Pilkada dan “Civil Disobedience”

Oleh: YORNES PANGGUR OFM

Menjelang Pilkada Manggarai dan Manggarai Barat pada Desember mendatang, perhatian kita tertuju kepada para calon/paket kepala daerah. Banyak pihak antusias mengupas profil, visi, dan misi setia paket yang diusung.

Antusiasme itu memang lekas dipahami. Sistem demokrasi perwakilan menempatkan para pemimpin (pemerintah) sebagai entitas penting pengampu ruang publik. Status pemimpin yang kursinya diperebutkan itu mengandung ‘daya magis’ untuk menguasai massa, kebijakan, dan akhirnya menentukan ‘kesejahteraan umum’.

Beralih ke lain pandang, fenomena civil disobidience (ketidakpatuhan warga) yang kini cukup berkembang di kalangan akar rumput kurang mendapat perhatian. Civil diobidience adalah sikap protes yang memiliki alasan-alasan moral terhadap sistem yang berlaku, baik hukum maupun politik.

Dalam konteks Pilkada, civil disobidience yang paling ekstrim adalah sikap acuh tak acuh atau masa bodoh terhadap esensi pesta demokrasi. Rakyat merasa bahwa kesibukan dan partisipasi mereka dalam pesta demokrasi hanyalah sia-sia. Selama ini, para wakil rakyat dan pemimpin daerah tampak jarang mencerminkan diri mereka sebagai wakil dan pemimpin rakyat. Lebih vulgarnya dapat dikatakan bahwa kampanye dan propaganda politik akhir-akhir ini hanyalah manipulasi publik yang tidak pantas lagi untuk didengarkan. Ini tentu bahaya.

Di Perancis, gejala civil disobidience ini pernah terjadi. Masyarakat warga mengalami ‘kejenuhan demokrasi’ (fatique l`a democratie). Kejenuhan itu bermuara pada ‘kebencian terhadap demokrasi’. Alasannya sangat rasional, yakni: para wakil rakyat dan pemimpin rakyat sama sekali tidak memperhatikan kebutuhan dan harapan rakyat.

Barangkali, benih-benih fenomena ini juga tumbuh di kalangan masyarakat kita. Banyak orang pesimis dan berpikir: “Ah, tak ada guna saya memilih mereka, buang-bunag waktu, toh mereka yang semakin makmur”; atau “Ah, kampanye para calon/paket sama saja. Toh, infrastuktur jalan, air, dan listrik tidak pernah berubah.”

Berkaca pada kasus-kasus seputar pemilu legislatif tahun 2014 lalu, kejenuhan masyarakat terhadap politik dan pemerintah merupakan lahan subur bagi praktik ‘simoni’ politik. Eksesnya adalah suara-suara rakyat yang seyogyanya bersifat sakral (karena menyangkut hati nurani), rahasia, dan jujur, kini dapat ditawar dengan uang. Bahaya atau godaan praktek money politic menjadi tidak terelakkan.

Bagi rakyat yang terinfeksi penyakit ‘kejenuhan demokrasi’, strategi politik uang adalah kabar ‘baik’. Siapa yang tidak mau uang tunai tanpa jaminan? Ibaratnya, sepah tidak jadi dibuang karena ternyata masih laris pasar. Suara yang dipandang tidak ada guna itu dapat ‘dijual’ dengan harga tertentu. Situasi ini sesungguhnya membuktikan jargon yang pernah dijadikan judul sebuah buku: “Terima Uangnya, Jangan Pilih Orangnya!” Di sini, calon/paket yang kaya bersorak, sementara yang kere berkerut wajah dan berpikir.

Barangkali, fenomena seperti itu merupakan dampak langsung dari kebobrokan teladan sistem yang sudah-sudah. Dulu, orang turun ke jalan dan lapangan untuk mendukung calon tertentu karena didorong oleh rasa ingin merdeka dan perubahan sosial. Namun kini, kampanye yang dominan dipilih adalah kampanye kamar tamu atau ‘ase-ka’e’.

Jika pendekatannya menggunakan pendekatan ‘ase-kae’ dan ditopang mamon, maka dapat diprediksi bahwa politik yang muncul kemudian adalah politik ‘ase-kae’ dan berciri pasar. Pemilukada selesai, ikatan ‘ase-ka’e’ juga putus dengan tanpa meninggalkan utang.

Apa relevansi pengamatan sepintas ini? Bagi saya, situasi civil disobidience merupakan konsekuensi langsung dari ‘ke-malas-tahu-an’ publik terhadap krisis sakralitas pilkada. Rakyat tidak lagi menghargai suaranya sebagai sesuatu yang luhur dan sakral. Rakyat tidak patuh lagi pada hati nuraninya. Jika kini kita sedang menuju ke sana, baiklah kita berjuang dan berdoa semoga hati nurani rakyat masih bersih dan tidak tercemar.

Akhirnya, di lain tempat, para calon/paket dipersilahkan untuk menggunakan kampanye yang lebih ‘merakyat, universal, jujur, dan rendah hati’. Para calon/paket harus mengantisipasi fenomena ‘jual-beli suara’ di kalangan rakyat yang terjangkit virus civil disobidience. Di sana ada banyak ‘jebakan’ dan manipulasi sebagaimana di pasar.

Penulis adalah Fransiskan, peminat masalah-masalah sosial

spot_img

Artikel Terkini