Merindukan Politikus Berhati Pahlawan

 

Inosentius Mansur

Oleh: INOSENTIUS MANSUR

Perpolitikan tanah air kita kian “sempoyongan”. Hal ini terjadi karena beberapa pemimpin (politik) lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau partainya lalu mengorbankan rakyat.

Kebanyakan dari mereka (pemimpin) lupa daratan sambil secara tega sekali mengabaikan hal yang paling esensial yaitu “memenangkan” kepentingan rakyat. Kebanyakan dari mereka tidak menjadikan kemaslahatan bersama sebagai aspek dasar dalam segala diskursus politik, tetapi lebih sering mengemban misi terselubung.

Walaupun demikian, harus disadari bahwa politik bukanlah ranah permainan apalagi ranah untuk mempermainkan kepentingan rakyat. Politik merupakan ranah diskursus kritis dan berwibawa yang berusaha mewacanakan kepentingan rakyat agar bisa melahirkan keputusan-keputusan yang berbasiskan kepentingan rakyat pula.

Politik pada hakikatnya harus mengartikulasikan kehendak rakyat demi mencapai common good. Dengan demikian, para pelaku politik tidak boleh mengeliminasi kecemasan, mengabaikan kemauan serta meremehkan mimpi-mimpi rakyat, sekecil apa pun itu.

Politik harus menjadikan semua ini sebagai pijakan dalam melakukan konsolidasi dan maneuver, dalam merancang dan mengagendakan pembangunan. Karena itu, para politikus harus menyadari bahwa keberadaan mereka hanya untuk rakyat dan bukannya untuk mereka sendiri.

Memang benar bahwa politik tidak bisa dilepaspisahkan dari seni mendesain metode untuk merebut kekuasaan. Bahwasannya melalui politik orang bisa mencapai kekuasaan. Tetapi hal yang lebih penting bukanlah kekuasaaan.

Yang paling penting adalah bahwa politik mesti mengartikulasian kehendak rakyat lewat keputusan-keputusan populis. Dan hal ini mengandaikan adanya kerelaan para politikus untuk meletakan kepentingan parsial dan menjadikan kepentingan rakyat sebagai kiblat utama perjuanganya.

Politik dan Kepastian Situasi

Politik mesti melahirkan kepastian situasi, tidak boleh membiarkan publik terkatung-katung apalagi terpolarisasi. Karena itu, kita membutuhkan politikus yang memahami esensi politik secara benar. Situasi sosial akan tetap terkatung-katung jika tujuan yang dikejar oleh para politikus adalah memenangkan kepentingan kelompok tertentu dan bukannya kepentingan kolektif sosial.

Sayangnya yang sering terjadi memang demikian. Para politikus acapkali salah kaprah dan menjadi figur antagonis di tengah dinamika perpolitikan tanah air. Dana aspirasi yang ngotot diperjuangkan oleh anggota legislatif kita merupakan bukti betapa para politikus kita hanya memperjuangkan kepentingan pribadi, yaitu “mengamankan” posisi lalu lupa bahwa yang mereka perjuangkan bukanlah untuk mendapatkan uang, melainkan meloloskan aspirasi rakyat.

Ini hanya merupakan salah satu contoh yang menggambarkan dengan cukup jelas betapa pelaku politik menjadikan posisi mereka untuk menggapai hasrat dan libido pragmatis mereka.Akibatnya, para politikus seringkali menjadi pelaku yang “mengacak-acak” kestabilan bersama. Jangan heran, distorsi sosial seringkali disebabkan oleh para politikus.

Politikus harusnya sadar bahwa eksistensi mereka bisa membantu kestabilan sosial jika mereka tidak mengabaikan substansi politik. Mereka harus mengetahui bahwa situasi bangsa yang kian tak tentu ini dapat distabilkan jika mereka benar-benar memiliki opsi yang jelas yaitu memihak kepada kepentingan seluruh rakyat.

Peran Sentral Parpol

Agar hal ini tercapai, maka peran partai politik (parpol) amat sentral. Parpol harus melakukan kaderisasi agen politik secara profesional. Parpol harus bisa mencetak politikus-politikus handal dan berintegritas.

Hemat penulis, banyaknya politikus amatiran yang akhir-akhir ini muncul, disebabkan karena parpol gagal melakukan kaderisasi secara tepat. Parpol lebih menerima “kutu loncat” daripada figur yang memiliki kapasitas baik secara epistemis maupun moral.

Modal untuk menjadi anggota parpol tidak terletak pada kapasitas, kredibilitas dan integritas, tetapi berdasarkan perhitungan “kalkulatif” lain. Yang menguntungkan partai secara finansial, itulah yang diterima oleh partai. Jangan heran, momentum seperti Pilkada sering dijadikan oleh parpol untuk melakukan “deal” dengan calon tertentu yang tentu saja mendatangkan “keuntungan” bagi parpol tersebut. Ini adalah kekeliruan yang mesti dikoreksi secara kolektif dan koreksi itu harus dibuat dengan regulasi perekrutan yang mesti diperketat lagi.

Karena itu, hal urgen untuk dilakukan adalah pembuatan cetak biru terhadap kinerja dan efektivitas dari parpol-parpol kita. Hal ini penting agar parpol juga tidak terkooptase oleh tujuan-tujuan yang salah lantas mengabaikan rakyat. Cetak biru bisa menjadi kerangka acuan parpol dalam menterjemahkan konsep kemaslahatan bersama secara tepat.

Selain itu, sekolah partai sebagaimana telah dilakukan oleh PDIP merupakan satu langkah terobosan yang patut ditiru agar mampu menginternalisasikan ideologi partai (yang diharapkan juga mewakili ideologi bangsa) bisa menjadi bagian integral dari setiap kader parpol. Hal-hal seperti ini diyakini bisa menghindari lahirnya politikus dadakan yang hanya mengejar keinginannya secara abal-abal.

Politikus Berhati Pahlawan

Dari sekian narasi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa pragmatisme telah menjadikan ruang demokrasi dan perpolitikan kita dihuni oleh sekelompok “vampire” sosial yang berusaha menyedot kepentingan rakyat. Alih-alih berkorban bagi rakyat, kita malah sering berhadapan dengan politikus penyandera kehendak rakyat.

Parsialisme amat kuat dalam perjuangan mereka. Mereka sering berjuang secara fragmentaris demi memuluskan apa yang mereka kejar saja. Kedudukan strategis dalam politik tidak menjadikan mereka sebagai corong kepentingan rakyat, tetapi malah memarginalisasi rakyat.

Ya, harus diakui bahwa libido politik pragmatis para politikus telah mendekonstruksi keluhuran politik dan kemuliaan demokrasi kita hingga ke titik stagnan. Politik yang sebenarnya harus mengartikulasikan kepentingan rakyat, telah dijadikan sebagai sarana pengartikulasian kepentingan pribadi. Pelan tetapi pasti, hak rakyat untuk mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan, kian dipinggirkan. Pelan tetapi pasti, para politikus kita menjadi tokoh antagonis yang membajak hak rakyat. Mereka lebih sering melawan rakyat.

Karena itu, kita membutuhkan politikus bersahaja yang berhati pahlawan. Politikus berhati pahlawan adalah politikus yang berjuang dengan cermat dan cerdas, dengan kesungguhan dan ketelatenan, dengan ketulusan dan keikhlasan. Ia berkorban tanpa “embel-embel”, tanpa kalkulasi pragmatik. Ia tidak meminggirkan rakyat dari keberadaannya.

Politikus berhati pahlawan adalah politikus yang memahami bahwa politik harus mengartikulasikan kepentingan seluruh rakyat. Kita masih berharap agar para polikus kita meninggalkan segala ambisi pribadi demi mencapai kebaikan bersama.

Kita masih berharap bahwa para politikus kita benar-benar bertanggung jawab atas tugas yang dipercayakan kepada mereka. Semoga para politikus terutama yang sekarang ingin menjadi pemimpin daerah bisa menjadi pemimpin berhati pahlawan.

Penulis adalah rohaniwan, dosen dan pemerhati sosial-politik dari STIPAS Ruteng.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini