Dana untuk Provinsi Flores: Demi Layani Ambisi Wabub Matim?

Wabu Matim, Andreas Agas
Wabu Matim, Andreas Agas

Borong, Floresa.co – Pada awal Mei lalu, di Kabupaten Manggarai Timur (Matim) ramai dibahas surat edaran Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olaharga (Dinas PPO) yang meminta seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan non-PNS di instansi tersebut menyetor sejumlah uang demi mendukung pembentukan Provinsi Flores.

Surat itu kemudian memantik reaksi banyak pihak, termasuk Anggota DPRD Matim, Mensi Anam.

Mensi mengatakan, kebijakan ini mendapat resistensi dari para pegawai, termasuk guru.

“Beberapa guru ada yang telepon dan SMS, mengeluh dengan cara membuat status di Facebook,” katanya.

Ia menjelaskan, kebijakan itu memang melahirkan sejumlah pertanyaan.

“Mengapa urus pemekaran tidak pakai APBD saja,” kata Mensi.

Ia juga heran, mengapa penggalangan dana ini tidak dilakukan secara serentak di setiap kabupaten yang direncanakan masuk dalam wilayah Provinsi Flores.

Mensi juga mempertanyakan bentuk atau item pembelanjaan dana itu nanti. “Bagaimana pertanggungjawaban keuangannya,” jelasnya.

Ia juga mempersoalkan mereka yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan pengumpulan dana itu.

“Mengapa kesepakatan ini hanya untuk pimpinan SKPD saja. Mengapa tidak melibatkan pemilik uang?” katanya.

Ia juga kecewa lantaran Pemkab Matim tidak pernah membicarakan masalah pemekaran ini dengan DPRD.

“Pemekaran provinsi, calon ibukota provinsi yang salah satunya Borong serta pengumpulan dana untuk mendukung pemekaran provinsi belum dibahas dengan DPRD,” jelasnya.

Sementara aktivis antikorupsi Niko Martin, mengatakan dengan tegas itu adalah bentuk pungutan liar.

Penelusuran Floresa.co, surat itu dibuat setelah ada pertemuan antara Wakil Bupati Andreas Agas dengan para kepala dinas pada 24 Maret 2015, di mana saat itu Agas memerintahkan tiap dinas untuk memungut uang dari para pegawai.

Pasca berita terkait pengumpulan uang itu heboh, Floresa.co  mendapati laporan bahwa rencana itu dibatalkan.

Namun, informasi terakhir, ternyata laporan itu salah. Ketika Floresa.co  menemui Agas setelah upacara penutupan turnamen Wakil Bupati Cup di Lapangan Terminal Pasar Borong, Minggu, (5/7/2015), Agas tegas mengatakan, saat ini pengumpulan uang itu tetap berlangsung.

“Ini tetap jalan karena kita telah ada kesepatakatan di antara para bupati untuk memberikan sumbangan dana. Kesepakatan dalam rapat di Nagekeo, satu kabupaten dibebankan 250 juta,” katanya.

Ia menjelaskan, dana itu bukan dana dari pegawai, tapi dari seluruh masyarakat, baik PNS maupun masyarkat biasa.

“Besaran yang diberikan kepada pegawai 100 ribu rupiah”.

Ia menjelaskan, pengumpulan dana ini tetap akan dilaksanakan dan sifatnya sukarela.

“Di beberapa instansi ada yang sudah dikumpulkan tetapi besaran jumlahnya belum ada laporan. Nanti pada saat mau disetor akan dilaporkan,” jelas Agas.

Meski tidak memiliki dasar hukum, namun ia menegaskan, langkah pengumpulan dana ini sudah disepakatai dalam kongres kedua Pembentukan Provinsi Flores di Nagekeo.

“Sudah ada keputusan, tinggal selanjutnya adalah diadakannya kongres ketiga.”

Ia menjelaskan, sudah ada berita acara kesepakatan dari sembilan  kabupaten.

“Sekarang, tinggal bagaimana sikap pemrov NTT untuk meneruskan aspirasi dari sembilan kabupaten di daerah Flores,” jelasnya.

Ambisi Agas

Pengumpulan dana ini tampaknya untuk memenuhi ambisi Agas menjadikan menjadikan Borong sebagai ibukota Provinsi Flores.

Pasca mengikuti kongres di Nagekeo, Agas pernah mengatakan, mereka melakukan berbagai upaya menjadikan Borong sebagai ibukota bisa terwujud.

Selain pengumpulan dana, hal lain yang diupayakan Agas adalah menyediakan lahan 100 hektare di pesisir selatan Kecamatan Kota Komba untuk dijadikan lokasi pusat pemeritahan provinsi baru itu.

“Tanah sudah disediakan untuk perkantoran kelak jikalau Matim terpilih menjadi ibukota Propinsi Flores,” kata Agas kepada wartawan di ruang kerjanya di Borong, Selasa (24/3/2015).

Berdasarkan usaha-usaha tersebut, Agas berkeyakinan Matim akan diterima sebagai pusat pemerintahan provinsi pecahan Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.

Menurut dia, Matim sudah selangkah lebih maju dibandingkan kabupaten lain yang daerahnya juga masuk dalam usulan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Flores.

“Kita juga tidak membebani APBD untuk membiayai tim independen. Saya yakin Matim tepilih menjadi Ibukota provinsi,” ujar Agas berulang-ulang di hadapan wartawan.

Lagi-lagi Mimpi di Siang Bolong

Meski banyak pihak, termasuk Agas, sangat yakin bahwa Provinsi Flores bakal terbentuk, namun, tampaknya itu masih sekedar mimpi di siang bolong.

Floresa,co dalam salah satu artikel “Sorotan” bertajuk “Provinsi Flores: Ketika Para Elit Bertarung Melawan Kemustahilan”, pernah mengingatkan, pembentukan provinsi itu mustahil terwujud, apalagi dalam waktu dekat, yaitu tahun 2016 sebagaimana yang menjadi bahan propaganda para pengungsung Provinsi Flores.

Hal ini mengingat pemekaran Provinsi NTT tidak terdapat dalam Desain Besar Penataan Daerah (Desertada) sampai 2025, yang menjadi rujukan pemerintah melakukan pemekaran daerah baru.

Sebagaimana pernah disampaikan oleh pengamat Otonomi Daerah yang sekaligus Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, di mana kata dia, pemekaran NTT  sangat mustahil, minimal untuk lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Menurutnya, pemerintah pusat sedang berupaya mengerem laju pembentukkan DOB yang selama ini dinilai tidak berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dia mengatakan, Kemendagri sudah membuat Desertada periode 2010 sampai 2025.

Dalam Desertada itu, Indonesia akan memiliki 44 provinsi dan 541 kabupaten atau kota hingga tahun 2025, meningkat dari keadaan saat ini, di mana hanya terdapat 34 provinsi dan 508 kabupaten atau kota.

Dan, NTT tidak termasuk dalam 44 provinsi yang dicanangkan itu.

Selain itu, Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah “mengerem” gelombang pembentukan daerah otonomi baru.

Sekali lagi menurut Endi Jaweng, semangat tersembunyi dengan pemberlakukan UU ini sebenarnya mengendalikan laju DOB  yang berdasarkan evaluasi pemerintah tidak terlalu berdampak positif untuk kesejahteraan rakyat. (Yulianus Arrio/Ari D/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini