“Mengapa Saya Berjuang Pertahankan Pantai Pede?”

Oleh: GREGORIUS AFIOMA

Perjuangan menolak privatisasi Pede sudah memasuki titik menjenuhkan.

Setelah berkali-kali menulis tentang menolak privatisasi Pede, namun Pede tak menunjukkan tanda-tanda menjadi milik rakyat. Pemerintah dan investor dengan berbagai cara masih bersikukuh bagaimana Pede tetap beralih tangan pengelolahannya.

Jika mau dihitung-hitung, timbul rasa sesal. Sudah tak terbilang banyaknya waktu, uang, dan tenaga yang dikuras demi menjegal usaha para investor merebut hak milik rakyat, di pantai Pede.

Saya berjuang, karena saya amat yakin, Pede hanyalah simbol kerakusan kaum kapitalis yang ingin mengeruk untung tanpa pernah puas. Padahal masyarakat masih tinggal dalam guratan kemiskinan.

Tak heran, biarpun larut malam, mata masih harus melek mengikuti pertemuan dengan kelompok pejuang sosial yang lain. Waktu dihabiskan untuk rapat berjam-jam. Begitu pun kalau menulis berita soal Pede. Bukan hanya saya. Beberapa orang juga melakukan hal yang sama hanya karena mencintai Pantai Pede.

Semuanya terlihat sia-sia saat hasilnya tak ada tanda-tanda positif. Sebaliknya malahan rasa pesimis mulai menyergap. Bahkan paling parah, saya sendiri mulai bertanya, siapakah saya yang berani-beraninya melawan orang-orang yang mempunyai hegemoni politik, ekonomi, dan sosial itu?

Parahnya, lambat laun saya malah mempertanyakan keyakinan saya. Apakah yang saya yakini itu benar? Apakah Pede layak diperjuangkan sebagai ruang publik?

Tentu pesimisme demikian bukan tanpa sebab. Di sekitar masyarakat Labuan Bajo, masih begitu banyak orang, yang tidak peduli apakah Pede menjadi ruang publik atau tidak.

Banyak orang bersimpati tapi tidak memperlihatkan keseriusan. Belum bertindak konkret, malah mengajukan syarat. “Kalau saya jadi ini, saya akan….”. Hampir tak ada lagi murni itikad baik. Sangat disayangkan.

Yang menambah keraguan ketika orang-orang terdekat mulai menyalurkan kecemasan dan menambah keraguan. Terus-terusan dinasehati, “Kenapa kamu repot-repot memperjuangkan Pede? Biarkan saja investor yang kelola. Daripada merugikan diri sendiri.”

Tak sedikit juga saya menjumpai orang-orang yang kebingungan. Berhadapan dengan tanggapan dingin itu, kadang merasa tertantang, bagaimana menyakinkan orang untuk terlibat dan bahu-membahu melawan segala bentuk pencaplokan

Setelah segala daya upaya dilakukan, ada rasa lelah yang luar biasa. Ternyata bukan hanya bagaimana menyakinkan orang yang belum tahu, tetapi juga menyakinkan orang-orang yang pernah sejalan dan sepikiran dengan kita.

Karena rentang waktu perjuangan Pede sudah berlangsung bertahun-tahun, dalam perjalanan waktu sudah banyak semangat yang terdistorsi. Pengaruh pilihan politik dan ideologi, misalnya sudah banyak mempengaruhi pilihan tiap orang.

Dari yang awalnya yakin sekali, lambat laun terlihat lemah dan tak bersemangat lagi. Bahkan ada yang berubah pikiran. Ini tantangan tersendiri.

Pada titik itulah, saya sendiri kadang kalang kabut. Pertanyaan-pertanyaan mulai bergulir. Mengapa saya tidak diam saja? Mengapa saya merepotkan diri terlalu jauh? Apalagi, bukankah tak ada uang yang harus didapat dari perjuangan Pede?

Di ujung sederet pertanyaan-pertanyaan itu saya lalu mendapati jawaban. Sebenarnya bukan karena apa yang sudah saya korbankan entah waktu, tenaga, dan uang makanya saya kecewa, tetapi lebih karena saya terlampau ingin tahu tentang ada apa di balik Pede

Andaikan saya tidak tahu apa-apa tentang upaya pencaplokan di Labuan Bajo, sudah tentu saya tak menggubris sebagaimana orang-orang pada umumnya. Tak ambil pusing dengan apa yang terjadi.

Sayangnya, entah mengapa, saya tahu bahwa Labuan seperti judul berita CNN,
much more than Komodo.” Keindahan alamnya terlalu menggiurkan. Topografi tampak kasar namun menyajikan view berupa gugusan pulau-pulau yang begitu indah.

Kekaguman itu ternyata menjelma menjadi rasa memiliki (privatisasi). Apalagi potensi keindahan itu bisa disulap menjadi limpahan uang. Akhirnya benar-benar ingin dicaplok.

Maka, beberapa tahun terakhir, bisnis parawisata tumbuh bak jamur. Bukan hanya banyak, tanpa regulasi dan perlindungan dari pemerintah daerah, bisnis parawasita malah membawa wabah ketidakadilan sosial. Sangat miris.

Tentu saja tak ada yang salah dengan parawisata per se. Keindahan Labuan Bajo sudah tentu menarik perhatian. Sudah tentu pula harus dinikmati dan dikunjungi setiap orang.

Karena itu, saya pun turut bangga bahwa semakin menggeliatnya industri parawisata, semakin banyak orang yang bekerja di sektor industri parawisata. Dalam kehidupan sehari-hari, terlihat sudah semakin banyak yang pandai bercakap dalam bahasa Inggris. Pun turis yang berseliweran di Kota Labuan malah lebih banyak jika dibandingkan dengan kota Jakarta.

Namun kenyataan itu ternyata hanya sebagian kecil dari realitas sebenarnya. Hati rasanya kecut saat mengetahui bahwa di jalan utama Soekarno-Hatta hampir tak ada pedagang orang lokal. Suplai sayur-mayur lebih mudah didatangkan dari luar daerah seperti Bima, Makassar, dan Bali. Rumah sakit daerah belum ada. Krisis air tetap menjadi ancaman. Jalan raya dan jembatan ke daerah-daerah masih sangat buruk.

Apakah parawisata yang dibangga-banggakan beberapa tahun lalu tetap layak dibanggakan? Bukan rahasia lagi, parawisata ternyata lebih banyak hanya selubung upaya pencaplokan. Kepemilikkan, akses, dan manfaat tidak lagi diperuntukkan bagi rakyat, tetapi hanya segelintir orang.

Contoh paling nyata upaya pencaplokkan itu adalah wilayah pesisir. Sepanjang 30 km garis pantai di utara, barat, selatan di kota Labuan Bajo, hanya Pede yang tersisa menjadi ruang publik. Di pesisir hotel Sylvia, sangat tertutup akses kepada publik. Siapakah kita di tanah sendiri?

Penjualan pulau masih marak. Pulau Bidadari, Pulau Kanawa, Pulau Sebayur nasibnya tak jelas. Belakangan, pulau Punggu dijual lewat situs internet. Pulau Padar sudah diprivatisasi. Tak ada regulasi yang membendung upaya pengalihan kepemilikkan tersebut. Semuanya dilelang layaknya tanah tak bertuan. Dimanakah pemerintah daerah?

Ketika ada upaya privatisasi pantai Pede, terus-terang saya menyesal. Sekali lagi, bukan karena pencaplokan itu sendiri, tetapi karena saya terlampau masuk mengintip pusaran “skandal” di Manggarai Barat.

Sekalipun seseorang tak punya kemampuan analisis yang cukup, hanya tahu saja apa yang terjadi di Mabar, dia sudah pasti menolak privatisasi pantai Pede, kecuali kalau tak punya hasrat mencintai tanah Manggarai.

Saya menyesal mengetahuinya. Benar-benar menyesal ketika, pada saat yang bersamaan tak berdaya berbuat sesuatu. Lebih baik tak mengetahui sama sekali. Hidup mungkin bakalan “adem-adem” saja.

Tapi apakah Pede akan meningkatkan pendapatan daerah dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat? BULLSHIT. Sudah cukup penipuan demi penipuan. Rakyat tak mudah dibodohi lagi.

Di kasus pantai Pede yang sudah berlarut-larut, Gubernur Frans Lebu Raya lebih terlihat sebagai preman daripada pemimpin. Memaksa kehendak, di luar batas nalar normal, dan libido kekuasaan bak nafsu binatang. Shame on you Mr. Governor.

Penulis adalah jurnalis Floresa.co dan ikut serta dalam perjuangan menolak privatisasi Pantai Pede. 

[Baca versi asli artikel ini di blog Afioma, Seecut.net dengan judul “Soal Pede, Lebih Baik Tidak Tahu Daripada Tahu”]

spot_img
spot_img

Artikel Terkini