Korupsi Rokatenda: Nol Korupsi Dana Bencana Rokatenda? (1)

korupsi

Artikel ini yang ditulis oleh Eman Embu, Staf Puslit Candraditya, Maumere, Kabupaten Sikka merupakan hasil investigasi dan riset terhadap kasus korupsi dana bencana untuk pengungsi akibat letusan Gunung Rokatenda. Ini merupakan bagian pertama dari enam tulisan.

Floresa.co – Pengelolaan dana bencana Rokatenda kini mengeluarkan aroma busuk. Dari pemberitaan di koran lokal kita tahu bahwa beberapa pihak, termasuk anggota DPRD mencium bau tengik dari bangkai korupsi.

Laporan dugaan korupsi sudah diserahkan ke Kejari Maumere. Ada pula pula yang sudah melaporkan dugaan korupsi dana bencana ini ke KPK. Bukti-bukti awal dugaan korupsi sudah jelas. Sekarang yang ditunggu masyarakat adalah komitmen dari para penegak hukum untuk memberantas praktek kejahatan terhadap kemanusiaan ini.

Di satu pihak, ada yang meminta supaya dibuat Pansus di DPRD Sikka agar persoalan korupsi dana bencana ini terang benderang. Kalau terbukti korupsi, tak bisa tidak mereka yang melakukannya harus diproses dan dihukum seberat-beratnya. Kalau tidak terbukti, orang-orang yang diduga korupsi dibebaskan dari syak wasangka dan segala omong kosong tuduhan.

Di pihak lain, kita menyaksikan tantangan dari kalak BPBD Sikka, Silvanus Tibo, di hadapan anggota DPRD Sikka.  Jangankan membuat Pansus di DPRD, tetapi mempersilahkan agar dugaan korupsi tersebut dilaporkan ke KPK. Sikap seperti ini terbilang super berani dan tentu membanggakan. Mengapa? Kita tahu bahwa di negeri ini tidak banyak pengurus negara yang bersih dari korupsi.

Pengurus negara yang menantang seperti itu, antara lain, Anas Urbaningrum. Pada 24 September 2014, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Anas dengan hukuman 8 tahun pejanjara dan denda Rp 300.000.000. Selain itu, koruptor ini harus mengembalikkan uang negara sebesar Rp 57,5 milliar. “Satu sen saja Anas terbukti korupsi, gantung Anas di Monas,” kata pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini ketika dperiksa oleh KPK.

Karenanya, tatkala menyaksikan ketegasan dan keberanian tadi, pikiran yang mencuat ialah bahwa orang tak boleh divonis tanpa bukti. Tapi, benarkah tak ada korupsi dalam penanganan pengungsi Rokatenda?

***

Dana bencana Rokatenda berasal dari sumber yang tak hanya satu. Ada dana dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), dari APBD Sikka, dan dari sumbangan publik. Dari berbagai sumber, total dana yang dialokasikan untuk maksud tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Dana Bencana Rokatenda

NO

KETERANGAN

JUMLAH (RP)

01 Dana Siap Pakai BNPB 359.758.650
02 Dana Siap Pakai APBD Kabupaten Sikka 753.565.000
03 Dana Siap Pakai BNPB untuk Biaya Perbekalan (Permakanan) dan Operasional 3.890.000.000
04 APBD Kabupaten Sikka Tahun Anggaran 2013 1.200.000.000
05 APBD Kabupaten Sikka Tahun Anggaran 2014 2.200.000.000
06 Dana Siap Pakai BNPB untuk Pembangunan Rumah Pengungsi di Hewuli, Kecamatan Alok Barat 6.500.000.000
07 Dana Siap Pakai BNPB untuk Pembangunan Rumah Pengungsi di Pulau Besar, Kecamatan Alok Timur 6.400.000.000
08 Transfer Dana Pengungsi dari BPBD Kabupaten Ende 556.750.000
09 Sumbangan dari Pihak Ketiga 183.000.000
TOTAL 22.043.073.650

 

Anehnya, dana bencana tersebut dikelola sendiri oleh BPBD Kabupaten Sikka. Ini  riskan terjadi penyalahgunaan. Mengapa? Setidaknya dua alasan bisa disebutkan. Satu, atas nama keadaan darurat bencana, pengambil kebijakan, pengelola, dan pengawas semuanya ada di satu tangan yaitu BPBD Sikka. Dua, jumlah dana yang dikelola sangat besar.

***

Kini beredar sejumlah dokumen yang menguatkan dugaan korupsi dana bencana dimaksud. Sebagiannya sudah diberitakan dalam koran lokal. Untuk menyebut beberapa, ada transfer ke rekening pribadi pejabat dalam jumlah ratusan juta,  manipulasi kuintasi Dana Siap Pakai dari BPBD, pengelembungan harga barang, dan ada pengurangan volume belanja barang atau bahan bangunan.

Total dana yang ditransfer ke rekening pejabat sebesar Rp. 177.400.000. Rincianya, ditansfer melalui bank Mandiri Cabang Maumere sebanyak tiga kali sebesar Rp 67.000.000, ditransfer melalui Bank BNI Cabang Maumere sebanyak dua kali sebesar Rp 110.400.000.

Pengurangan volume barang terjadi baik dalam urusan pembanguan fasilitas MCK untuk pengungsi di Kelurahan Hewuli maupun dalam pembangunan rumah-rumah untuk para pengungsi di Pulau Besar.

Pembelian seng atap untuk rumah-rumah pengungsi di Pulau Besar adalah satu contoh yang benderang. Dalam dokumen Rekapitulasi Belanja Barang poisisi s/d Agustus 2014 dikatakan bahwa untuk 150 unit rumah pengungsi di Pulau besar sudah dibelanjakan masing-masingnya 55 lembar seng atap @ Rp 41.500. Jadi, total biaya yang sudah keluarkan untuk item ini adalah 150 (unit rumah) x 55 (lembar seng) = 8.250 (lembar seng) dikali Rp 41.500 (harga seng perlembar) = Rp 342.375.000.

Tukang-tukang yang mengerjakan rumah-rumah tersebut mengatakan bahwa untuk tiap unit rumah pengungsi di Pulau Besar, seng atap yang digunakan bervariasi antara 45-48 lembar. Hanya tiga rumah yang dipasang seng atap sebanyak 55 lembar.  Karenannya, jika rata-rata pengurangan per unit rumah 5 lembar seng saja maka nilainya yang diduga merupaka kerugisan negara adalah sebesar 150 (unit rumah)  x 5 (lembar seng) x Rp 41.500 (harga seng perlembar) = Rp 31.125.000.

Sejak akhir tahun lalu pihak Kejaksaan Negeri Maumere sedang membuat pulbaket korupsi dana bencana dimaksud. Kita menuntut agar upaya ini dibuat tidak pilah-pilih. Dari kejahatan korupsi dana bansos di Sikka yang menghebohkan itu, kita tahu bahwa pihak kejaksaan hanya menyasar pegawai rendahan. Putusan MA menyebut dengan jelas nama-nama 7 orang yang mendapat keuntungan melalui kejahatan korupsi itu, totalnya Rp 10,456,434,500. Semua kita tahu, bahwa pasca keputusan tersebut orang-orang ini tidak pernah disentuh oleh penegak hukum. (Bersambung)
spot_img

Artikel Terkini