Media dan Pemkab Mabar

Oleh: IRVAN KURNIAWAN

Pada 29 Maret 2016 lalu, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat (Pemkab Mabar) melayangkan hak jawab kepada Floresa.co. Hal itu mengejutkan banyak pihak. Ditambah lagi, dengan surat hak jawab kedua, yang dikirim pada 3 April, pas hari Minggu. Dua surat jawab itu merespon berita terkait perjalanan dinas Bupati Agustinus Ch Dula.

Keterkerjutan itu bertambah dengan adanya perintah bupati Dula ke semua SKPD Mabar agar jangan buka mulut terhadapa Floresa.co.

Saya melihat, berita yang ditanggapi Pemda Mabar itu, sebenarnya tidak terlalu ‘riskan’ secara politik maupun keamanan. Ada berita-berita yang seharusnya lebih penting untuk ditanggapi, misalnya terkait polemik Privatisasi Pantai Pede dan dugaan skandal korupsi Lando-Noa yang hampir tidak pernah absen diberitakan Floresa.co.

Keterkejutan lain terkait hal berikut: Selama ini, kebanyakan aktivis organisasi, LSM, peneliti, akademisi dan kaum kritis lainnya menilai Pemkab Mabar sudah mati rasa dengan media. Dalam kasus Pantai Pede misalnya, berbagai desakan penolakan terhadap kebijakan itu sama sekali tidak mempengaruhi pemerintah.

Namun, ternyata, lewat surat hak jawab itu, Pemkab Mabar masih punya ‘mata dan telinga’ untuk melihat dan mendengar kegalauan rakyat Mabar yang disampaikan melalui media. Ini merupakan petanda baik dalam komunikasi politik di level lokal bahwa ternyata media lokal seperti Floresa.co dan media-media lainnya di Mabar mampu menjembatani kesenjangan antara rakyat dan pemerintah.

Dengan kata lain, pesan yang disampaikan masyarakat tersampaikan dengan baik kepada si penerima pesan (receiver). Hal ini terbukti dengan adanya tanggapan (feedback) dari Pemda Mabar.

Dalam ilmu komunikasi, ketika ada feedback berarti pertukaran pesan yang terjadi antara kedua belah pihak, melalui encoding dan decoding bisa mencapai kesamaan makna maupun pertidaksamaan makna. Proses ini sebenarnya belum berakhir pada pencapaian makna tetapi juga ada satu ending dari proses komunikasi yakni efek.

Efek ini berkaitan dengan perubahan pola pikir, gagasan dan tingkah laku.

Namun, sayangnya, dalam konteks Mabar, perubahan pola pikir, gagasan dan tingkah laku itu masih jauh panggang dari api. Bagaimana mungkin perubahan itu terjadi kalau makna atas pesan yang disampaikan media saja belum mencapai kesamaan makna. Harapan akan kebenaran, keadilan, transparasi dan akuntabilitas yang disampaikan lewat pesan media justru dianggap sebagai pengganggu dan merugikan elit-elit politik di Mabar.

Gejala ini pada akhirnya mengantar saya pada efek keterkejutan berikut, bahwasannya diduga kuat Pemda Mabar  ternyata belum mengerti apalagi memahami secara eksistensial apa itu demokrasi.

Pemerintahan daerah yang dijalankan tanpa demokrasi cenderung melihat kritikan sebagai pengganggu, seperti halnya yang terjadi di zaman orde baru. Media kritis dianggap sebagai perusak stabilitas negara.

Keterkejutan lainnya ketika dalam tanggapannya,  redaksi Floresa.co menampik tudingan Pemkab Mabar bahwa wartawan Floresa.co tidak mewawancarai wakil bupati Maria Geong.

Dalam tanggapan redaksi, jelas dikatakan bahwa rekaman wawancara itu masih tersimpan rapi oleh wartawan. Lalu siapa sebenarnya yang berbohong? Floresa.co atau Pemda Mabar?

Makna yang terhegemoni

Rupanya sulit untuk  mengatakan bahwa elit-elit politik di Mabar tidak mengerti apalagi memahami demokrasi.

Saya yakin, elit-elit politik di Mabar adalah kumpulan orang-orang yang dan masih punya hati untuk mendengar dan merasakan kegalauan masyarakat. Mereka sebenarnya tidak harus diajarkan lagi bagaimana tujuan demokrasi dan asas demokrasi.

Dalam konteks hak jawab, pertanyaan biasa namun cukup menyengat adalah mengapa Pemkab Mabar menyampaikan hak jawab yang justru menelanjangi diri mereka sendiri?

Apakah feedback (hak jawab) itu adalah sinyal bahwa Pemkab Mabar dan masyarakat belum mencapai kesamaan makna? Kalau belum, mengapa itu terjadi?

Tanggapan subyek atas suatu pesan (baca:berita) disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan integritas diri subyek dan faktor eksternal berkaitan dengan pengaruh dari luar diri.

Dalam konteks politik, faktor eksternal erat kaitannya dengan kepentingan politik dalam menanggapi sebuah pemberitaan. Fakta yang disampaikan media bisa menjadi kabur bahkan kehilangan makna karena telah ‘terhegemoni’ oleh kepentingan politik sesaat dari permufakatan jahat elit politik.

Maka, dalam kasus ini, bisa terjawab mengapa hak jawab Pemkab Mabar disampaikan kepada Floresa.co yang selama ini ‘mengganggu’ kepentingan elit politik di Mabar.

Kenyataan ini juga bisa menjawab mengapa  elit-elit politik Mabar yang tahu demokrasi dan mengerti makna di balik pesan media, berpura-pura tidak tahu bahkan memplesetkan makna yang sebenarnya.

Kalau boleh jujur, maka frasa ‘mengganggu dan merugikan’ seperti yang tertuang dalam hak jawab Pemkab Mabar sebenarnya tidak mengganggu dan merugikan Pemkab secara institusi tetapi mengganggu dan merugikan kepentingan segelintir elit dimana persekongkolan mereka disentil pemberitaan Floresa.co.

Kalau modelnya begini, maka media dengan jejeran redaktur para malaikat pun tetap dianggap pengganggu dan merugikan Pemda Mabar.

Bukankah masyarakat ‘berhak’ mempertanyakan kinerja dan kebijakan pemerintah yang sudah dimandatkan rakyat melalui Pilkada?

Terlepas dari hak subyek untuk menyampaikan hak jawab, harusnya yang lebih banyak bertanya adalah rakyat Mabar melalui fungsi kontrol media dimana mesin birokrasi Pemkab Mabar lebih digerakkan untuk mengejar kepentingan pribadi dan golongan.

Untuk Pemda Mabar

Sebagai masyarakat yang hidup dalam negeri demokrasi, tentunya kita mengharapkan agar demokratisasi di level lokal dapat berjalan beriringan dengan demokratisasi di level nasional.

Kita bersyukur bahwa di zaman pemerintahan Jokowi-JK, transparansi birokrasi semakin membaik dari hari ke hari, meskipun belum sempurna. Fenomena keterbukaan itu dapat terlihat dari munculnya website-website internal di kementrian maupun institusi semi-pemerintahan.

Salah satu institusi yang patut dicontoh adalah Sekertariat Kabinet (Setkab) RI, dimana hampir setiap saat mempublikasikan kegiatan, informasi, program maupun perjalanan dinas presiden.

Tidak hanya di website, peran humas ini juga dipublikasi melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Dengan demikian, masyarakat dapat mengetahui dan mengamati kinerja pemerintahan secaral langsung. Melalui publikasi ini, pemerintah juga mempertanggungjawabkan amanat yang dipercayakan rakyat kepadanya sehingga terbebas dari segala macam kecurigaan dan prasangka buruk.

Jika semangat transparasi ini sudah dimulai di level pusat, harusnya daerah juga bisa menyesuaikan diri dengan mengotimalisasikan peran humas daerah.

Mengurus website dan akun media sosial itu tidak susah, bahkan anak SD pun bisa lihai memainkannya. Segala macam kegiatan termasuk perjalanan dinas pejabat bisa diposting melalui website dan akun sosial tersebut.

Dengan demikian, urusan tetek bengek seperti perjalanan dinas tidak harus menjadi masalah serius apalagi berujung pada penggunaan hak jawab Pemda Mabar.

Saya pikir masih banyak masalah lain di Mabar yang harus segera diselesaikan dan butuh perhatian serius ketimbang berpolemik seputar perjalanan dinas.

Semua ini bisa terwujud jika Pemda Mabar punya itikad baik untuk membangun daerah dan  menyadari tugas dan perannya sebagai pelayan rakyat.

Penulis adalah aktivis GMNI Kupang

spot_img
spot_img

Artikel Terkini