Krisis Moral: Ancaman Masa Depan Anak-anak NTT

Oleh: JOAN UDU OFM

Kita patut kuatir tentang masa depan anak-anak Nusa Tenggara Timur (NTT) berhadapan dengan arus deras globalisasi media saat ini.

Kekuatiran itu berkaitan dengan terancamnya nilai-nilai moral dan kultural, akibat masifnya hegemoni nilai-nilai global yang acap kali bertentangan secara diametral dengan standar moral dan kearifan lokal (local genius) daerah-daerah di NTT.

Pelbagai tawaran yang menggiurkan, seperti tontonan televisi sampai dengan cyber porno lewat jaringan internet menjadi ancaman yang sangat serius dan nyata.

Televisi, video, film, atau internet  mempertontonkan secara vulgar segala rahasia dunia orang dewasa,  semisal hubungan suami-istri, tindakan kekerasan, terror dan sebagainya.

Dunia anak-anak tidak bisa lagi dibedakan dari dunia orang dewasa. Batasan di antara keduanya menjadi kabur.

Kini, mereka bisa mendengar, melihat, dan bahkan melakukan hal yang sepatutnya hanya boleh didengar, dilihat dan dilakukan oleh orang dewasa.

Dalam situasi seperti ini, anak-anak NTT yang terikat dengan nilai-nilai moral dan kultural yang sangat kental seakan-akan menjadi ilusi. Inilah awal bencana yang akan menghantui masa depan anak-anak dan masyarakat NTT.

Bencana itu bahkan sudah dapat kita lihat saat ini. Salah satu contoh aktual adalah sebuah berita miris yang diekspos Floresa.co beberapa waktu lalu, di mana ada sejumlah anak SMP dan SMA di Kupang berlomba-lomba membuat video mesum.

Fenomena ini tentu sangat mencemaskan. Namun, perlu dicatat bahwa ini baru salah satu contoh yang tersingkap ke hadapan publik. Tentu masih ada banyak kelakuan tak terpuji lainnya yang dilakukan oleh anak-anak yang belum terbongkar ke ruang publik.

Kenyataan ini tampak terang-benderang ketika kita menyaksikan sikap dan kelakuan sebagian besar anak remaja NTT sekarang, yang lebih suka hura-hura dan ber-internet-an daripada membaca dan mengembangkan diri dengan kegiatan-kegiatan konstruktif.

Kenyataan ini sangat kontras dengan pola kehidupan masyarakat NTT pada tiga atau empat dekade yang lalu.

Di masa lalu, ada satu rentang atau rentetan fase-fase kehidupan yang tampak jelas, yang masing-masing tidak tercemar dan tidak saling mencemari satu sama lain, mulai dari fase bayi, balita, puber (akil balig), dewasa dan orang tua.

Dari fase yang satu ke fase yang lainnya terdapat garis batas yang tegas. Namun, kini garis-garis batas itu sudah amblas.

Misalnya, di masa lalu, dunia anak-anak dan dunia puber, adalah dunia yang diselimuti oleh pelbagai rahasia, tabu, dan larangan, khususnya dalam hal seksual sehingga secara psikologis kondisi ini merangsang daya imajinasi dan fantasi tentang seksualitas.

Upacara perkawinan merupakan pintu gerbang legitimasi yang melaluinya segala rahasia tentang seksualitas dapat dibuka dan segala fantasinya dapat dilihat, dirasakan, dan dinikmati.

Namun, di abad media massa dan tontonan massa dewasa ini, bersama dengan melunturnya makna transendensi perkawinan itu sendiri, segala rahasia dan fantasi seksual dapat diperoleh dan dinikmati anak-anak lewat representasi media, seperti televisi, internet dan sebagainya.

Fenomena ini menunjukkan suramnya dunia anak-anak NTT. Mereka kini hidup dalam dunia yang di dalamnya segala bentuk “rahasia” diproduksi menjadi komoditi, diumbar, disebarluaska dan dipertontonkan. Akhirnya, segala “rahasia” ini menjadi milik massa dan tentunya milik anak-anak pula.

Anak-anak yang lazim digambarkan bak segelas air bening kini telah tercemar oleh pelbagai “sampah” dan “polusi” sehingga masa depan mereka menjadi kian terancam.

Bagaimana perasaan kita, masyarakat NTT, menyaksikan kondisi anak-anak kita yang demikian suram ini?

Kesalahan bukan sepenuhnya terletak pada anak-anak. Anak-anak itu hanyalah korban dari generasi sebelumnya yang demi jargon-jargon kebebasan dan kemodernan telah memproduksi pelbagai tontonan sampah.

Merebaknya pelbagai tontonan tersebut sontak mengkuatirkan kita semua karena potensial menumpulkan hati dan daya kritis anak-anak. Mereka berpotensi untuk tidak bisa membedakan yang baik dan buruk, moral dan amoral, manusiawi dan tidak manusiawi. Moral budaya daerah dan bangsa pun akan ikut terancam.

Sebelum semuanya menjadi banal, hendaknya anak-anak mulai disadarkan akan bencana masa depan ini. Harus dibangkitkan api perang melawan kecenderungan global dan segala industri tontonannya yang telah begitu gamblang mencemari mereka dengan begitu banyak tontonan sampah.

Dalam hal ini, dibutuhkan peran yang besar dari orangtua untuk menanamkan kembali nilai-nilai moral dan kultural dalam diri anak-anaknya agar mereka tidak tercerabut dari budaya dan keadaban sosial.

Selain itu, diperlukan juga peran para pendidik di sekolah dan masyarakat secara keseluruhan. Mari kita peduli pada nasib dan masa depan anak-anak NTT!

Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

 

spot_img

Artikel Terkini