolakan masyarakat intens dan masif”, ungkap Melky.

Ia pun menilai, pernyataan Tote tadi sesungguhnya sedang mengelabui pemahaman dan konsentrasi masyarakat lingkar tambang dan pihak LSM, Gereja dan Mahasiswa yang protes dengan kebijakannya.

“Ini sebagai upaya Tote untuk lari dari tanggung jawab dia terhadap sejumlah IUP yang telah ia keluarkan dan tidak mendapat persetujuan dari masyarakat”, kritik Melky.

Pastor Alsis Goa Wonga OFM, Kordinator JPIC-OFM untuk Flores juga mengatakan saat itu, pernyataan Tote tidaklah.

“Ini adalah ungkapan cuci tangan alias lari dari tanggung jawab atas persoalan yang timbul akibat kebijakan pertambangan yang mereka berdua lakukan”, katanya kepada Floresa, Senin (5/10/2014).

Ia menjelaskan, keterlibatan Bupati Yosep Tote misalnya  sangat jelas dalam penerbitan IUP PT Aditya.

Bahkan, kata Pastor Alsis, Tote terlibat sejak awal. “Yosep Tote mengetahui dan juga menghadapi penolakan dari warga Satar Teu yang menamakan dirinya kelompok delapan”, katanya.

PT Aditya mendapat IUP operasi produksi pada 2009, di mana area konsensi yang mencapai 2.222 ha meliputi wilayah Waso, Satar Teu dan Tumbak.

Menurut Pastor Alsis, IUP PT. Aditya yang diterbitkan oleh Tote bukan sekedar penyesuaian terhadap Undang-Undang Minerba Tahun 2009, tetapi jelas adalah peningkatan dari IUP eksplorasi ke IUP produksi.

“Jadi tidak benar, bohong kalau Yosep Tote tidak pernah mengeluarkan IUP baru untuk aktivitas pertambangan.” (ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini