Soal SK Ganda di Pilkada Mabar

Inosentius MansurOleh: INOSENTIUS MANSUR

Kocar-kacir dan menggelikan! Itulah kesan saya tatkala menyaksikan dinamika Pilkada di Manggarai Barat (Mabar) yang kian tak beraturan. Hal ini bermula dari dukungan ganda yang diberikan parpol tertentu yaitu memberikan dukungan kepada lebih dari satu pasangan calon untuk menjadi kontestan dalam Pilkada.

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) misalnya, memberikan dukungan ganda kepada pasangan Pranda-Paju dan Gusti-Maria.  Selain itu, Partai Kebangkian Bangsa (PKB) juga memberikan dukungan ganda kepada Pranda-Padju dan Tobias Wanus-Frans Sukmaniara.

Lebih menggelikan lagi, karena masing-masing calon yang mendapat dukungan ganda itu, telah mendaftarkan diri ke KPUD. Masing-masing pihak merasa bahwa dia didukung oleh parpol bersangkutan.

Ada kesan, seakan-akan mereka resmi untuk menjadi kontestan dalam Pilkada Mabar. Rakyat disuguhkan oleh tontonan manipulasi di ruang publik yang menyebabkan mereka begitu gampang terpolarisasi dan pada akhirnya menyebabkan distorsi sosial.

Lalu pertanyaannya adalah, mengapa SK satu parpol diberikan kepada dua calon sekaligus? Kita memang tidak bisa memberikan jawaban pasti mengapa hal seperti itu terjadi. Tetapi, menurut saya, ada berbagai kemungkinan.

Pertama, dukungan ganda parpol memperlihatkan dengan jelas betapa amburadulnya cara kerja internal parpol. Yang dimaksudkan di sini adalah para kader parpol yang ditugaskan untuk menjaring dan memastikan figur yang akan didukung, tidak bekerja maksimal.

Seharusnya, parpol mempercayakan hal tersebut kepada orang-orang yang mampu dan kredibel untuk melakukan survei dan selanjutnya memutuskan kepada siapa dukungan akan diberikan.

Sistem dan cara kerja parpol yang amburadul menyebabkan mereka tidak bisa memastikan dukungan kepada satu calon, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, dukungan ganda, bisa terjadi karena anggota tim internal parpol yang dipercayakan tidak bekerja maksimal.

Selain itu, tidak adanya kerja sama internal partai yang solid, menyebabkan mereka bekerja secara fragmanteris dan sporadis, tidak mengikuti standar operasional yang telah ditetapkan oleh parpol. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa parpol yang memberikan dukungan ganda, mengalami keterpecahan secara internal.

Kedua, adanya dukungan ganda menjadi indikasi bahwa parpol tidak percaya diri dalam mengusung calon tertentu. Tidak cukup dan kurang yakin dengan satu calon, mereka pun memilih untuk mendukung  lebih dari satu calon.

Dengan catatan, kalau calon yang satunya tidak lolos, mereka masih memiliki kans dari calon yang lainnya. Di satu sisi, ini adalah kalkulasi yang dualistis, tetapi tetap mendatangkan keuntungan bagi parpol. Walaupun yang satunya tidak lolos, toh mereka masih memiliki calon lainnya.

Tetapi di sisi yang lain, kalkulasi seperti ini memperlihatkan dengan jelas, betapa parpol tidak memiliki sikap yang jelas, masih ragu-ragu dan tidak percaya diri dalam mengusung kandidat pilihannya. Inkosistensi parpol menyebabkan dukungan mereka begitu gampang berubah.

Seharusnya, sejak awal parpol melakukan survei beberapa figur dan pada akhirnya mengerucut kepada satu calon saja, sesuai dengan tingkat elektabilitas dan juga tentu saja berdasarkan kualitasnya.

Parpol harus yakin bahwa calon yang akan mereka dukung adalah calon yang memang bisa diandalkan untuk menjadi pemimpin dan tampil sebagai tokoh alternatif dan solutif di tengah kekalutan ruang sosial Mabar saat ini.

Ketiga, realitas SK ganda yang terjadi dalam Pilkada Mabar bisa jadi karena adanya permainan pihak tertentu. Tidak ada jaminan bahwa para petinggi parpol yang memberikan dukungan ganda itu, sudah sehati sesuara untuk memberikan dukungan kepada satu calon saja.

Amat boleh jadi, mahar politik, sebagaimana baru-baru ini diungkap oleh sejumlah kandidat yang gagal maju, menjadi pertimbangan pemberian dukungan. Tatkala mahar bersedia dibayar, maka apa pun caranya akan ditempuh, meski dengan memberikan dukungan ganda.

Tatkala mahar politik mampu dibayar calon, maka tanda tangan ketua partai pun bisa dimanipulasi dengan cara-cara tidak halal. Kebutuhan akan uang, mengorbankan kredibilitas partai dan serentak menghancurkan esensi demokrasi dalam Pilkada terutama Pilkada Mabar.

Pilkada dan Edukasi Politik

Harus disadari bahwa momentum demokrasi seperti Pilkada bukanlah sekadar momentum perebuatan kekuasaan. Pilkada bukanlah terutama hajatan untuk mendapatkan pemimpin semata. Walaupun tidak dapat diingkari bahwa Pilkada merupakan ajang untuk mendapatkan pemimpin (penguasa), tetapi pada hemat saya Pilkada jauh melampaui perebuatan kekuasaan semata.

Pilkada adalah momentum edukasi politik. Melalui Pilkada, parpol dan kontenstan politik yang ingin menjadi pemimpin, harus mengafirmasi diri sebagai makhluk demoraktis. Melalui Pilkada, parpol dan calon harus bermain elok, sesuai dengan “etika dan tata krama” yang ada. Pilkada itu pada hakikatnya luhur dan berwibawa.

Tetapi akan mengalami stagnasi, jika di dalamnya, segala cara dihalalkan. Pilkada akan menjadi nirmakna, jika direduksi ke dalam ego parpol dan pribadi tertentu tanpa memperhitungkan dampaknya secara sosial.

Apa yang terjadi di Mabar menggambarkan cukup sahih bahwa tabrakan internal dan libido yang disertai dengan ambisi untuk menjadi pemimpin kini “berkoalisi”. Demi mendapatkan uang, maka dukunganpun diberikan kepada lebih dari satu orang, meski jelas-jelas berlawanan dengan aturan. Demi mendapatkan posisi, maka seseorang enggan untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.

Apa yang terjadi di Mabar, bukanlah edukasi politik yang benar, melainkan memperlihatkan adanya perbenturan internal parpol yang disambut oleh hasrat yang amat kuat dari seorang calon untuk mendapatkan jabatan, apa pun caranya.

Parpol memiliki banyak “pemimpin” dan setiap mereka menjadikan Pilkada sebagai momentum untuk memperkaya diri. Selain itu, apa yang terjadi di Mabar juga memperlihatkan dengan jelas bahwa demokrasi sejati tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Rakyat begitu gampang terpolarisasi oleh karena adanya mobilisasi calon tertentu lalu melakukan gerakan-gerakan anarkhis yang menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Karena itulah kita berharap, agar hakikat Pilkada mesti segera dikembalikan kepada fitrahnya. Jika terbukti bersalah, maka partai-partai politik yang memberikan dukungan ganda harus diberi sanksi yang berat. Tetapi jika yang menyebabkan adanya distorsi internal adalah orang-orang “dalam” parpol, maka parpol harus segera mengambil tindakan tegas terhadap orang itu.

Kalau tidak, ruang dan tembok demokrasi kita pelan-pelan terkikis. Di Mabar, demokrasi sudah terkikis oleh ambisi dan keterpecahan internal partai. Tetapi hal itu bisa dihentikan, jika KPUD tegas untuk menyikapinya. Jika tidak, Pilkada akan mengalami abrasi.

Penulis adalah Dosen dan Pemerhati Masalah Sosial Politik dari STIPAS St. Sirilus Ruteng

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini