Pemkab Matim Harus Belajar dari Kasus Wati

Marselina Kurniawati (15 tahun), bersama ibunya di RSUD Ruteng beberapa waktu lalu. (Foto: VN)
Marselina Kurniawati (15 tahun), bersama ibunya di RSUD Ruteng beberapa waktu lalu. (Foto: VN)

Floresa.co – Forum Pemuda Peduli Manggarai Timur (FP2-Maritim) mendesak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Pemkab Matim), Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk belajar dari kasus tragis yang menimpa Marselina Kurniawati (15), gadis yang kemudian meninggal, sebelum mendapat bantuan dari pemerintah.

Pemkab Matim sebelumnya berjanji membantu gadis asal Kampung Golo Labang, Desa Watu Lanur, Kecamatan Poco Ranaka itu yang menderita tumor di bagian kelamin.

Namun, bantuan tak kunjung datang akibat proses yang berbelit-belit, hingga Wati menghembuskan nafas terakhirnya pada 31 Agustus.

“Mengerikan! Kata yang tepat untuk merepresentasikan apa yang dialami oleh Wati,” ujar Erik Jumpar, Ketua (FP2-Maritim) cabang Ruteng kepada Floresa.co, Rabu (2/9/2015) malam.

Ia mengatakan, mereka turut berduka cita atas kepergian Wati dan meminta Pemkab Matim untuk mengambil hikmah dari kasus ini.

“Cukup Wati saja yang menerima janji busuk, jangan sampai ada Wati-Wati lain yang disakiti oleh Pemkab Matim,” tegasnya.

Erik mengatakan, Pemkab Matim harus segera berubah dan jangan memberikan janji palsu tanpa realisasi yang pasti, apalagi dalam kaitan dengan nyawa seseorang.
Kasus Wati memang menyedot perhatian banyak pihak di Manggarai Raya.

Di media sosial, ungkapan belangsungkawa atas kepergian gadis malang ini terus bermunculan.

Ia gagal berobat di Denpasar, Bali setelah tidak juga mendapat bantuan dari Pemkab Matim, meski Bupati Yoseph Tote menjanjikan pada 1 Juli lalu, bahwa pemerintah akan memberi bantuan, asal pihak keluarga mengajukan proposal.

“Masukan saja proposalnya ke bagian (dinas) sosial, nanti ada dananya,” ujar Tote kala itu.

Namun, keluarga harus terus menanti dalam ketidakpastian, padahal Wati sudah diberangkatkan ke Bali pada 2 Juli. Pencairan dana pun masih belum diproses, padahal kondisi Wati sudah kritis.

Pada 15 Agustus, keluarga membawa pulang Wati dari Bali dan pada Senin, 31 Agustus lalu, ia menghembuskan nafas yang terakhir.

Kepergiannya menambah duka keluarga, berhubung pada 20 Agustus, ayahnya yang mengalami buta juga meninggal.

Pihak Pemkab Matim berupaya membela diri dalam kasus ini.

Sekretaris Daerah (Sekda) Matim, Mateus Ola Beda mengungkapkan, sebenarnya dana bantuan sosial untuk biaya perawatan Wati sedang dalam proses.

“Saya sudah tanya ke bagian Kesra, memang dia punya (proposal bantuan) itu salah satu yang sedang diproses, tinggal pencairan,” ujar Mateus kepada Floresa.co, Rabu (2/9/2015) pagi.

Mateus mengatakan, mekanisme pemberian bantuan sosial memang tidak mudah.
“Walaupun ini sifatnya tak terduga, tapi mekanismenya tetap melalui persetujuan, dibuat dengan keputusan bupati, kadang-kadang kumpul beberapa orang dulu baru buat (keputusan),” ujarnya.

Ia menambahkan dana bantuan sosial ini juga jumlahnya tidak banyak. Setiap keluarga atau korban, hanya diberi maksimal Rp 10 juta. (Ardy Abba/ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini