BKH, Rotok dan Persepsi Publik

Oleh: IRVAN KURNIAWAN

Politik adalah perang persepsi. Dalam konteks pertarungan merebut kekuasaan seperti Pilkada, perang persepsi itu terkait erat dengat strategi komunikasi untuk memasukkan informasi tentang figur dan ketokohan seorang politisi ke dalam memori publik.

Siapa yang mampu menguasai persepsi publik hampir pasti akan memenangkan sebuah pertarungan politik.

Itulah alasan, mengapa setiap kali momentum Pilkada, masyarakat sering mendapat ‘goncangan informasi’ akibat membanjirnya isu politik yang berseliweran di ruang publik.

Ada isu suku, agama, golongan, wilayah, maupun isu-isu seputar diri dan rekam jejak kandidat.

Keberadaan isu-isu ini sering kali menghadirkan pro-kontra. Sering pula terjadi miskonsepsi tentang informasi diri maupun rekam jejak para kandidat.

Dalam ruang yang serba tak pasti ini, masyarakat sering menerima remah-remah informasi yang sudah diolah dan dipelintir demi menjegal kandidat tertentu.

Isu dalam konteks ini seperti bola liar yang susah dikontrol. Akibatnya, tidak sedikit orang yang terlanjur percaya pada sebuah informasi yang sesungguhnya menyesatkan. Namun, dipaksa diterima sebagai sebuah kebenaran.

Inilah yang dinamakan sebagai ilusi perseptual. Kita merasa dunia ini datar, padahal bulat, merasa bahwa figur ini mampu memenuhi harapan rakyat, padahal cuma pencitraan belaka.

Karena itu, persepsi adalah inti komunikasi. Jika persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih pesan tertentu dan mengabaikan pesan yang lain.

Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi individu, semakin mudah pula sebuah informasi masuk, lalu berubah menjadi sebuah keyakinan.

Dalam konteks perang persepi politik, semakin banyak kesamaan persepsi tentang kandidat maka semakin besar pula peluang seorang kandidat diterima dan mendapat dukungan.

Dalam politik pemasaran, kandidat adalah pesan itu sendiri karena dia adalah ‘barang dagang’ yang akan disuguhkan ke tengah masyarakat.

BKH VS CR

Dalam kontek masyarakat Manggarai Raya, perang persepsi itu sudah mulai muncul, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Kembali tampilnya dua figur lama pada Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) 2018 memantik rivalitas opini di ruang publik.

Kedua figur ini adalah Benny Kabur Harman (BKH), anggota DPR-RI tiga periode dari daerah pemilihan NTT I dan Christian Rotok (CR), mantan Bupati Manggarai dua periode yang maju sebagai wakil dari Esthon Foenay.

Entah apa latarnya, kedua politisi asal Manggarai ini selalu saja ‘bersikut-senggol’ setiap kali momentum pemilihan gubernur.

Padahal, suara arus bawah Manggarai Raya menginginkan agar salah satu di antara keduanya legowo untuk mundur, lalu saling mendukung.

Terkait BKH dan Rotok, saya teringat dengan film kartun ‘Tom & Jerry’. Inii adalah sebuah serial animasi Amerika Serikat hasil produksi MGM yang bercerita tentang seekor kucing (Tom) dan seekor tikus (Jerry) yang selalu bertengkar.

Pada episode tertentu, mereka berdamai, namun itu hanya terjadi sebentar saja. Setelah itu, aksi saling kejar menjadi drama tanpa akhir, entah kapan.

Saya tidak sedang menggiring khalayak untuk menentukan siapa Tom dan siapa Jerry di antara BKH dan Rotok.

Yang mau ditunjukkan di sini, hanya bahwa drama politik yang mereka mainkan kurang lebih seperti fenomena Tom & Jerry.

Menariknya, pada tahun 2013 lalu, kedua figur ini sudah pernah merasakan pil pahit atas kekalahan tragis yang sungguh memilukan.

BKH yang kala itu berpasangan dengan Willem Nope mendapatkan total suara 242.610 atau 10,61 persen dari suara sah, sedangkan Rotok yang berpasangan dengan Abraham Paul Liyanto mendapat 332.569 suara (14,55 persen) atau berada pada posisi keempat dari lima pasangan calon.

Namun, saat ini ceritanya agak sedikit berbeda. BKH tetap memilih nomor satu sementara Rotok memilih nomor dua.

Situasi ini sebenarnya sudah menjawabi harapan publik Manggarai agar cuma satu figur yang mewakili daerah itu. Namun, rupanya tetap saja terganjal dengan kehadiran Rotok yang menyatakan maju bersama Esthon Foenay.

Rotok sebagai bupati dua periode tentunya memiliki pertimbangan lain yang mungkin saja lebih jitu dari BKH.

Kembali ke soal persepsi. Perang isu antara ke dua figur ini sangat terasa walaupun pilgub NTT masih jauh di depan mata.

Keduanya juga sama-sama mencuri start kampanye. BKH bergerak dengan BKH Peduli-nya sementara Rotok sudah mulai berjalan ke kampung-kampung meminta dukungan.

Menurut pengamatan saya, setidaknya ada beberapa isu yang berpotensi melahirkan persepsi.

Pertama BKH, sudah pasti akan memanfaatkan  peluang ‘nomor satu’ sebagai main issue dalam kampanye di Manggarai dan Flores pada umumnya.

Sebagai orang nomor satu, tentunya BKH memiliki kewenangan dan otoritas yang besar dalam membangun NTT ke depan.

Sementara Rotok akan menampiknya dengan isu ‘politik terlibat’. Sebagai bupati dua periode ia merasa kuat mencengkeram arus dukungan rakyat dengan apa yang ia pernah buat selama menjabat bupati Manggarai bahkan sebelum mekar dengan Manggarai Timur.

Dari kedua isu ini, mana yang berpotensi dominan membentuk keyakinan publik lalu membentuk persepsi?

Jawabannya tergantung strategi tim ke depan.

Kedua isu di atas cuma pengantar dari dereten isu lain yang sedang dan akan berkembang.

Lazimnya, sejauh yang saya amati dinamika isu dalam pilgub NTT maupun di daerah lain akan mengerucut dari hal-hal umum ke hal-hal khusus bahkan makin lama makin menyentuh area privat kandidat.

Untuk Masyarakat

Alur perjalanan isu politik akan berakhir pada masyarakat sebagai target atau sasaran komunikasi. Masyarakat dalam hal ini adalah receiver atau penerima informasi.

Dalam proses penerimaan informasi, ada tiga hal penting yang harus dicermati.

Pertama, pengindraan (sensasi). Melalui alat – alat indra seperti mata, telinga dan kulit, sebuah pesan akan masuk kemudian dikirimkan ke otak untuk  dipelajari.

Penglihatan menyampaikan pesan nonverbal ke otak untuk diinterprestasikan. Pendengaran juga menyampaikan pesan verbal ke otak untuk ditafsirkan. Sentuhan juga terkadang memainkan peranan penting dalam persepsi, seperti jabatan tangan yang kuat, pelukan, ciuman dan lain-lain.

Kedua, atensi atau perhatian, yakni pemrosesan secara sadar sejumlah informasi yang masuk ke otak. Proses atensi membantu kecepatan reaksi terhadap rangsang tertentu.

Dalam proses ini, informasi disaring untuk menguji validitas kebenaran. Pada tahap ini masyarakat harus mampu menggunakan kesadaran kritisnya untuk memilah mana informasi yang benar dan salah.

Ketiga, interpretasi, yakni proses penerjemahaan informasi yang ada untuk kemudian dipakai sebagai keyakinan.

Dalam konteks politik, interpretasi sebuah isu berkaitan dengan kepentingan politik dari setiap individu.

Namun, menurut Wisroni dalam Vanhoten (2006: 17), faktor pembentuk persepsi dibagi menjadi dua yakni internal dan eksternal. Secara internal menyangkut fisiologis, minat, kebutuhan, pengalaman dan ingatan dan suasana hati.

Sementara faktor eksternal berkaitan dengan karakteristik dari lingkungan dan obyek- obyek yang terlibat di dalamnya.

Ada pula faktor keunikan dan kekontrasan stimulus.  Stimulus dari luar yang penampilannya dengan latar belakang dan sekelilingnya yang sama sekali di luar sangkaan individu yang lain akan banyak menarik perhatian.

Salah satu alat yang mampu tajam membedakan mana ilusi dan mana fakta adalah kesadaran kritis masyarakat pada tahap atensi.

Masyarakat harus mampu mengkritisi berbagai isu dengan meilhatnya secara komperhensif. Artinya, selain melakukan seleksi isu dengan kesadaran kritis, kita juga harus mampu me-review latar belakang, motivasi, rekam jejak dan reputasi ke dua kandidat ini.

Dengan demikian, kita tidak mudah terjebak dalam sebuah strategi komunikasi yang kadang melahirkan ilusi perceptual.

Penulis adalah lulusan studi komunikasi politik.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini