“Saudara Kembar” Komodo yang Diabaikan

Floresa.co – Tidak banyak yang tahu tentang Kampung Komodo dan Kampung Rinca di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) – Flores.

Berada dalam satu kawasan dengan hewan purba yang sudah mendunia, Varanus Komodoensis, ternyata  dua kampung tersebut yang masing-masing berada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca sudah berpenduduk mencapai lebih dari seribu orang.

Seorang fotografer, Monstar Simanjutak beberapa waktu lalu terheran-heran saat mendengar Kampung Komodo.  Begitu pula dengan beberapa wisatawan asal Italia yang saya jumpai di Kampung Komodo.

Mereka semula tak percaya bahwa ada kampung di Pulau Komodo dan Pulau Rinca.

Alasannya hampir sama. Tak ada literatur yang memadai yang bercerita tentang kampung dalam kawasan habitat hewan purba yang sudah terkenal itu.

Ada banyak pertanyaan muncul dari mereka. Di antaranya, bagaimana hubungan penduduknya dengan komodo dan bagaimana kehidupan mereka di tengah perkembangan industri pariwisata dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).

Bagi penduduk di Pulau Komodo, respon demikian sudah sering dialami.

Abdul Malik, seorang guru yang sudah lama mengabdi di Kampung Komodo punya cerita yang miris.

Katanya, persoalan penduduk di Kampung Komodo tidak menarik bagi media, ketimbang binatang langka komodo.

“Saya pernah diwawancarai semalaman oleh seorang wartawan di media ternama di Indonesia. Tetapi ditunggu-tunggu untuk dimuat, ternyata tidak ada.” katanya.

Ancaman

Apa yang dialami warga seperti Abdul, barulah sebagian kecil harga yang mesti dibayar sejak ditetapkannya Pulau Komodo dan Rinca, serta pulau-pulau lainnya di Mabar sebagai bagian dari Taman Nasional pada tahun 1980.

Kawasan dengan luas 1.817 km2 atau 173.300 ha berubah menjadi “kawasan terlindungi”.

Tujuannya, untuk melindungi komodo dan keanekaragaman hayati di dalamnya.

Meski tujuan konservasi itu sangat mulia, selama tiga dekade ini, konservasi lebih banyak terbukti memakan ongkos manusia yang luar biasa.

Demi memberi ruang yang lebih luas kepada hewan langka dan keanekaragaman hayati, turisme, dan industri, masyarakat lokal selama bertahun-tahun dipaksa dalam satu dan lain cara meninggalkan tanah dan binatang peliharaan mereka.

Rumah-rumah pernah dibakar, dipindahkan secara paksa, dan di saat area terlindungi diperluas, ancaman terhadap mereka malah semakin meningkat.

Pada awal terbentuknya TNK, ditandai dengan kejadian yang memilukan. Lahan kebun milik penduduk di Loh Liang diambilalih demi menjadi pintu masuk wisatawan.

Sekitar 67 kepala keluarga terpaksa melepaskan tanah mereka dibawah rejim Orde Baru saat itu.  Pondok-pondok mereka dibakar. Kini, tidak hanya pagar-pagar kebun yang sudah tumbuh menjadi pohon besar sebagai bukti peninggalan itu, tetapi juga sebuah kuburan yang masih terletak di dalam area Loh Liang.

Sebuah kuburan di Loh Liang yang menjadi salah satu indikasi bahwa warga pernah menjadi pemilik tanah di kawasan ini. (Foto: Gregorius Afioma/Floresa)
Sebuah kuburan di Loh Liang yang menjadi salah satu indikasi bahwa warga pernah menjadi pemilik tanah di kawasan ini. (Foto: Gregorius Afioma/Floresa)

Ada cerita yang mengatakan, seorang nenek meninggal lantaran shock saat dipaksa pindah dari pondoknya.

Tidak hanya tanah yang diambilalih, penduduk Kampung Komodo terancam dipindahkan. Pemerintah sudah menyiapkan sebuah lokasi di wilayah Flores saat itu, rencana yang kemudian dibatalkan.

Meskipun sekarang ini mereka masih boleh tinggal dalam kawasan, namun tekanan dan ancaman kehidupan mereka terhitung berat.

Di antaranya, melalui penetapan zonasi (sistem zonasi didasarkan pada SK Dirjen PHKA No. 65/Kpts/DJ-V/2001 tanggal 30 Mei 2001) dalam kawasan Taman Nasional, kehidupan masyarakat jelas-jelas dibuat semakin termarginalkan dan terpinggirkan.

Untuk sekarang ini, dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat, penduduk Kampung Komodo maupun kampung Rinca hanya menempati wilayah kurang dari 5 persen dari luas pulau.

Di Kampung Komodo, rumah-rumah bahkan didirikan di atas tanggul penahan air laut.

Seiring itu pula, persoalan di masa depan tidak kalah mencemaskan daripada pengabaian hak-hak di masa lalu.

Mereka tidak boleh membunuh segala jenis binatang seperti rusa. Tidak boleh menebang pohon. Menangkap ikan hanya berlangsung pada zona-zona tertentu.

Dalam soal kepemilikan tanah, mereka tidak memiliki sertifikat atas tanah. Hal itu sudah terbukti memantik konflik horisontal.

Lalu, bagaimana mereka bertahan hidup?

Sekarang ini, sebagian besar penduduk Kampung Komodo menjual souvenir di Loh Liang.  Ada sekitar 150 orang. Penghasilan bisa mencapai 3 juta per bulan.

Namun, bisnis tersebut selalu pasang surut, tergantung jumlah pengunjung. Juga untung-untungan mengingat hampir semua penjual menawarkan produk souvenir yang sama.

Ada beberapa yang sudah meninggalkan pekerjaan itu. Salah satunya, Abu Bakar.

Ia beralasan, pekerjaan itu tidak lagi punya prospek di masa depan.

Di Kampung Rinca, sebagian besar masih nelayan. Hasil laut terhitung melimpah meskipun tergantung musim.

Di masa-masa penghasilan surut itu, tidak ada lagi pekerjaan alternatif. Padahal, kebutuhan uang sepanjang tahun sudah merata seiring semakin banyaknya anak yang dikirim ke sekolah.

Diharapkan masuk ke bisnis pariwisata, rupanya tak semudah membalikkan telapak tangan bagi penduduk di sana.

Di Kampung Komodo, baru 40 persen yang lulus SD, sementara 30 persen belum lulus SD. Yang lulus perguruan tinggi masih bisa dihitung dengan jari.

Masyarakat Kampung Komodo coba mengusahakan sekolah menengah atas agar ongkos pendidikan lebih murah. Namun. usaha itu terjegal oleh larangan dari Balai Taman Nasional Komodo tahun 2015.

Di Kampung Rinca, keadaannya tidak berbeda jauh. Meskipun sekolah dasar sudah didirikan sejak lama, baru tahun 2011 ada lulusan sarjana yang pertama.

Sebagian besar hanya menamatkan pendidikan dasar dan sekolah menengah. Kenyataan itu diperparah oleh tidak adanya penguatan kapasitas masyarakat lokal untuk terlibat dalam bisnis pariwisata.

Dengan demikian, sulit membayangkan bagaimana penduduk dalam zona taman nasional bertahan ke depannya.

Penguasaan dan kontrol mereka atas tanah, laut, pesisir, dan pantai sudah diambilalih dan hilang. Pelan tapi pasti, kesulitan-kesulitan akan mendera kehidupan masyarakat dalam kawasan TNK.

Proses Peminggiran

Lantas benarkah konservasi berupaya melindungi komodo dan keanekagaman hayati di dalam kawasan Taman Nasional Komodo?

Bagi penduduk dalam kawasan, komodo masih bisa lestari sampai sekarang, salah satunya, karena keyakinan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Ibarat dua sisi mata uang, komodo dan penduduk sebenarnya tak terpisahkan satu sama lain. Penduduk di Pulau Komodo dan Pulau Rinca meyakini bahwa komodo adalah saudara mereka. Asal-usul komodo diceritakan dari seorang ibu yang melahirkan anak kembar. Satunya manusia dan satunya komodo. Karena itu, komodo dalam bahasa komodo dipanggil “sebae”, artinya sebelah.

Penduduk di Komodo dan Rinca dulunya hidup berburu dan meramu.

Dalam hidup masa demikian, terjalin hubungan yang erat dengan komodo. Ketika mendapat hewan buruan seperti rusa, biasanya langsung disembelih di hutan. Bagian kepala, organ dalam, kulit, dan kaki ditinggalkan untuk “saudara” Komodo. Karena itu, biasanya jika terdengar gongongan anjing, komodo sudah siap mendekat.

Tak heran kemudian, seganas-ganasnya komodo seperti saat ini yang sering memangsa kambing milik warga, sebuah penelitian tahun 2013 yang dilakukan oleh KEHATI dan Universitas Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 90, 67 % percaya bahwa manusia dapat hidup bersama komodo.

Kalaupun komodo beberapa kali mengigit manusia, masyarakat percaya bahwa itu hanya insiden semata. Bukan suatu naluri dasariah komodo untuk membunuh manusia.

Ada pula cerita-cerita yang menegaskan hubungan itu. Di Pulau Rinca, seorang ibu bernama Tima pernah digigit komodo.

Dalam kepasrahannya di tengah hutan, ia berujar dalam Bahasa Komodo, “Sebae, jangan gigit saya. Kita saudara”.

Kontan komodo melepaskan gigitan dan membiarkan ibu itu tetap hidup.

Padahal, dalam kasus gigitan lain, komodo biasanya semakin buas saat melihat darah.

Karena itu, sebelum perubahan status kawasan taman nasional pada tahun 1980, masyarakat percaya bahwa konservasi sudah dimulai sejak lama, yakni oleh nenek moyang mereka. Jika saja mereka menganggapnya berbahaya dan musuh, sudah lama komodo punah karena diburu.

Konservasi ala TNK

Lalu, bagaimana dengan konservasi melalui pembentukan TNK?

Konservasi itu ternyata tidak semata-mata bercerita tentang melindungi komodo dan keanekaragaman hayati di dalamnya, tetapi juga berbicara tentang pariwisata dan industri.

Hal itulah yang membuat konservasi ala TNK berlangsung dalam paradoks dan ambivalensi.

Dalam soal konservasi, terjadi perubahan gagasan secara drastis yang berakibat pada penyingkiran masyarakat lokal.

Dari pandangan berbasis pada kearifan masyarakat setempat kepada konservasi gaya sains atau pendekatan Barat.

Konservasi TNK mengadaptasi model konservasi Amerika Serikat (Yellowstone) yang berbasis eksklusi. Artinya, komodo hanya bisa lestari dan mampu menjadi aset yang membawa keuntungan bagi sebanyak mungkin orang jika berada dalam lingkungan alami tanpa intervensi aktivitas manusia.

Penduduk di Kampung Komodo dan Kampung Rinca paling merasakan dampak dari gagasan tersebut. Mereka tidak lagi dipandang sebagai satu kesatuan dengan komodo, tetapi dipandang sebagai kompetitor atau pengancam. Mereka kemudian dibatasi dalam aturan zonasi.

Bertolak dari kenyataan itu, konservasi menjadi kenyataan yang “asing” bagi masyarakat.

Konservasi seringkali dilihat sebagai wujud kesewenang-wenangan, mengusir mereka dari tanahnya dan mengabaikan pandangan mereka terhadap alam.

Pekerjaan Rumah

Berbicara tentang industri pariwisata, melalui status Taman Nasional sudah berhasil mempopulerkan daya tarik wisata binatang langka Komodo dan keanekaragaman hayati di laut di mata dunia.

Jumlah pengunjung ke taman nasional terus meningkat tiap tahun. Tahun 2015 sudah mencapai 90 ribu pengunjung dengan jumlah penerimaan sebesar 18-20 milliar.

Jumlah pengunjung diharapkan meningkat 5 kali lipat sampai tahun 2019 yakni sebanyak 500 ribu kunjungan.

Ada pun tiga tujuan teratas dalam kegiatan wisata dalam kawasan TNK, antara lain melihat komodo, snorkeling dan diving.

Namun kesuksesan itu ternyata secara lebih kejam menggambarkan ketersingkiran masyarakat lokal ketika bersamaan dengan berkembangnya industri pariwisata itu berlangsung pula praktik-praktik penguasaan dan ambilalih kontrol atas tanah, air, laut, pulau-pulau dan pesisir.

Kapal diving dan snorkeling berseliweran di atas laut dalam kawasan TNK dengan raupan untung milliaran.

Pulau-pulau banyak yang diprivatisasi dan dibangunkan resort-resort. Di kota Labuan Bajo, pintu masuk menuju TNK, hotel-hotel dan restoran tumbuh dengan cepat.

Sementara itu, di sisi lain, di Kampung Komodo dan Kamung Rinca, keterlibatan penduduk dalam pariwisata dan konservasi belum apa-apa.

Masing-masing baru sekitar 20 orang baik dari Rinca maupun Komodo, yang bekerja sebagai guide di Loh Liang (Komodo) dan Loh Buaya (Rinca).

Itu pun dengan jadwal yang tidak rutin dan seperti “tenaga harian lepas”. Belum sampai 10 orang yang bekerja di bidang operator wisata seperti menjadi dive master.

Selebihnya, masyarakat masih berkutat dengan persoalan dasar seperti krisis air bersih, penerangan listrik dan wilayah pemukiman yang kian padat.

Warga di Kampung Rinca sedang antri menimba air. Ketersediaan air bersih masih menjadi masalah pelik di daerah ini. (Foto: Gregorius Afioma/Floresa)
Warga di Kampung Rinca sedang antri menimba air. Ketersediaan air bersih masih menjadi masalah pelik di daerah ini. (Foto: Gregorius Afioma/Floresa)

Di dua kampung tersebut, hanya sesekali saja wisatawan datang. Mereka sekadar berkunjung, berjalan-jalan sekeliling kampung tanpa dipungut bayaran apa-apa.

Berbeda dengan dua pintu masuk melihat-lihat komodo (Loh Liang dan Loh Buaya) yang bisa mencapai 120 pengunjung per hari.

Tak hanya itu. Tak jauh dari dua kampung tersebut, dua objek wisata selalu dikerumuni kapal pesiar. Di kampung Komodo, ada pink beach yang semakin ramai dikunjungi. Di kampung Rinca, ada Pulau Kalong dimana para wisatawan menikmati keindahan sunset dan melihat burung-burung kalong terbang bersamaan di sore hari.

Untuk kedua tempat tersebut, pemerintah desa tidak melakukan pemungutan apa-apa. Bahkan dari hasil pungutan kunjungan menuju Komodo dan Rinca yang bisa mencapai 18-20 milliar per tahun itu, tidak ada sumbangsih apa-apa demi pengembangan komunitas dan kepentingan masyarakat desa.

Para murid SMP Negeri Satu Atap di Pulau Komodo yang hingga kini hanya memiliki satu ruang kelas, sehingga terpaksa ada kelas yang melaksanakan kegiatan belajar mengajar di bawah pohon. (Foto: Gregorius Afioma/Floresa)
Para murid SMP Negeri Satu Atap di Pulau Komodo yang hingga kini hanya memiliki dua ruang kelas, sehingga terpaksa ada satu kelas yang melaksanakan kegiatan belajar mengajar di bawah pohon. (Foto: Gregorius Afioma/Floresa)

Jadi, “Saudara Kembar” komodo itu memang sudah lama dilupakan.

Jika dilihat dari potensinya, seharusnya kampung-kampung itu sudah jauh lebih maju dan jauh lebih diperhatikan hak-haknya atas pembangunan dan akses ekonomi dan politiknya. (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini