Gereja Memihak?

64262_916346445061962_6765991130551182098_n

                                              Oleh: REDEM KONO

Baru-baru ini, melalui Facebook-nya, salah satu teman saya bertanya demikian: Apakah Gereja Katolik harus punya keberpihakan politis? Apakah Gereja harus campur tangan dalam persoalan kemasyarakatan?

Menurut teman itu, Gereja harus imun dari persoalan politik. Gereja mengurus kesalehan religius, kehidupan surgawi. Tanggung jawab Gereja “berada di sekitar altar kudus,” sedangkan kehidupan di luar altar adalah urusan non-Gereja.

Dalam nada yang hampir sama, pertanyaan ini pernah diutarakan oleh Setya Novanto, Ketua DPR-RI. Novanto melihat Gereja sebagai penghambat kemajuan NTT, karena intervensi Gereja dalam kehidupan politik. Gereja harus bersikap netral dan tidak memihak.

Iman Berciri Politis

Menurut saya, teman itu sedang mengungkap apa yang dinamakan sekularisme, paham yang melahirkan sekularisasi yakni pemisahan agama dan ruang publik. Imbas pemisahan ini melahirkan privatisasi iman dan agama. Agama dikurung ke ruang privat dengan stereotipe-stereotipe negatif seperti tidak punya relevansi sosial, beban primordial, kaku, kuno, rigoristik, dan lain-lain

Pandangan demikian menampik aspek-aspek positif dari manusia seperti aspek transendensi (metafisis) dari manusia yang penting untuk gagasan martabat manusia. Padahal, gagasan martabat manusia itu berakar pada tradisi keagamaan, yakni tradisi kristen. Sekularisasi dan pudarnya pemuliaan manusia mendatangkan perlakuan mekanistik terhadap manusia.

Dalam Gereja Katolik, pemisahan agama dari ruang publik itu mendapat kritik keras dari sisi teologi politik. Teologi politik yang dimaksudkan merujuk pada karya-karya para teolog tahun 1960-an seperti Johann Baptist Metz, Juergen Moltmann, dan Dorothe Sollee. Selain menentang privatisasi iman, teologi politik tahun 1960-an ini juga berusaha menentang kecenderungan teologi dan pemahaman keagamaan yang terlampau formalistik, dan cenderung menutup diri dari aspek sosial dan politik kemasyarakatan.

Menurut para pemikir teologi politik, kegiatan berteologi dapat merefleksikan iman sebagai tanggapan manusia atas keterlibatan Allah dalam sejarah hidup manusia. Iman kepada Allah berangkat dari refleksi atas gerakan aktif Allah dalam hidup manusia, di mana Allah hadir dan terlibat dalam diri umat beriman dan juga dalam kehidupan dunia. Karena itu, iman berciri politis.

Ciri politis iman menentukan relevansi iman dalam kehidupan manusia, agar mengkritisi kepentingan manusia di hadapan kepentingan Allah. Iman yang dirayakan adalah iman yang menggabungkan diri dalam kehadiran Allah di dalam sejarah hidup manusia. Berhadapan dengan dunia konket; iman akan menghadirkan resonansi suara Allah yang membongkar dominasi dunia teknis-ekonomis, ketidakadilan, dan pelbagai dekadensi moral dalam dunia kehidupan.

Ciri politis iman menyingkap tanggung jawab seorang beriman atas panggilan Allah yang terlibat dalam hidup manusia, dan tanggung jawab itu diungkapkan melalui keterlibatan kritis untuk mempertahankan dan memperjuangkan martabat manusia.

Teologi politik sebagai refleksi atas iman yang politis dapat meniscayakan setiap orang beriman sekaligus sebagai menjadi subjek berhak dan subjek berkewajiban. Iman dapat membimbing seseorang menjadi subjek, yang tidak memperjuangkan kemanusiaannya sendiri tetapi juga yang lain. Seseorang tidak dapat mencapai keutuhannya sebagai subjek secara mandiri, karena sebagai manusia ia pun tidak pernah luput dari kejahatan dan kekejaman orang lain.

Identitas subjek beriman bersifat relasional karena ia membutuhkan dan dibutuhkan yang lain. Manusia selalu harus berada dalam solidaritas tanpa batas. Solidaritas ini dapat dicontohi dalam gagasan tentang Allah yang solider.

Solidaritas Allah dan Gereja Memihak

Solidaritas Allah berbicara tentang perjalanan Allah menuju dunia dan perjalanan Allah menyertai manusia ke perjamuan abadi bersama-Nya. Allah masuk ke dalam dunia karena solidaritas-Nya yang tiada batas atas penderitaan dan kejahatan manusia. Allah mencintai manusia, mendekati dan menyapa hidup manusia dalam penderitaannya.

Allah memberikan tempat kepada para korban untuk berbicara dari konteks ketidakadilan masa lampau, dan bersama-sama menuju persekutuan abadi. Kehadiran Allah melalui Kristus menunjukkan komitmen misioner Allah untuk meluruskan sejarah penderitaan manusia.

Tanggung jawab Allah berarti Allah memiliki kewajiban untuk campur tangan dalam penderitaan dan sejarah ketidakadilan. Allah memihak kaum miskin, tertindas, dan orang-orang kecil sebagai korban. Solidaritas Allah itu bukan karena Allah tidak adil, tidak netral. tetapi bahwa dunia telah dilanda penderitaan dan kepentingan jahat.

Teologi politik menghadirkan Allah sebagai jaminan atas solidaritas profetik subjek berhak dan subjek berkewajiban. Allah menjadi kekuatan dan model yang kekal dalam perjuangan melawan kehancuran solidaritas secara sistematis, yang dipropagandakan peradaban modern. Sejarah adalah sejarah penyelamatan dan pembebasan Allah atas penderitaan manusia, karena Allah memberikan kemungkinan solidaritas terhadap para korban dalam gelimang sejarah.

Gereja sebagai persekutuan umat Allah bagaimanapun juga mesti terlibat dalam solidaritas Allah. Ada tiga bagian dari solidaritas partisipatif Gereja, yakni pertama, solidaritas dapat menunjukkan “iman yang bertindak” (fides quae creditur) dalam terang solidaritas profetik Allah di tengah dunia. Solidaritas dapat mentransformasi sejarah penderitaan manusia ke dalam sejarah penebusan dan pembebasan manusia oleh Yesus Kristus.

Kedua, solidaritas harus merefleksikan atau merepresentasikan solidaritas Allah yang memanggil setiap manusia sebagai subjek. Solidaritas harus terbuka kepada siapa saja, tanpa mengharapkan imbalan.

Ketiga, solidaritas itu bersifat universal yakni membiarkan wajah korban dari masa lampau atau masa kini demi kehidupan yang lebih baik di masa depan. Solidaritas menembus batas, membiarkan otoritas para korban berbicara sebagai subjek karena mereka pernah dibungkam sebagai suara yang tak bersuara dalam kancah sejarah masa silam.

Solidaritas yang dimulai dari Allah memberikan cara pandang alternatif bahwa sejarah penderitaan manusia dapat dikalahkan melalui intervensi Allah dan keikutsertaan manusia. Di sini, Gereja bukan sekadar urusan ritual.

Solidaritas Gereja memperjuangkan manusia sebagai subjek di hadapan Allah. Karena memberikan ruang pada korban, solidaritas tidak membutuhkan kesederajatan patner. Solidaritas menerima kekhasan manusia dan memiliki sensibilitas atas penderitaan orang lain. Subjek yang solider bertanggung jawab secara universal dan kontinual; solidaritas tanpa batas yang memberikan tempat pada penderitaan orang lain.

Dalam solidaritas, subjek beriman dapat memperjuangkan perjuangan yang lain untuk menjadi subjek berhak dan subjek berkewajiban. Johann Metz menyebut solidaritas ini dengan sikap compassio. Compassio berteriak bersama teriakan lirih kaum perempuan yang diperkosa, memikul beban para buruh, menangis bersama para fakir miskin yang kelaparan, dan lain-lain.

Solidaritas Gereja memberikan tempat pada otoritas para penderita. Namun, compassio tidak membatasi diri pada kepekaan tanpa melakukan perubahan. Solidaritas ini coba menembus akar-akar penyebab penderitaan. Terhadap persoalan kemiskinan, misalnya, semangat compassio akan mempertanyakan pusparagam kebijakan dan patologi struktural, seperti korupsi, pertambangan, dan lain-lain. Solidaritas ini mencontohi sikap Yesus yang tidak segan-segan mengeritik pemerintahan Romawi dan kaum Yahudi karena realitas penderitaan akut pada saat itu.

Di sini, Gereja dapat menunjukkan keberpihakannya yaitu keberpihakan pada mereka yang miskin, tertindas, dan mereka yang diperlakukan tidak adil.

Gereja memihak: mengapa tidak?

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara dan  Ketua Divisi Akademi PELITA, Jakarta

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini