Pangan Lokal dan Ruang Kelas

Catatan terkait Hari Pangan Sedunia tingkat Kabupaten Manggarai Timur

Oleh: RINI TEMALA

Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun ini tingkat Kabupaten Manggarai Timur dilangsungkan selama tiga hari, 19-21 Oktober di Lawir, Kecamatan Poco Ranaka Timur.

Salah satu topik pembahasan dalam kegiatan tersebut adalah tentang masyarakat yang masih memandang beras sebagai satu-satunya makanan pokok.

Ini tentu tidak hanya terjadi di Manggarai Timur, tetapi juga di daerah lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kurangnya minat dalam membudidayakan pangan lokal sebagai alternatif ikut berkontribusi bagi berkembang dan bertahannya pola pikir demikian.

Padahal, di Matim dan NTT pada umumnya, terdapat berbagai jenis pangan.

Salah satu contoh praktek peminggiran pangan lokal, misalnya terungkap dari cerita yang sempat dikisahkan Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) Matim bahwa seorang penjual gorengan di Borong, ibukota Matim harus mendapatkan ubi jalar dari Jawa sebanyak 5 ton per bulan untuk menjalankan bisnisnya.

Ini merupakan kecelakaan sejarah sekaligus peringatan bagi kita di NTT yang telah lama melihat pangan lokal sebagai sesuatu yang asing dalam urusan makan-minum setiap hari.

Pemicu

Dari diskusi yang berlangsung selama dua hari di Lawir, setidaknya ada beberapa faktor utama penyebab kurangnya minat masyarakat untuk membudidayakan pangan lokal.

Pertama, kurangnya pengetahuan tentang nilai gizi yang terkandung dalam pangan lokal non beras.

Padahal, beberapa pangan lokal terbukti mempunyai kandungan yang dapat mengobati penyakit degeneratif. Juga banyak di antaranya seperti ubi-ubian yang kandungan karbohidratnya lebih tinggi dibandingkan beras.

Kedua, keberadaan pangan lokal yang terlanjut dinilai begitu-begitu saja, mengurangi ketertarikan masyarakat untuk memelihara serta membudidayakannya.

Ketiga, melihat harga cengkeh dan komoditi lain yang melonjak di pasaran, masyarakat tergiur membabat semua pangan lokal serta menggantikannya dengan cengkeh atau komoditi lain.

Tentu, cara pandang seperti ini menjadi kendala dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional lewat pembudidayaan pangan lokal.

Peran Guru

Ulasan singkat terkait kegiatan ini memberi kesan tersendiri bagi saya sebagai seorang guru SMP di Lawir, Desa Golo Lero, Matim.

Bagaimanapun, makanan lokal merupakan bagian dari budaya lokal yang harus terus dilestarikan dalam memenuhi kebutuhan makanan masyarakat.

Kesadaran ini pun memantik satu pertanyaan reflektif bagi saya, “Bagaimana cara seorang guru memperkenalkan dan menumbuhkembangkan rasa cinta peserta didik terhadap budaya lokal, khususnya lagi pangan lokal?”

Sebagai generasi yang tumbuh di era serba instan, guru seharusnya mulai belajar mendekatkan diri dengan pangan lokal, menyelami sejarah serta meramunya dalam materi pembelajaran.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengaitkan budaya lokal dengan materi pelajaran di sekolah.

Pendekatan ini senada dengan salah satu metode yang digunakan dalam pelajaran Matematika yakni Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) yang diadaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME).

Dalam pendekatan ini, yang diutamakan adalah pembelajaran dari hal-hal yang bersifat kontekstual.

Salah satu cara memanfaatkan budaya lokal dalam pelajaran Matematika, menurut saya dengan mengidentifikasi jenis-jenis bangun datar yang merupakan salah satu materi pada tingkat SD Kelas IV juga SMP Kelas VII.

Dalam konteks budaya Manggarai, ada sistem pembagian tanah yang biasa disebut Lodok (sawah yang berbentuk jaring laba-laba). Jika dihubungkan dengan Matematika, lodok dapat dijadikan representasi dari jenis-jenis bangun datar.

Meski tidak harus turun langsung ke sawah, setidaknya bagi peserta didik di Manggarai, Lodok bukan lagi sesuatu yang baru. Kekayaan budaya ini dapat dijadikan langkah awal untuk mengenalkan kebudayaan lokal lewat pelajaran matematika.

Selain itu, rumah adat Manggarai dimana dalam beberapa bagiannya bisa dijadikan representasi dari jenis bangun datar dan bangun ruang dalam pelajaran Matematika.

Bukan hanya dalam pelajaran Matematika. Dalam pelajaran lain pun seperti Bahasa Indonesia, peserta didik dapat dikenalkan dengan budaya lokal melalui materi menyusun teks deskripsi maupun teks observasi.

Lewat Bahasa Indonesia, peserta didik dapat mendeskripsikan ubi kayu atau ubi jalar yang paling dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Selain itu, melalui pelajaran Biologi, guru dapat menekankan manfaat beberapa tanaman yang merupakan jenis pangan lokal.

Dalam pelajaran prakarya pun dapat memanfaatkan pangan lokal. Misalnya saja, di daerah Lawir Kecamatan Poco Ranaka Timur, peserta didik dapat dikenalkan dengan cara mengolah pisang atau ubi kayu dengan cara yang lebih modern.

Dengan menghubungkan materi pembelajaran dan pangan lokal, niscaya siswa dapat mengenal serta mempertahankan budaya lokal.

Sebagai guru, kita tentu tidak ingin peserta didik kita terlena sampai pada titik kehilangan budaya (lost culture). Kebudayaan khususnya budaya lokal harus diaduk bersama pendidikan formal agar mampu melahirkan generasi unggul bangsa.

Selamat atas terselenggaranya HPS ke-36 tingkat Kabupaten Matim.

Penulis adalah guru matematika di SMPK St Yosef Lawir, Poco Ranaka Timur serta salah satu anggota Komunitas Sastra Hujan Ruteng.

spot_img

Artikel Terkini