Ahang, Jadi Pemenang atau Pecundang?

Oleh: JOSEFINA AGATHA SYUKUR

Jagat politik Manggarai cukup panas dalam dua Minggu terakhir. Marsel Ahang, anggota DPRD dari PKS melapor ke polisi dugaan korupsi permainan proyek yang dilakukan oleh rekannya sesama anggota DPRD, Osy Gandut dari Partai Golkar.

Osy Gandut melalui pengacaranya Erlan Yusran bukannya mengklarifikasi ke polisi atas dugaan korupsi yang dilaporkan oleh Marsel Ahang, tetapi malahan melaporkan Marsel Ahang ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik kliennya Osy Gandut.

Di sisi lain, BK DPRD Manggarai memanggil keduanya, walaupun pemanggilan oleh BK ini mendapat protes dari kuasa hukum Marsel Ahang, mulai dari subjek pengadu, subjek teradu dan soal kewenangan BK.

Dari ruang DPRD Manggarai memang mulai berhembus kabar burung bahwa semua anggota dewan menginginkan masalah Marsel Ahang dan Osy Gandut ini diselesaikan secara adat, artinya keduanya didamaikan, dengan menyuruh keduanya mencabut pengaduannya di polisi.

Masih dari kabar burung itu, para anggota DPRD Manggarai bahkan pihak eksekutif bakal ikut diseret dalam pertarungan Marsel dan Osy ini. Sehingga semuanya berkepentingan agar masalah ini didiamkan atau dihentikan saja.

Menjadi pertanyaan, bolehkah dugaan tindak pidana diselesaikan secara adat? Apakah laporan dugaan korupsi itu delik aduan? Apakah Marsel Ahang akan mencabut laporannya ke polisi?

Tergantung Ahang

Tentu saja, dugaan tindak pidana korupsi tidak dapat diselesaikan secara adat, paling tidak, karena beberapa alasan berikut.

Pertama, jika dugaan korupsi ini diselesaikan secara adat, maka publik Manggarai sangat kecewa. Marsel perlu menyadari bahwa keputusannya untuk melaporkan Osy ke polisi terkait dugaan korupsi adalah sebuah kemajuan yang luar biasa, setidaknya untuk masyarakat Manggarai. Maka wajar kalau di media sosial banyak yang memberikan dukungan atas langkah yang dilakukan oleh Ahang ini.

Kalau laporan Marsel Ahang ini terus diproses di polisi, jaksa dan ke pengadilan, maka ini akan jadi pintu masuk untuk membongkar tabir perselingkuhan eksekutif dan legislatif yang biasa terjadi selama ini.

Kedua, Marsel tentu tidak akan mencabut laporannya karena dia tahu bahwa sikap demikian akan mengecewakan masyarakat yang mendukungnya baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Lagi pula, Kapolres Manggarai tentu sangat tahu aturan hukum bahwa laporan dugaan tindak pidana korupsi bukan delik aduan, sehingga tidak tergantung apakah pelapor mencabut kembali laporannya atau tidak. Atas dasar itu, dapat dipastikan bahwa Kapolres Manggarai akan tetap memproses laporan Marsel Ahang ini.

Yang harus diwaspadai adalah ketika Marsel Ahang menggunakan taktik dengan cara saat diminta keterangannya oleh polisi, dia memberikan keterangan asal-asalan, tanpa menyerahkan bukti-bukti awal, sehingga penyidik mengambil kesimpulan bahwa laporan Marsel Ahang ini tidak terbukti, dan dugaan korupsi ini tidak patut diperiksa lebih lanjut atau dihentikan penyidikannya dengan alasan tidak cukup bukti.

Kalau Marsel Ahang benar melakukan hal demikian, maka Marsel terbukti hanya mencari sensasi, mempertontonkan sebuah sandiwara politik, untuk mendapat citra baik dari publik bahwa dia anggota DPRD yang bersih.

Untuk jangka panjang, Marsel bukan saja menghancurkan reputasinya sebagai politisi, tetapi praktek korupsi tetap akan merajalela di Manggarai karena orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana selama ini akan merasa dirinya sebagai pemenang, dan Marsel Ahang akan jadi pecundang.

Dan sejarah pun akan mencatat, jika diibaratkan dengan caci, Marsel hanya sekedar “paci” dan jago “paki ata”  (memukul lawan), tetapi tidak siap untuk “taang” (menangkis) dengan segala perlengkapan caci yang ada yaitu panggal, nggiling dan koret/agang.

Tetapi, kalau Marsel ingin jadi pemenang dan nama baiknya akan dikenang oleh masyarakat Manggarai maka Marsel menolak berdamai, sebab ini bukan masalah keperdataan (privat) tetapi masalah pidana (publik). Jangan berpikir soal damai tetapi bagaimana Marsel harus bisa mempertanggungjawabkan laporannya dengan baik, benar dan jujur.

Prioritas: Pidana Korupsi

Marsel tidak boleh gentar atas laporan balik yang dilayangkan oleh Osy Gandut, sebab pasti Kapolres Manggarai tidak akan memproses laporan balik dari Osy Gandut tersebut. Sebab para Kapolres di seluruh Indonesia, termasuk Kapolres Manggarai sudah mengantongi Peraturan Kapolri Nomor B/345/III/2005/Bareskrim tertanggal 7 Maret 2005, yang berisi agar Polri lebih memprioritaskan penanganan perkara dugaan korupsi dibanding laporan pencemaran nama baik.

Artinya, kalau ada orang yang dilaporkan ke polisi karena dugaan tindak pidana korupsi dan terlapor melaporkan si pelapor sebagai terduga pelaku pencemaran nama baik, maka polisi tidak boleh memproses laporan dugaan pencemaran nama baik itu. Justru polisi harus memprioritaskan penanganan dugaan tindak pidana korupsi.

Contohnya, ketika mantan Kapolri Sutarman menjabat Kabareskrim Mabes Polri, pada tahun 2011, ia menegur dua penyidik yang memeriksa Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, di Polres Blitar, Jawa Timur. Langkah penyidik itu tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, katanya.

Saat itu Anas Urbaningrum meminta agar diperiksa sebagai saksi pelapor di Blitar, dimana sebelumnya Anas melaporkan M Nazaruddin dengan sangkaan pencemaran nama baik dan fitnah di Bareskrim Polri di Jakarta. Anas melaporkan Nazaruddin, karena tak terima segala tuduhan mantan Bendahara Partai Demokrat itu melalui BlackBerry Messenger kepada wartawan.

Belakangan, Nazaruddin melontarkan tuduhan dalam wawancara langsung di beberapa stasiun televisi dan via Skype. Nazaruddin menyebut Anas menerima suap terkait proyek wisma atlet SEA Games di Palembang. Selain itu, kata Nazaruddin, Anas juga mengambil jatah uang Rp 7 miliar untuk media massa. Tudingan lain yakni adanya politik uang dalam memenangkan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Nazaruddin menyebut Anas menghabiskan uang hingga 20 juta dollar AS yang didapat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menurut Kabareskrim Mabes Polri, kalaupun dugaan pencemaran nama baik itu diproses, hal itu baru dapat dilakukan setelah dugaan tindak pidana diproses. Jangan justru dugaan tindak pidana pencemaran nama baik yang diproses lebih dulu.

Dengan demikian, jika Marsel tetap konsisten dengan laporannya, tidak tergoda dengan iming-iming tertentu untuk berdamai, maka Marsel akan tampil sebagai pemenang dalam pertarungan ini dan masyarakat akan mengenang Marsel sebagai politisi bersih dan tangguh.

Josefina Agatha Syukur adalah Advokat Senior pada Law Firm FIFI LETY INDRA & Partners Jakarta. Perempuan asal Manggarai ini menempuh Magister Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Selain sebagai advokat, sekarang ia juga mengajar sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular Jakarta.

spot_img

Artikel Terkini