Perbudakan dalam Teropong Ajaran Sosial Gereja

Oleh: PASTOR EDDY KRISTIYANTO OFM

Dalam rangka kerjasama Institute for Global Justice & INFID untuk upaya sosialisasi publik dalam mengkritisi globalisasi dan dampaknya terhadap Indonesia, dibuatlah film The New Rulers of the World. Film ini menyingkapkan situasi sosial mutakhir di Indonesia.

John Pilger (pengarah film) mengangkat kondisi buruh yang mengenaskan, kesenjangan kaya-miskin, tingkat sanitasi yang buruk, utang luar negeri yang membengkak, kekerasan dan pembantaian massal yang sistemik, korupsi di segala bidang oleh penguasa, pemerasan negara-negara donor, pemerintah yang tidak memihak rakyat kecil, dlsb.

Situasi sosial Indonesia diperikan (alm.) Pramudya Ananta Toer: Ratusan tahun lamanya Indonesia (bahkan semua negara kulit berwarna) dihisap oleh negara-negara Utara (Barat), sehingga mereka menjadi kuat, makmur dan menguasai keuangan dan perdagangan. Indonesia, negeri yang kaya raya diubah menjadi pengemis. Di samping itu, para penguasa negeri ini juga tidak memiliki karakter.

Forma Baru

Kisah-kisah mengenaskan tentang perbudakan zaman baheula kini sulit didapat. Para peminat sejarah sosial dewasa ini hendaknya puas dengan hasil riset David Brion Davis, pemenang Pulitzer Prize tahun 1967 untuk Kategori Non-Fiksi. Secara tuntas ia mengupas the Problem of Slavery in Western Culture.

Cerita-cerita klasik tentang perbudakan dapat berfungsi sebagai epos, yang membersitkan makna simbolis dan pesan (moral). Belum sempat epos terkupas habis, kini muncul perbudakan dalam forma baru. Forma baru tersebut tidak mengecualikan Indonesia. Jadi, forma lama perbudakan berubah menjadi forma baru. Korban perubahan forma perbudakan selalu sama: pihak yang lemah dan miskin.

Jiwa (spirit) baik forma lama dan baru perbudakan tetap sama, yakni penghisapan, pemerasan, dan penindasan. Sekelompok orang, perusahaan, negara menciptakan pola relasi dengan pihak di luar kelompok mereka yang bercirikan tuan – jongos, majikan – pesuruh. Pola relasi yang vertikal menegaskan superioritas dan dominasi pihak ’tuan’ atas ’jongos’. Pola relasi ini tidak mengenali kaidah saling menguntungkan, kesetaraan, solidaritas dan fraternitas, subsidiaritas, kesejahteraan bersama, dan keadilan.

Perbudakan

Perbudakan ini setua pelacuran dan perjudian. Di dalam hampir semua kultur ada ingatan historis tentang perbudakan. Kode Hammurabi (Mesopotamia) (1800 tahun pra Kristus) mencatat bahwa perbudakan sebagai lembaga yang sudah mapan, yang sudah diterima sebagaimana adanya.

Budak adalah orang yang ‘dipunyai’ oleh orang lain. Praktis ia adalah hamba yang terikat, tidak otonom, dan tidak menjadi tuan atas dirinya sendiri. Kata ’slave’ berasal dari sclavus mengingat orang-orang Slavs diperbudak pada awal abad pertengahan.

Istilah ’budak’ juga merujuk pada kondisi atau keadaan, bahkan status dari orang yang diperlakukan sebagai ’milik’ oleh orang lain, atau perusahaan, bahkan pemerintahan. Sementara itu, para budak selalu dimiliki dan diawas-awasi oleh orang lain sedemikian rupa sehingga hampir tak punya hak dan tidak diberi imbalan atas hasil kerja mereka.

Kondisi ’budak’ tidak pernah dikehendaki oleh siapapun. Status budak seakan melekat secara integral dan tidak dapat dipisahkan dari pribadi tertentu. Seorang budak hanya akan melahirkan budak, dan ’martabatnya’ adalah ngenger (bekerja pada orang lain), tidak dapat membebaskan diri dari situasi itu, tidak boleh menolak pekerjaan yang diperintahkan. Tegasnya, perbudakan merupakan salah satu bentuk kerja paksa.

Nyaris semua negara menolak perbudakan. Namun praksis ‘perbudakan’ tetap mencuat. Praksis terselubung perbudakan itu menyatakan, sebenarnya disadari perbudakan itu tidak manusiawi, melawan kodrat luhur insani, menentang hati nurani. Data memperlihatkan bahwa di seluruh dunia diperkirakan ada sekitar 27 juta korban perbudakan.

Konvensi

Konvensi Perbudakan (1926) memerikan perbudakan sebagai, “….. The status and/or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised…”. Budak tidak dapat meninggalkan pemiliknya, atau majikannya atau wilayah itu tanpa izin yang sangat eksplisit, dan mereka akan dikembalikan kepada pemiliknya, jika mereka melarikan diri.

Dengan demikian, perbudakan adalah kerja paksa, di mana manusia tidak dihargai sebagai pribadi berikut keluhuran martabatnya, sehingga perbudakan merupakan tohokan tepat di ulu hati kemanusiaan. Budak ada untuk dimiliki bagaikan barang mati tanpa hak.

Tidak demikian halnya dengan Serf: “(formerly) person forced by a landowner to work on the land in a feudal system”. Serf (petani gurem?), meski mereka ini memiliki hak sebagai pribadi manusia, namun mereka sampai batas tertentu tergantung pada pemilik tanah.

Para budak melakukan kerja paksa, suatu aktivitas yang ditafsirkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) sebagai “all work or service which is extracted from any person under the menace of any penalty and for which the said person has not offered himself voluntarily”.

Pemicu munculnya budak dan perbudakan dalam masyarakat kuno (meski dewasa ini alasan-alasan secara klise diungkapkan) dicirikan oleh kemiskinan, peperangan, lumpuhnya hukum, paceklik (kelaparan), penjajahan, dan perkembangan budaya dan teknologi yang mendorong para ‘mucikari’ mengekspor budak ke negara-negara yang lebih modern.

Fenomena seperti ini sudah lazim kita dengar dan lihat dalam media massa. Dalam kasus penggusuran, maka penghuni kehilangan tempat tinggal, dan pemerintah gagal melindungi dan memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya. Buruh-buruh pabrik yang diperas habis-habisan dengan sistem pengupahan yang diatur oleh penguasa dan pengusaha. Ekspor Tenaga Kerja Indonesia (baca: TKW), trafficking, dlsb.

Masyarakat pramodern bahkan berkeyakinan, bahwa orang-orang (juga anggota keluarga sendiri) jika melakukan tindak kriminal yang sungguh berat  (dan ini ditentukan oleh rasa keadilan anggota masyarakat) dapat diperlakukan, dan dijual sebagai budak kepada penadah. Mereka yang dirugikan oleh tindakan kriminal itu kemudian mendapat kompensasi dari hasil penjualan tersebut. Para pelaku kriminal dapat ’menjual dirinya’ sebagai budak sampai kerugian yang diakibatkannya terbayar lunas.

Perbudakan dan variannya merajalela mengikuti perkembangan ekonomi ‘industri’. Revolusi Industri mencipta masyarakat baru. F. Engels menganalisis kondisi golongan buruh di Inggris (Conditions of Working Class), L. Chevalier membedah situasi kelompok buruh berikut ”bahan peledak” mereka (Classes laborieuses et Classes dangereuses). Selain itu, penelitian H. Schneider (Geschichte der Arbeit. Vom Alten Ägypten bis zur Gegenwart) mempertegas fakta: pada era kekaisaran romawi, feodalisme, revolusi industri dan masyarakat industri, ’perbudakan’ selalu berkaitan dengan (situasi) ekonomi, yang berdaya ledak dalam konflik sosial.

Trafficking

Perdagangan manusia (human trafficking, sex trafficking) biasanya menelan korban perempuan dan anak-anak, yang kemudian dipekerjakan di lokasi prostitusi. Para penadah akan memfasilitasi agar mereka semua dapat masuk wilayahnya. Para korban biasanya terpaksa menelan janji palsu, dan dipaksa untuk menerima kenyataan pahit.

Para trafficker menggunakan cara-cara pemaksaan, intimidasi, isolasi, utang untuk menaklukkan korban. Dilaporkan pada tahun 2003, diperkirakan 800,000 orang di seluruh dunia diperjualbelikan setiap tahun. Angka ini tidak termasuk mereka yang diperjualbelikan di lingkungan internal.

Ada tiga jenis perbudakan dewasa ini: perbudakan upahan, kontrak, dan perbudakan dalam pengertian tradisional. Budak Upahan ini paling lazim di banyak negara belum berkembang, di mana pengusaha menekan upah hingga batas minimal. Sebagian terbesar pekerja kanak-kanak terbilang di sini.

Perbudakan Kontrak umumnya orang miskin, sering buta huruf, yang menandatangani kontrak yang tidak mereka mengerti isinya. Sedangkan perbudakan dalam arti tradisional masih ada, tetapi tidak terang-terangan. Orang-orang dari daerah tertinggal dikapalkan ke negeri asing, lalu dijual: lelaki sebagai pekerja kasar, perempuan untuk pekerja seks atau domestik.

Kombinasi antara Perbudakan Upah dan Kontrak ada di kota tambang Serawak, di antara imigran suku Dayak yang mencari kerja. Mereka harus membeli peralatan untuk bekerja, tapi sering mereka tidak punya uang sehingga perlu meminjam. Kemudian, living cost begitu mahal sehingga seluruh upah habis untuk itu. Akhirnya mereka tidak dapat membayar pinjaman. Undang-undang memaksa mereka tetap bekerja tanpa imbalan.

Ajaran  Sosial

Ada kesan Kitab Suci Kristen mengakui lembaga perbudakan dengan syarat-syarat tertentu (Im 25:44-46; Kel 21:7-11). Ada nasihat agar para budak menaati tuan-tuan mereka (1 Ptr 2:18; Ef 6:5-8, Tit 2:9-10, Kol 3: 22-25, 1 Tim 6:1. Dalam The City of God, XIX, 15, Augustinus menegaskan, “For it is with justice, we believe, that the condition of slavery is the result of sin.”

Hal ini menjadi hukum Gereja resmi sejak Paus Gregorius IX (1227-1241). Paus Nikholas V pada 1454 memberikan kewenangan kepada raja Portugal untuk memperbudak orang muslim dan ‘kafir’ yang mereka kalahkan. Sikap Gereja kemudian berubah menjadi anti-perbudakan pada periode berikut. Pada 1453, Paus Eugenius IV dalam bulla Sicul Dudum mengutuk perbudakan bangsa kulit hitam di kepulauan Canary. Pada 1462, Pius II menyatakan perbudakan itu kriminalitas kakap (magnum scelus). Bahkan Paulus III (1537) melarang perbudakan terhadap orang-orang Indian dengan bulla Sublimus Dei. Pius VII pada 1815 mendesak Kongres Wina menghilangkan perdagangan budak, dan Gregorius XVI mengutuk perdagangan budak pada 1839.

Dalam bulla kanonisasi St Petrus Claver, Pius IX melarang “supreme villainy” (summum nefas) pedagang-pedagang budak. Kepada para uskup Brasil, Leo XIII (1888) menulis ensiklik In Plurimism(Perihal Penghapusan Perbudakan), mengingat Yesus datang untuk mengakhiri perbudakan, Luk 4:18.

Akhirnya, Guru membesarkan hati para murid-Nya, “Go into your cell and your cell will teach you everything”. Bilik para murid Kristus adalah kemanusiaan. Maka dekat dan masuk pada masalah kemanusiaan untuk kemudian menyuarakan demi kehidupan bersama yang lebih baik hanya berarti menjauhkan penistaan terhadap martabat luhur insani.

Penulis adalah biarawan Fransiskan dan Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

[Artikel ini sebelumnya dimuat di situs jpicofmindonesia.com. Dipublikasi kembali oleh Floresa.co demi pencerahan kepada publik.]

spot_img

Artikel Terkini