Pantai Pasir Putih di Satar Mese Barat Mulai Dikuasai Pihak Asing

Ruteng,Floresa co – Praktek penjualan pulau dan tanah kepada pihak asing ternyata tidak hanya terjadi di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) – Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di Kabupaten Manggarai, hal serupa juga terjadi.

Informasi yang dihimpun Floresa.co, area di sekitar Pantai Pasir Putih, pantai terindah di Manggarai, yang terletak di Kecamatan Satar Mese Barat, sudah jatuh ke tangan pihak asing.

Area itu yang masuk wilayah Kampung Ntene, Desa Satar Uwuk, hanya berjarak sembilan kilometer dari kampung wisata Wae Rebo.

Rafael Taher, salah satu pelaku pariwisata mengatakan kepada Floresa.co, Sabtu (3/10/2015), Pantai Pasir Putih itu memang merupakan kawasan strategis menuju Pulau Mules, di selatan Pulau Flores dan bisa menjadi titik start para wisatawan yang hendak menuju Wae Rebo.

Kata dia, di pantai pasir putih dan beberapa spot di Pulau Mules adalah tempat yang cocok untuk snorkeling dan diving..

Taher menjelaskan, sebelum dibeli orang asing, tanah-tanah itu juga menjadi lokasi berwisata bagi warga lokal.

Di pantai itu, memang setiap hari libur, ratusan warga berkunjung, di mana mereka menghabiskan waktu bersama keluarga, dengan mandi dan bermain di area pantai.

Namun, semenjak dibeli oleh pihak asing pada tahun lalu, di lahan yang sudah dibeli itu, warga tidak sebebas seperti dulu lagi.

Kata dia, pihak asing sudah melarang warga melakukan aktivitas di situ.

Hendrik, salah warga Kampung Ntene yang ikut menjual tanahnya mengatakan, selain dia, ada dua kepala keluarga lain yang merelakan tanah.

Warga asing yang membeli tanah-tanah itu, katanya, bernama Bruno dari Prancis,  Mad dari Inggris dan Paul dari Kanada.

Menurut penuturan Hendrik, Bruno serta anaknya bernama Moris yang menikahi orang Indonesia yang bernama Rani dari Medan sudah tinggal di Pantai Pasir Putih sejak tahun 2014.

“Mereka sudah mendirikan bangunan kecil sebagai tempat tinggal mereka,” kata Hendrik.

Ia menambahkan, menurut cerita, mereka berencana membangun penginapan bagi teman-teman mereka yang hendak ke Flores.

Tanah milik Hendrik yang ukurannya 400 meter persegi dijual dengan harga Rp 250 juta.

Warga lain yang menjual tanahanya adalah Kobus  seluas 7.200 meter persegi dengan harga Rp 150 juta. Kemudian, Mateus seluas 3.310 meter persegi dengan harga Rp 150 juta. Dan tanah milik Alfons seluas 120 meter persegi dijual dengan harga Rp 40 juta.

Seorang warga yang tidak mau menyebut namanya menduga, pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai terlibat dalam praktek penjualan tanah ini.

Berhubung, kata dia, pemerintah mudah sekali mengeluarkan sertifikat untuk tanah yang dijual, padahal terang-terangan yang membeli tanah bukan Warga Negara Indonesia (WNI).

Ia menambahkan, terkait rencana warga asing itu untuk membangun penginapan, ada desas-desus di tengah masyarakat, bahwa mereka ingin membeli lebih banyak tanah lagi.

Warga itu menjelaskan, ketika orang-orang asing itu hadir di daerah mereka, mereka mengatakan hendak melatih masyarakat untuk mencintai lingkungan.

Hal itu, misalnya direalisasikan dengan melarang warga mengambil kayu, dan mengambil pasir di pantai.

Kini, Hendrik mengaku menyesal, setelah menyaksikan fakta, warga lokal sudah haram masuk di bekas tanahnya itu.

Pada Sabtu, Floresa.co berupaya mendekati beberapa gubuk kecil yang sudah dibangun warga asing itu. Namun, tidak ada orang di sana. (Sefry Jemandu/ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini