Mahasiswa NTT di Yogyakarta Gelar Malam Perkabungan Untuk Lingkungan Hidup NTT

puisi wiji tukul
Alfred Tuname sedang membacakan puisi Widji Tukul mengenai perjuangan aktivis pada malam perkabungan untuk Lingkungan Hidup NTT (Foto: Sonbay Ermalindo)

Floresa.co – Liga Mahasiswa Pascasarjana Nusa Tenggara Timur ((LMP NTT) Yogyakarta bersama keluarga-keluarga NTT dan sejumlah elemen mahasiswa menggelar malam perkabungan untuk Lingkungan Hidup di NTT, Rabu (1/4/2015).. Acara ini digelar di bawah Beringin Soekarno, Kompleks Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Mrican-Yogyakarta.

Ini merupakan bagian dari kampanye kreatif menolak kehadiran dan aktivitas pertambangan mineral di NTT.

Aurelius Teluma, Dosen Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang turut hadir dalam acara ini mengatakan, yang harus “ditambang” sebenarnya adalah pesona wisata yang tersusun oleh barisan pantai yang indah, gunung-gunung membiru, satwa unik yang dilindungi dan begitu banyak destinasi dan panorama alam NTT.

“Pemerintah provinsi dan pemerintah daerah harus kreatif mengembangkan sektor-sektor ini. Masih ada begitu banyak aset NTT yang bisa dikembangkan dan diolah, bukan pertambangan mineral yang selalu memiliki cerita negatif,” kata Aurelius

Ia menambahkan, NTT adalah wilayah dengan luas lahan yang sangat sedikit dan terbatas. Karakteristik sebagai provinsi dengan pulau-pulau kecil, jelasnya, sangat membahayakan wilayah-wilayah NTT untuk ditambang.

“Kalau mau jujur, pemerintah perlu juga melihat bahwa hanya ada 0,2 persen sumbangan dari seluruh proses pertambangan untuk PAD NTT. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan sumbangan sektor pertanian dan peternakan. Pemerintah Provinsi dan hampir semua Kabupaten memiliki program andalan di bidang pertanian dan peternakan,” ujarnya.

Jadi pertanyaan, lanjut Aurelius, mengapa harus tambang? Mengapa terus-menerus pemerintah daerah memaksakan diri untuk meloloskan pertambangan? Apakah ini ada hubungannya dengan kontestasi untuk menjadi pemimpin? Apakah pertambangan adalah cara pemerintah memperoleh setoran cepat dari investor dengan menjual tanah yang sudah sempit di NTT?”

Rominaldus Lalung, utusan dari PMKRI Yogyakarta mengatakan, jika pemerintah benar-benar memiliki nurani untuk rakyat kecil, sepantasnya pemerintah tidak lagi membodoh-bodohi masyarakat dengan pertambangan.

“Kasihan sekali. Masyarakat yang tidak mengerti apa-apa mengenai bahaya tambang selalu menjadi korban pembodohan dari pemerintah dan korporasi tambang yang selalu saja mengumbar janji sejahtera,” katanya.

Menurut Rominaldus, jelas bahwa tidak pernah ada satu daerah di Indonesia yang sejahtera karena pertambangan. Masih harus ada beberapa contoh buruk, korban dan kerusakan alam lagi baru pemerintah kita sadar mengenai buruknya pertambangan.

“Kalau mereka (pemerintah) benar-benar peduli dengan masyarakat, seharusnya semua IUP pertambangan apa saja di NTT dicabut dan kompetensi di bidang pertanian yang harus dikedepankan,” tegasnya.

Acara yang berlangsung selama 3 jam ini mengundang simpati dan apresiasi dari begitu banyak pihak. Acara kampanye kreatif ini diisi dengan beberapa mata acara, ada monolog, pembacaan puisi, lagu, cerita dan syering pengalaman, temu-kangen orang NTT di Yogyakarta, ikrar kelestarian lingkungan dan juga refleksi kritis mengenai lingkungan hidup di NTT.

Selain anggota dan pengurus LMP NTT, utusan masing-masing Ikatan Keluarga NTT, hadir pula dalam acara ini beberapa dosen asal NTT yang mengabdi di UGM, UPN Veteran, Universitas Sanata Dharma, Universitas Mercu Buana, STPMD, juga mahasiswa-mahasiswi NTT yang berasal dari semua kabupaten  di NTT.

Gide Fanggidae, kandidat Master Kebijakan Publik dari UGM mengatakan bahwa kultur akademis NTT membutuhkan banyak kegiatan kreatif seperti ini. Hanya dengan cara-cara ini, kata dia, mahasiswa bisa mulai mengemas pengabdian dan pelayanannya kemudian hari berbasis nilai dan warisan kultural.

“Begitu banyak kebijakan di NTT mandek dan tidak memiliki hasil yang maksimal, seperti kebijakan pertambangan yang negatif karena sejak di bangku kuliah hingga berkarya, banyak anak NTT lupa pada nilai dan kearifan kultural,” katanya.

“Hal ini yang menyudutkan begitu banyak pengambil kebijakan di NTT sebagai antek kapital, yang tentunya tidak lagi memiliki kultur dan spirit kolektif,” pungkas Gide. (Kontributor Floresa.co di Yogyakarta, Vian Pebrian)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini