Apa Substansi Penolakan Privatisasi Pantai Pede?

Floresa.co – Substansi persoalan Pantai Pede bukan pada status kepemilikkan, melainkan pada persoalan pengelolahannya. Soal pengelolahan tentu tak dapat dipisahkan dari pertanyaan terkait akses dan manfaat.

Mengapa demikian? Entah milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) atau Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat (Pemkab Mabar), relevansi paling penting adalah bagaimana Pantai Pede sebagai aset negara dikelolah agar memberikan manfaat dan akses yang lebih luas kepada masyarakat.

Selama ini, persoalan Pantai Pede terjebak pada pusaran status kepemilikkan. Dengan kecamuk pasal-pasal yang bermain di dalamnya, timbul kesan bahwa karena Pede milik Pemprov NTT seolah-olah semua keputusan kebijakan publik harus tunduk pada kemauan mereka.

Tak heran, meski empat kali sudah berlangsung sosialisasi, Gubernur NTT, Frans Lebu Raya bersitegar pada kemauannya. Menurutnya, diserahkan kepada PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) adalah langkah penting menambah pundi-pundi pendapatan asli daerah (PAD) dan mendongkrak perekonomian masyarakat.

Lantas, bagaimana dengan aspirasi dan kehendak masyarakat? Sebagai pemimpin, bukankah gubernur terlalu naif jika mengabaikan kepentingan masyarakat umum?

Pencaplokan Sumber Daya Publik

Lebih dari sekadar mempertahankan Pede sebagai ruang publik, perjuangan Pede sebenarnya melawan upaya privatisasi. Persoalan Pede, bagaimanapun juga, tidak dapat dipisahkan dari pergulatan masyarakat Mabar berhadapan dengan geliat pariwisata.

Sejauh ini, kegiatan pariwisata tidak lagi hanya dipahami sebagai usaha untuk mendongkrak perekonomian masyarakat. Sebaliknya, dalam kaca mata kritis, pariwisata menjadi selubung berbagai upaya pencaplokan. Hal itu itu dilihat dari tiga kriteria utama yakni kepemilikkan, akses, dan manfaat.

Diukur dari tiga kriteria tersebut, terjadi proses pengambilalihan kepemilikkan sumber daya publik menjadi kepentingan privat baik melalui cara-cara legal maupun ilegal yang dimainkan oleh beragam aktor seperti pemerintah, aparat penegak hukum, investor, LSM, dan orang per orangan. Kenyataan demikian menyebabkan akses dan pemanfaatan sumber daya publik sedikit saja dirasakan oleh masyarakat lokal, sementara segelintir orang meraup keuntungan berlipat ganda.

Dari segi kepemilikkan, sudah banyak pulau dan tanah beralih menjadi kepemilikkan orang asing. Tanpa regulasi dari pemerintah, masyarakat dengan mudah melelangkan tanah di tengah tuntutan ekonomi yang semakin tinggi di kota Labuan Bajo. Apalagi, persuasi dari para calo baik dari lingkungan pemerintah, investor, dan orang per orangan yang hampir sulit ditolak.

Akibatnya, terjadi sengketa tanah. Tercatat sejauh ini, terdapat sekitar 90 sertifikat ganda. Sementara itu, penjualan pulau juga semakin marak melalui laman digital. Baru-baru ini, pulau Punggu diiklankan melalui situs skyproperty.org. Sebelumnya, sudah ada beberapa pulau yang dalam kewenangan asing, antara lain Pulau Bidadari, Kanawa dan Sebayur.

Bersamaan dengan proses pencaplokan itu, akses masyarakat terhadap sumber daya publik semakin terbatas. Dari panjang wilayah pesisir di kota Labuan Bajo yakni sekitar 30 km, hanya kurang dari satu kilometer yang masih bebas akses. Itulah pantai Pede. Sementara di wilayah pesisir yang lain, aksesnya terbatas. Di pesisir hotel Syilvia adalah salah satunya yang dilarang.

Dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), terdapat banyak persoalan. Sementara praktik zonasi menguntungkan beberapa perusahaan pengelola TNK, masyarakat malah menikmati getirnya. Kapal-kapal nelayan dilarang memasuki zona inti untuk menangkap ikan, sementara kapal-kapal diving berseliweran di beberapa spot diving dalam kawasan TNK. Tak jarang, jangkar besar dari kapal-kapal tersebut merusak karang dan ekosistem laut.

Dalam spektrum yang lebih luas, manfaat dari pariwisata juga layak dievaluasi. Meski Labuan Bajo disebut-sebut sebagai kota pariwisata, infrastruktur jalan raya dan jembatan masih sangat memprihatikan. Bandar udara dan dermaga boleh menyerap anggaran besar, sementara jalan-jalan ke sentra pertanian masih parah. Akibatnya, kebutuhan sayur mayur di kota Labuan Bajo lebih mudah didatangkan dari Bima, Makassar, dan Bali ketimbang dari wilayah Macang Pacar, Bari, dan Rego.

Selain itu, di kota Labuan Bajo sendiri, krisis air dan tidak adanya rumah sakit umum masih menjadi momok bagi kota pariwisata tersebut. Padahal jika mau dihitung-hitung, anggaran dari pusat tidak kurang banyaknya. Untuk Sail Komodo, misalnya, dikucurkan mencapai 3,7 triliun dari APBN pada tahun 2013.

Bertolak dari kenyataan pencaplokan tersebut, bukankah sangat beralasan jika kemudian masyarakat sangat hati-hati dalam menimbang segala bentuk wacana pembangunan atas nama pariwisata? Tentu saja, pariwisata per se tidak pernah ditolak. Sebaliknya, pariwisata yang menjadi selubung upaya pencaplokan harus ditolak

Taman Rekreasi PT SIM vs Natas Labar

Dalam kaitan dengan itu, penolakan terhadap privatisasi Pantai Pede adalah sebuah perjuangan simbolik, dalam arti lain. Artinya, tidak sebatas Pede saja yang ditolak diprivatisasi, tetapi segala upaya privatisasi melalui berbagai tipu-muslihat pariwisata, harus ditolak. Misalnya saja, privatisasi terhadap Pulau Padar oleh PT Komodo Wildlife Eco-tourism (PT KWE) yang bakal merugikan ekosistem komodo di kawasan TNK.

Oleh karena itu, sikap penolakan diharapkan harus total, bukan win-win solution. Keteledoran terhadap Pede akan sangat berimplikasi buruk terhadap perjuangan menolak privatisasi. Pasalnya, menolak privatisasi sama dengan membuka ruang kepada publik luas untuk menikmati kedaulatan atas arena dan sumber daya publik. Sudah saatnya menolak upaya-upaya pencaplokan

Lagi pula, jika memang Pantai Pede adalah milik pemerintah, apakah harus diserahkan kepada pihak ketiga agar menambah PAD? Bukankah pemerintah sendiri bisa mengelolah Pantai Pede? Tidak sanggupkah pemerintah yang sudah dilengkapi berbagai aparatur yang digaji “rakyat” untuk mengelola pantai tersebut?

Logika demikian menjadi alasan lain dari segala upaya penolakan. Pemerintah seolah tak punya sumber daya untuk mengelola Pantai Pede sebagai ruang rakyat.

Maka salah satu bagian dari upaya perlawanan adalah ketika Komunitas Bolo Lobo menghendaki pantai Pede sebagai natas labar, ruang publik yang bebas dan terbuka. Tidak berarti dibiarkan bebas begitu saja tanpa itikad menambah penghasilan.

Natas labar adalah konsep tandingan dimana pemerintah perlu mengelolah Pantai Pede demi kepentingan masyarakat. Sebagaimana disampaikan beberapa pedagang di Pantai Pede pada bulan Agustus lalu, mereka merasa bersalah karena sejauh ini tidak pernah dikenai retribusi. Padahal mereka bersedia membayar asalkan Pantai Pede ditata dengan baik.

Artinya, tanpa diserahkan kepada pihak ketiga pun, melalui konsep natas labar, Pantai Pede mampu menambah pundi-pundi PAD.

Belakangan muncul diskusi, bagaimana jika PT SIM mengakomodasi kepentingan masyarakat untuk menjadi taman rekreasi publik setelah sebelumnya berencana membangun hotel berbintang lima?

Tentu saja upaya tersebut kelihatannya saja baik, namun mengandung sejumlah kecacatan berpikir. Yang ditolak adalah upaya privatisasi dan pencaplokan. Entah itu akan dibuat sebagai taman rakyat, namun tetap saja upaya pengelolahan PT SIM mengandung konsekuensi pembatasan akses dan manfaat.

Lagi pula, layak dipersoalkan, apakah itu semata-mata itikad baik dari PT SIM ataukah hanya bagian dari taktik dalam proses pencaplokan dengan memakai cara-cara yang tampaknya dapat diterima.

Ada juga alasan lain. Meskipun tawaran PT SIM sangat masuk akal, namun masyarakat sudah terlanjur dibuat kecewa oleh ketidakbecusan pengelolahan pariwisata selama ini. Layaknya seorang yang trauma karena pernah disakiti hatinya, masyarakat di Mabar semakin berhati-hati terhadap berbagai tawaran yang menggiurkan. Sekalipun masuk akal, kalau didahului kekecewaan dan pesimisme, orang sulit menerima tawaran sebaik apapun itu.

Di Mabar, sendi-sendi pariwisata seperti regulasi, pengawasan dan pengelolah pariwisata belum berjalan optimal, namun peluang berinvestasi terus-menerus digenjot. Tentu ini hanya membuka peluang malapetaka daripada berkat. Ibarat artis yang baru saja menikmati popularitas, namun akhirnya merasa frustrasi sendiri dan kewalahan karena selalu diekspose dan menjadi tidak bebas lagi.

Bertolak dari alasan-alasan demikian, sudah seharusnya pemerintah provinsi memahami apa yang menjadi persoalan di tengah masyarakat. Tidak cukup hanya percaya pada asumsi bahwa masyarakat hanya membutuhkan tambahan PAD melalui berbagai investasi. Lebih dari itu, masyarakat lokal juga sudah selalu dilengkapi sumber daya mumpuni untuk memikirkan apa yang terbaik untuk mereka. Karena itu, dengarkanlah!

Sementara bagi para aktivis sendiri, perjuangan menolak privatisasi harus didukung oleh konsep perjuangan yang tangguh. Jika tak punya cukup alasan untuk menolak privatisasi, jangan menyebut diri sebagai pejuang. Sebab hal itu hanya memperlihatkan kenaifan daripada sebuah perjuangan yang berkarakter. (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini