Belajar Berpolitik dari Bupati Dula

Floresa.co – Dari Bupati Manggarai Barat (Mabar) Agustinus Ch Dula, masyarakat bisa banyak belajar tentang dinamika politik dan apa itu politik.

Tentunya, pertama-tama sangat mengagumkan bisa seperti Dula. Seorang kepala daerah dengan karir politik yang cukup panjang. Lima tahun sebagai wakil bupati (2005-2010) dan sepuluh tahun sebagai bupati (2010-2021). Luar biasa!

Memimpin Mabar tentu juga nilai plus untuk Dula. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Mabar adalah pintu gerbang pariwisata. Ada Taman Nasional Komodo (TNK) yang dikunjungi sekitar lebih dari 80 ribu pengunjung tiap tahun.

Tak hanya itu. Keindahan bawah laut di kawasan TNK juga sudah mendunia. Baru-baru ini, kawasan TNK terpilih sebagai destinasi snokerling terbaik dunia berdasarkan survei CNN.

Pada tahun-tahun ke depan, Labuan Bajo menjadi anak emas pemerintah pusat. Pada tahun ini, kota kecil ini masuk 10 besar destinasi wisata prioritas. Pemerintah pusat siap menggelontorkan dana besar untuk pengadaan infrastruktur.

Dula beruntung. Dia persis berdiri di garda terdepan ketika perhatian dunia dan pemerintah pusat menuju Mabar. Sekali lagi, sungguh beruntung jadi Dula. Jika berhasil memimpin Mabar, bukan tidak mungkin, kursi nomor satu di NTT bisa ia duduki.

Lantas, dalam pengertian apakah masyarakat sudah belajar berpolitik dari figur ini?

Di tengah geliat Mabar menjadi destinasi wisata unggulan, masyarakat perlu menjadi melek politik. Dula persis membuat masyarakat Mabar melek politik.

Buktinya, pada tahun-tahun belakangan ini partisipasi politik dalam urusan publik semakin luas. Ada banyak elemen masyarakat sipil yang terlibat aktif dalam keputusan publik. Inilah makna politik, bahwa semua orang terlibat secara aktif  dalam memikirkan kesejahteraan bersama.

Soal Pantai Pede adalah contohnya. Terhadap Pantai Pede, sikap Dula bagai air di daun talas. Kadang tolak, kadang dukung. Tidak jelas. Sikap demikian adalah salah satu alasan mengapa persoalan Pede menjadi berlarut-larut sejak tahun 2012.

Namun sisi positifnya, seiring bergulirnya konflik itu, semakin banyak warga yang terlibat memikirkannya. Mulai dari komunitas anak muda, LSM, media, aktivis, warga Manggarai diaspora, bahkan orang asing. Ini adalah menarik dalam konteks demokrasi dan politik dimana ada dinamika menarik dalam relasi antarwarganegara. Di sana lahir social capital, tentang bagaimanana memikirkan bersama masalah sosial.

Persoalan Pede ternyata berimbas juga pada persoalan lain. Satu per satu mulai dikritisi. Misalnya, masyarakat lantas tidak hanya mempertanyakan Pantai Pede, tetapi juga sudah mempertanyakan area sempadan pantai di kawasan hotel pinggir pantai, pengelolaan pulau-pulau di Mabar, pembebasan tanah dan pengaturan investasi asing.

Selain itu, karena Dula, masyarakat menjadi lebih kritis terhadap apa yang menjadi hak-hak dasarnya. Di antaranya adalah persoalan rumah sakit, infrastruktur jalan, dan air minum bersih. Sudah tidak kurang jumlah protes yang mengalir hanya karena persoalan kebutuhan-kebutuhan mendasar tersebut.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) misalnya, sudah dibangun sejak tahun 2007 namun belum rampung sampai saat ini. Sudah hampir 10 tahun. Bedanya bak langit dan bumi dengan Rumah Sakit Siloam yang dibangun di tengah-tengah kota. Baru dibangun tahun 2015,  hanya selang setahun sudah siap beroperasi. Ada apa dengan RSUD Mabar? Kemana larinya dana bermiliaran itu?

Begitu juga masalah air. Meski sudah digelontorkan dana sekitar 38 milliar saat Sail Komodo pada 2013, krisis air masih menjadi momok yang memalukan di Labuan Bajo. Ada apa? Korupsi? Catatan dugaan korupsi yang pernah dienduskan polres Mabar antara lain Wae Mese Labuan Bajo, Sistem Pengelolahan Air Minum (SPAM) di Marombok yang masih berkaitan dengan proyek Wae Mese, SPAM Golo Koe, SPAM DPRD dan SPAM Gorontalo.

Total anggaran untuk lima paket proyek itu mencapai Rp 28.768.799.655. Selain itu, juga instalasi Pengolahan Air minum (IPA) di Pulau Komodo, SPAM zona satu Wae Cecu, SPAM zona dua kawasan khusus, SPAM zona dua kawasan kumuh dan SPAM pedesaan pendukung KPDT di Pulau Komodo. Total anggaran paket proyek sebesar Rp 9.766.295.000.

Infrastruktur jalan tak luput dari kritik. Jalur menuju Bari, Macang Pacar, dan Kuwus masih memprihatinkan. Selama masa kampanye sebelum Pilkada 2015, kritikan terhadap Dula mengalir lantaran tak memperhatikan infrastruktur jalan raya ke sentra-sentra pertanian tersebut.

Melihat kenyataan miris itu, masyarakat dengan sendirinya tumbuh menjadi warga negara yang kritis. Tak perlu sekolah politik yang formal dalam ruang kelas. Kenyataan sosial sudah cukup menjadikan mereka melek politik.

Tentu, masyarakat yang proaktif menyuarakan kepentingan publik itu adalah gambaran  masyarakat yang melek politik. Itu terlihat paling banyak di media sosial seperti Facebook.

Kini, Dula merasakan manfaat dari masyarakat yang melek politik. Hal itu misalnya terlihat dalam persoalan dugaan korupsi jalan Lando-Noa.  Masyarakat tidak tutup mata mengawasi proses hukum itu. Dua pekan lalu, Gerakan Masyarakat Anti Korupsi (Gemasi), misalnya, melakukan aksi menuntut pengusutan tuntas dugaan korupsi Lando Noa di kantor Kapolres dan Kejaksaaan Negeri Labuan Bajo.

Sayangnya, memang, nama Dula ternyata paling utama disebut-sebut dalam dugaan korupsi itu. Sudah lebih dari 20 saksi yang diperiksa kepolisian dan nama Dula kerap kali disebut. Akan tetapinya, herannya meski sudah berjalan hampir satu tahun, Dula belum pernah diperiksa oleh polisi.

Jika ditunda terus-menerus, masyarakat terus curiga. Ada apa? Tak cukupkah dua puluh saksi untuk segera memeriksa Dula? Sebegitu lambankah kinerja polisi sampai-sampai harus begitu lama? Semua pertanyaan itu akan membawa masyarakat pada melek hukum dan politik sekaligus.

Di tengah-tengah persoalan Lando-Noa itu, Dula kembali membuat heboh. Selain terkait kliping berita-berita Floresa.co terkait kasus Lando Noa yang dipajang di majalah dinding depan ruangannya, ia juga menjadi newsmaker saat melarang semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bersinggungan dengan Floresa.co.

Menurutnya, Floresa.co sangat mendiskreditkan pemerintah. Ucapannya itu kontan mengundang reaksi meluas di media sosial. Ada yang menilai, sikap Dula tidak merepresentasikan pemimpin yang menganut nilai demokratis dimana keterbukaan informasi harusnya dijunjung tinggi.

Terlepas dari kontroversi itu, sikap Dula setidaknya membuat sebagian orang berpikir, apa yang terbaik seharusnya dilakukan. Buktinya, ucapannya dalam ruangan dan rapat tertutup itu divideokan secara diam-diam dan mampir di meja redaksi Floresa.co. Lalu, di media sosial berseliweran komentar mengecam Dula atas ucapannya itu.

BACA JUGA: Lampu Lalu Lintas dan Pemda Mabar

Di atas semua itu, terima kasih tetap layak disampaikan pada Bupati Dula. Sikap Dula sudah mampu menggerakan potensi-potensi untuk bersikap kritis pada masyarakat warga. Ia berhasil mengaktifkan potensi-potensi itu. Lantas, partisipasi politik kian luas. Masyarakat menjadi lebih aktif menyuarakan kepentingannya dan semakin sadar, kondisi seperti apa yang mereka impikan.

Bupati Dula masih memulai masa pemerintahan di periode kedua. Masih banyak kesempatan untuk bisa belajar dari dinamika di Mabar. Publik tetap diandaikan mengambil peran di dalamnya, demi mewujudkan Mabar yang lebih sejahtera. Bukankah penting bagi pemerintah untuk mengukir prestasi di periode ini, setelah di periode sebelumnya, tampak begitu susah menemukan perubahan di Mabar.  (Redaksi Floresa.co)

spot_img

Artikel Terkini