REPORTASE : 70 Tahun Indonesia Merdeka, Stadion Golo Dukal, Nasibmu Kini

Tampak depan Stadion Golo Dukal di Ruteng (Evan Lahur/Floresa)
Tampak depan Stadion Golo Dukal di Ruteng (Evan Lahur/Floresa)

Ruteng,Floresa.co – Perayaan 70 tahun Indoenesi merdeka dirayakan dengan semarak di berbagai penjuru negeri ini.

Berbagai kegiatan dilakukan untuk mengenang jasa para pahlawan bangsa. Beragam kegiatan kreatif pun dilakukan untuk mengisi hari spesial bangsa Indonesia ini.

Pertanyaannya ialah apakah negara kita telah merdeka sepenuhnya? Jawaban pertanyaan ini bisa ditelusuri di berbagai sudut negeri ini. Permasalahan kemiskinan, perlambatan pertumbuhan ekonomi, masalah ketegangan antara kelompok suku, agama dan ras (SARA), hingga ketersediaan infrastruktur bisa menjadi potret untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Potret permasalahan ini salah satunya ialah ketersediaan infrastruktur. Di Manggarai sudah dibangun beragam infrastrktur oleh pemerintah untuk mengisi kemerdekaan itu. Jalan ke kampung-kampung dibangun untuk membuka akses walaupun sering kali dibuat ala kadarnya.

Stadion pun dibangun pemerintah agar masyarakat bisa sehat secara jasmani. Di Manggarai, terdapat stadion Golo Dukal yang dibangun di era pemerintahan Antoni Bagul Dagur (2000-2005).

Biasanya, momentum perayaan 17 Agustus, stadion tersebut digunakan sebagai ajang kompetisi olaraga di Manggarai. Namun, beberapa tahun belakangan, tak ada lagi keriuhan sepak bola di Golo Dukal. Ada apa gerangan?

Jurnalis Floresa.co, Evan Lahur, mencoba menengok keadaan stadion tersebut di saat bangsa ini sedang merayakan HUT kemerdekaannya yang ke-70.

Berikut laporannya:

Pada Minggu 16 Agustus sore, saya menyempatkan diri mengunjungi satu-satunya stadion milik masyarakat Manggarai. Akses menuju stadion Golo Dukal bisa dari Leda maupun Waso. Saya memutuskan untuk melewati Wae Palo menuju ke arah selatan.

Tepat di pertigaan kantor stasiun TVRI saya berbelok kanan menuju ke arah Waso Bea. Ada satu hal menarik yang saya temui di jalan menuju stadion tepatnya di tanjakan sebelum kampung Waso Bea. Di sebelah kiri terdapat penunjuk jalan menuju ke arah Stadion Golo Dukal.

Dalam pemikiran saya, pemerintah pasti memiliki maksud untuk menempatkan penunjuk jalan ini. Paling  ini menjadi penanda bahwa ada sebuah obyek yang akan dituju oleh pejalan kaki atau pengendara mobil atau motor.

Stadion Golo Dukal sendiri terletak di bagian Selatan kota Ruteng tepatnya dibawah bibir perbukitan. Jika kita telah berada Waso Bea, ambil saja jalan lurus ke arah barat hingga tiba pada jalan raya tepat di depan stadion Golo Dukal.

Ketika saya sampai di halaman depan stadion ini tampaknya ada sebuah kendaraan yang sedang melaju mengelilingi halaman depan stadion ini. Saya pun langsung terkesima ketika melihat secara langsung bagian depan stadion ini.

Tampak depan bangunan ini telah berusia tua. Warna cat telah memudar. Tak ada kesan eksotik sepak bola di depan stadion ini layaknya stadion-stadion di Indonesia semisal stadion Gelora Bung Karno di Jakarta, stadion Jakabaring di Palembang dan stadion lainnya.

Halaman berbatu dan berdebu menjadi penanda kuat halaman depan stadion ini. Kesan tua tak dapat disangsikan lagi. Sasya pun bertanya, berapa usia stadion ini? Dari tampak depan, saya mengambil kesimpulan sementara bahwa stadion ini memang telah lama tak terurus.

Kemudian saya bergegas menuju ke arah pintu depan. Tak ada daun pintu yang menyambut. Jendela samping pun demikian.

Ketika saya memasuki bagian dalam stadion ini, rasa sungkan pun mulai melintas. Betapa tidak, kesan angker mulai masuk. Bagian dalam yang sedianya digunakan bagi dua kesebalasan masuk dalam stadion sungguh kotor. Warna keramik putih telah berubah menjadi hitam.

Belum lagi sampah-sampah mulai tinggal nyaman di setiap sudut ruangan. Begitu pun ruang sebelah kiri dan kanan yang diperuntukan bagi dua kesebelasan sebelum bertanding sama situasinya dengan ruang depan. Sungguh kotor dan penuh sampah. Bukan hanya ini saja, dinding yang dulunya kokoh kini telah dihiasi oleh coretan-coretan liar. Entah ada festival apa di tempat ini sehingga mulai muncul pelukis-pelukis amatir yang melukis di dinding stadion ini.

Saya pun kemudian mulai bergegas menuju ke lapangan. Ketika sampai di lintasan tanah tepat di bibir lapangan, perasaan heran hinggap di pikiran. “Benarkah ini stadion sepak bola?”

Mungkin Anda juga akan menanyakan hal yang sama ketika mulai memandang jauh tepat di bibir lapangan. Tak ada lagi rumput hijau penanda lapangan sepak bola. Rumput hijau telah berganti menjadi tumpukan tanah keras yang disusun rapi layaknya lintasan motor cross. Memang di beberapa bidang lapangan masih ada rumput hijau namun ia bertumbuh bersamaan dengan kehadiran debu dan bebatuan kecil.

Sungguh ironis lapangan di stadion Golo Dukal ini. Beruntung sekali bahwa tempat duduk penonton masih sama seperti dulu. Bangunan tribun bagian barat juga masih berdiri kokoh. Namun ada sedikit rasa ngeri karena tempat duduk bagi para penonton sungguh tak terurus. Rumput-rumput liar mulai bertumbuh subur di setiap sudut tempat duduk. Di tembok bagian tribun penonton pun tulisan-tulisan liar mulai tampak. Belum lagi sampah plastik dan tumbuhan lumut yang hadir berdampingan dengan tempat duduk penonton ini.

Sesaat saya mencoba untuk duduk diam menyaksikan keadaan stadion ini. Memori pun coba kukembalikan diperiode awal tahun 2000.

Saat itu stadion Golo Dukal masih disebut “stadion” saat menggelar kualifikasi divisi III Liga Indonesia mempertemukan Persatuan Sepak Bola Indonesia Manggarai (Persim) dengan beberapa klub dari Nusa Tenggara Barat. Penonton berjubel memadati areal stadion. Angkutan umum dan kendaraan pribadi memenuhi jalan menuju stadion. Anak-anak kecil berjalan semangat menuju stadion. Satu tujuan saat itu yakni mendukung tim kebanggaan Persim Manggarai.

Sekitar tahun 2008 pun stadion ini masih dipakai oleh beberapa tim sepak bola di kota Ruteng. Satu alasan utama karena gratis disaat lapangan STKIP Ruteng dikenakan tarif untuk sekadar latihan dan lapangan Motang Rua sudah tak dapat digunakan akibat pembangunan tiang bendera dan panggung utama.

Namun, kesemarakan dan keriuhan sepak bola di Golo Dukal, kini hanya

tinggal cerita bagi masyarakat Manggarai khususnya pecinta sepak bola di kota Ruteng.

Bangunan kokoh ini setidaknya merepresentasikan dunia persepakbolaan di kabupaten Manggarai. Sarana olahraga memang menjadi hal yang sangat sulit di gapai. Mungkin cuma dua lapangan yang masih bisa diakses gratis yakni lapangan di belakang SDK Karot dan lapangan di belakang penjara lama.

Akibatnya anak-anak kecil mulai kehilangan gairah bermain sepak bola. Hal ini berimbas pada prestasi tim kebanggaan Manggarai, Persim. Tak ada lagi cerita mengenai perjuangan tim Persim di warung-warung kopi atau di rumah-rumah warga. Tim senior saja seperti itu apalagi jika berbicara mengenai tim junior.

Kesimpulan sementara yang dapat saya angkat ialah pembinaan sepak bola di kota Ruteng saat ini mati. Jika mau dikata, untuk ukuran kabupaten Manggarai pembinaan sepak bola pun setali tiga uang, mati. Pembinaan sepak bola belum merdeka.

Sarana infrastruktur pun sekali lagi belum merdeka. Pertanyaannya ialah, apakah ini salah pemerintah dan wakil rakyat? Apakah masyarakat yang salah karena tak memperjuangkan nasib persepakbolaan di Manggarai?

Saya tak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan ini. Mungkin dua lembaga tinggi daerah yakni pemerintah dan wakil rakyat yang dapat menjawabnya. Akan tetapi hati kecil tak kuasa menahan pertanyaan baru. Tapi kapan? Bagaimana? Dan seperti apa tindak lanjut dari situasi ini?

Ahhh, seandainya Indra Shafri mau blusukan hingga ke Manggarai, saya yakin ada pemain timnas U-19 pertama asal Manggarai yang mengenakan kostum tim nasional”. (Evan Lahur/PTD/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini