Alumni Sanpio di Jogja Gelar Diskusi Tentang Mahar Politik dan Demokrasi

Alumni Sanpio di Jogja berfoto bersama usai diskusi tentang demokrasi dan mahar politikYogyakarta, Floresa.co – Pada Sabtu akhir pekan lalu (12/9/2015), Ikatan keluarga Eks Seminari Pius XII Kisol (X-Pio) di Yogyakarta (Jogja) menggelar seminar sehari bertajuk “Mahar Politik dan Demokrasi di Indonesia.”

Seminar itu yang dihadiri oleh 67 peserta dari berbagai elemen mahasiswa dan tokoh senior asal Manggarai Raya, diadakan di Wisma Emanuel, Gejayan, Yogyakarta.

Ini masih merupakan bagian dari rangkaian kegiatan menyambut Hari Ulang Tahun ke-60 Seminari Pius XII Kisol (Sanpio), Manggarai Timur (Matim), Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Selasa 8 September lalu.

Pembicara dalam seminar itu antara lain Konsultan di CIRCLE Indonesia Yohanes Da Masenus Arus, Dosen Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) Fransiskus Jalong, Aktivis PDIP Agustinus Budiarta dan Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM Ignasius Jaques Juru.

Dalam paparannya, Yohanes melihat kegagalan menghadirkan calon dari kader partai politik yang kemudian melahirkan sistem rekruitmen calon extra party sebagai hal yang memungkinkan adanya mahar politik.

Padahal, kata dia, jika partai-partai mampu membentuk kader-kadernya sendiri untuk menjadi calon pemimpin, maka praktek mahar bisa dihindari.

Sementara menurut Ignasius Juru, terminologi mahar politik tidak pernah dijumpai pada masa orde lama atapun orde baru.

Istilah mahar politik, kata dia, justru hadir pada masa reformasi sebagai “anak kandung” demokrasi.

Pada masa reformasi, demikian Ignasius, demokrasi kerapkali disandingkan dengan kontestasi politik, berbeda dengan pada zaman orde lama yang menerjemahkannya sebagai antikolonialisme ataupun pada masa orde baru yang menerjemahkannya sebagai kekuatan berbasiskan ekonomi.

“Celakanya, variabel penting dalam kontestasi politik adalah uang yang merupakan rana kompetisi kaum elit. Disinilah kekuatan mahar politik berkembang,” katanya.

Sementara itu, Fransiskus Djalong menyesalkan kecendrungan masih terbentuknya mindset monarki dalam budaya politik Indonesia.

Menurutnya, pemahaman ini mengantar kita pada budaya yang menganggap politik sebagai rana kaum elite sehingga tidak sedikit yang apatis.

“Dampaknya adalah munculnya mentalitas pragmatis-elitis yang mengawinkan legitimasi dan pengaruh dengan uang. Menjadi seorang politikus harus mampu melakukan political movement, dan hal ini harus sudah didesain sejak awal, bahkan sejak dalam tahapan belajar. Mengembangkan link itu perlu, sehingga dalam mobilisasi politik kita tidak menggunakan uang sebagai mahar, tetapi jaringan yang dijual,” urai Fransiskus.

Dari sudut pandang partai politik, Agustinus Y. Budiarta, menjelaskan realitas kepartaian yang ada di Indonesia.

Menurutnya, kita bisa saja menghindari mahar. Hal itu, kata dia, jika para calon pemimpin tidak menggunakan parpol sebagai kendaraan politik.

Realitasnya kata dia, parpol membutuhkan biaya operasional dan mahar kepada partai politik menjadi bagian penting dalam proses penjaringan oleh partai. (Hilarian Arischi Hadur/ARL/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini