Gelar Festival “Wai Humba”, Warga Tegaskan Sikap Tolak Tambang

Floresa.co – Masyarakat di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar sebuah festival mulai hari ini, Jumat (13/11/2015), hingga Minggu mendatang, untuk menegaskan sikap menolak kehadiran perusahan tambang.

Acara ini yang disebut “Festival Tiga Gunung ‘Wai Humba’” dilakukan di Kampung Paponggu, Tanadaru, Sumba Tengah.

Festival dengan tema “ Bertani Tanpa Tambang” ini menjadi ajang para petani di Sumba khususnya di wilayah hulu serta perwakilan komunitas-komunitas di NTT untuk tetap menyatukan komitmen menolak aktivitas pertambangan, dengan mendeklarasikan Nusa Tanpa Tambang.

Selama kegiatan ini, akan dilakukan sejumlah acara, termasuk diskusi, pameran pangan dan kerajinan lokal, penghijauan/pelatihan pertanian organik, pemberian penghargaan pejuang Lingkungan dan deklarasi Nusa Tanpa Tambang

Apa yang mendasari penyelenggaraan festival ini? Berikut penjelasan yang diterima Floresa.co dari Melky Nahar, Manager Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT:

Gunung Wanggameti, Tanadaru dan Yawilla merupakan kawasan utama di Pulau Sumba (baca: Humba) NTT yang berfungsi sebagai penyuplai kehidupan ekonomi, sosial budaya hingga kesehatan bagi rakyat Humba.

Ketiga kawasan ini sejak nenek moyang telah “dikeramatkan”. Wanggameti dalam terjemahan bahasa Indonesia berarti Menghalau Kematian.

Menghalau kematian dalam cakupan pemahaman orang Humba bahwa Wanggameti memberi Air, Pangan, Tanaman Obat-Obatan, kayu kepada manusia sehingga manusia dapat bertahan hidup selama mungkin.

Secara geografis, Gunung Wanggameti terletak di Sumba Timur, Tana Daru di  Sumba Tengah dan Sumba Barat dan Yawilla di Sumba Barat Daya.

Sejak dulu kala, nenek moyang Orang Humba sangat menghormati leluhur dan sang pencipta alam semesta. Salahsatunya dengan melakukan persembhayangan di pusat-pusat sumber daya air. Dalam bahasa Humba Kambera disebut Kalarat Wai. Kalarat Wai merupakan aktivitas religius aliran kepercayaan Marapu ( Agama Asli Orang Humba).

Hingga kini, aktivitas tersebut masih sering dilakukan oleh orang-orang tua di kampung yang masih beragama Marapu.

Aktivitas ini selain merupakan ibadah ucapan syukur juga sekaligus ibadah permohonan kepada pencipta agar senantiasa melimpahkan karunia air buat orang Humba. Sampai saat ini, kawasan tempat persembayangan di kawasan mata air tidak boleh ada aktivitas manusia dalam hal pengrusakan.

Humba sesungguhnya identik dengan air. Ini terbukti dengan semua daerah utama di Humba dan telah menjadi ibu kota kabupaten semuanya menggunakan Wai atau Wee ( Air) sebagai nama.

Sumba Timur dengan Waingapu, Sumba Barat dengan Waikabubak. Sumba Tengah dengan Waibakul, Sumba Barat Daya dengan Waitabula (kini berubah jadi Tambolaka).

Namun belakangan air sebagai entitas peradaban budaya seolah terlupakan dalam pembangunan di Humba. Pembangunan telah banyak merusak peradaban budaya Humba yang identik dengan air.

Pembangunan, termasuk dengan kehadiran tambang, mulai merusak kawasan tiga gunung yang merupakan penyuplai air terbesar di pulau ini. (Ari D/ARL/Floresa)

 

spot_img

Artikel Terkini