Endong Patola

Oleh: NANA LALONG

Lelaki yang selalu nangkring di pantai itu bertahun-tahun terobsesi daya magis endong patola, patola tau sama wulang. Itulah matahari atau tepatnya sebentuk sunset yang diburunya bertahun-tahun. Tetapi pada akhirnya ia sedikit kecewa. Lalu pelahan-lahan disebutnya itu matahari yang tenggelam dalam kenangan. Tapi apalah arti kenangan jika hanya mengekalkan rasa kecewa yang datang tiap jelang senja di pantai?

Agak aneh rasanya dan engkau mungkin tak kuat menahan diri untuk bertanya. Bukankah matahari selalu terbenam di ufuk Barat? Pernahkah ia terbit setelah terbenam dalam kenangan?

Lalu bagaimana rasanya matahari yang terbit setelah tenggelam dalam kenangan? Akankah teriknya terasa lebih lembut? Ataukah menjadi lebih garang karena kenangan-kenangan yang pahit? Lantas di pantai Pede yang makin murung ini, ia membagi teriknya pada tubuh-tubuh yang  berjemur di hamparan pasir putih yang dicemari sampah.

Barangkali lelaki itu sudah kenyang dengan aneka rupa pertanyaan ini. Mungkin juga ia telah memiliki jawaban sendiri. Jawaban yang cukup membuatnya tabah menanti endong patola, patola tau sama wulang. Bertahun tahun setiap jelang senja walau akhirnya orang mudah menebak, ia kecewa.

Baginya tak ada yang lebih indah dari endong patola, patola tau sama wulang. Ia pernah bercerita dengan pastor tentang sebentuk sunset itu.

“Itulah mistik perkawinan orang Manggarai. Percumbuan bulan dan matahari dalam kesatuan yang intim,” kata sang pastor.

Lelaki kita lalu memahami itu sebagai percumbuan bulan dan matahari di saat matahari belum-benar-benar pergi dan malam belum sepenuhnya datang tetapi saat itu bulan sudah datang lebih dini. Cumbu mesra dua penerang jagat pada latar senja, bertabur cahaya nan keemas-emasan. Itulah endong patola, patola tau sama wulang. Percumbuan dua kekasih pada titik perjumpaan antara siang dan malam. Katakanlah, ini susnset yang mungkin tak ada di belahan lain bumi ini.

Dari pantai Pede lelaki itu akan melukiskan keindahan itu begitu memukau.  Di balik siluet pulau-pulau yang bertabur bagai pion-pion di permukaan laut yang beriak lembut, terlukis bola mentari nan keemas-emasan yang nyaris tenggelam. Malam dengan jubahnya yang yang kelabu, redup, dan akan jadi gelap pelahan-lahan tampil walau saat itu belum benar-benar sempurna. Barangkali ia berhenti sejenak, mengintip dari suatu jarak yang tak terhampiri.

Tetapi sekaligus di saat ini ada bulan, entah separuh atau penuh, yang datang lebih dini menjumpai matahari, kekasih yang sudah lama dirindukannya. Betapa membahagiakan perjumpaan itu. Perjumpaan yang ringkas  memang, tetapi bulan masih sempat menagih restu untuk mengekalkan senyum kekasihnya yang begitu bercahaya. Ia mungkin begitu benci pada malam yang enggan menampakkan senyum.

Bulan hendak menyibak kelamnya jubah malam dengan binar-binar senyum kekasihnya yang dia kekalkan untuk muda-mudi di tana Congkasae. Barangkali bulan, yang dibuai rasa cinta, hendak mengabarkan ke muda-mudi yang bergembira-ria di natas, halaman kampung, oh betapa indahnya jatuh cinta. Kata orang, seperi tersampaikan di lagu-lagu, jatuh cinta berjuta rasanya. Dan lebih bermiliar-miliar bahkan triliunan rasanya jatuh cinta di bawah purnama.

Lelaki itu yakin, ini keindahan yang lebih menawan dari pulau padar. Mungkin jauh lebih menyihir dari istana ular. Juga punya daya pikat yang melampau daya tarik komodo, kadal raksasa, cermin wasiat, tempat manusia berkaca tentang keliaran. Di depan cermin wasiat itu orang bertanya: komodo ataukah diri saya yang lebih liar, ganas, beracun dan memburu bocah dan melumatkan musuh?

Lupakan kadal liar itu. Endong patola, patola tau sama wulang. Hanya perjumpaan demikianlah yang dapat menjinakkan gelap dengan senyum yang mampu menyibak jubah malam. Malam tidak begitu menakutkan setelahnya. Sebab bulan sudah siaga mengekalkan senyum matahari begitu lembut. Di bawah matahari segalanya tampak. Tak ada persekongkolan yang bisa disembunyikan. Di bawah bulan, segalanya jadi anggun dan romantis. Lelaki itu pernah memikirkan ini sebagai sepasang kekasih yang tak pernah bercita-cita membangun istana yang tertutup bagi akses yang lain. Kisah cinta yang selalu terarah untuk berbagi.

Sepasang kekasih yang tak pernah latah berujar “Dunia ini milik kita berdua saja!” Lantas yang lain dimana? Ngontrak? Terserahlah yang penting kita, kita berdua!

Percumbuan dua kekasih berlangsung sebentar karena sepertinya ada yang harus dikerjakan. Tidak untuk mereka berdua tetapi untuk yang lain.

Kita tahu, kata lelaki itu, bahwa setelahnya bulan akan menerangi separuh bumi. Dan matahari akan menerangi separuh lainnya. Bukankah kita sudah paham ilmu ini dalam pelajaran Geografi di sekolahan?

Di bawah sinar bulan, muda-mudi turun ke halaman kampung bergembira ria dalam permainan ceke tinding. Diam-diam permainan demikian menjadi ajang pertemuan yang menumbuhkan cinta dua kekasih. Hmm, jatuh cinta di bawah purnama. Tetapi entah mengapa, susah membayangkan yang seperti ini, lelaki itu agak menyesal. Saat ini, lebih mudah membayangkan muda-mudi melipir ke pub atau tempat-tempat hiburan malam. Dugem hingga subuh di bawah lampu remang-remang. Ia punya satu pertanyaan. Adakah cinta di bawah lampu remang-remang?

Negeri yang muda-mudinya di waktu lampau bermain di halaman kampung di bawah purnama, kini memiliki puluhan  pub yang menjajakan alkohol dan hiburan mewah lainnya. Dalam keremangan dan bilik-bilik privat, laki-laki dan perempuan bereuforia tidak dalam permainan ceke tinding atau kengkang alu tetapi dalam permainan yang tak sepenuhnya kita pahami.

Kampung sudah maju. Labuan Bajo makin mendunia. Demikian lelaki itu menirukan warga yang dengan bangga mengisahkan perkembangan kampung yang pelahan merangkak jadi kota dengan melepaskan identitas kulturalnya. Ia ambil kesimpulan untuk dirinya. Selalu ada yang dibantai untuk suatu entah. Ada yang menyebutnya kemajuan.  Lelaki itu sering kali  menggugat dirinya. Apakah aku terlampau bodoh dan kolot untuk bisa memahami segala yang disebut ‘kemajuan’ ini?

***

Seperti kenangan yang hanya hidup oleh ingatan hingga akhirnya sirna bersama memori yang lapuk, begitu juga, kata lelaki itu, orang-orang sekampungnya sudah lupa pada endong patola patola tau sama wulang, yang mungkin kini hanya hidup dalam ingatan lelaki itu.

Lelaki terakhir, dengan hati yang menanggung rasa kecewa, tapi toh tetap menunggu, mengharapkan matahari yang di saat lain dengan penuh rasa enggan disebutnya matahari yang tenggelam dalam kenangan!

Tak seperti lelaki itu, orang sekampungnya tak pernah menantikan lagi matahari itu. Apalagi, di pantai yang makin murung itu, masih adakah yang perlu dinanti? Toh mungkin saja matahari itu sudah benar-benar tenggelam dalam kenangan orang lain? Dan tak pernah kembali. Dan sia-sialah lelaki itu menunggu.

Apa masih waras menanti kembalinya kenangan? Bukankah kenangan akan tetap milik masa lampau? Masih pantaskah memimpikan kenangan untuk kemenangan hari esok? Kenangan seringkali tak pernah benar-benar memupuk harapan. Ia bisa menjadi pil pahit yang dihindari tetapi sekaligus aneh, karena penting untuk menyembuhkan. Juga membuat tabah orang-orang yang menanti.

Dan lelaki itu pun insaf, ada yang perlu senantiasa dirawat dari masa lalu. Barangkali itulah kenangan. Itulah juga yang membuat betapa penting menanti matahari yang tenggelam dalam kenangan di pantai yang makin murung itu. Begitu pentingkah menyaksikan lagi matahari yang pernah tenggelam dalam kenangan?

Ada yang mengatakan tidak. Matahari itu sudah terbit dalam kaset lagu-lagu pop Manggarai yang dijual di toko Matahari di Ruteng. Tak perlu dinantikan lagi endong patola, patola tau sama wulang di pantai yang makin murung itu. Cukup didengarkan saja. Kita terhibur tanpa menjadi lelah dan letih karena suatu penantian.

Mereka merasa cukup dengan mendengarkannya kini dari lagu yang mungkin juga tak lahir dari kenangan pengarangnya akan matahari yang tenggalam dalam kenangan, yang mungkin juga tak pernah benar-benar terbenam dalam kenangan siapapun. Dan mungkin juga tak akan pernah tenggelam di pantai itu.

Tetapi mengapa lelaki itu begitu tabah menanti di pantai yang makin murung sesuatu yang mungkin tak akan tampak lagi di pantai itu? Ia masih berharap dengan menyisakan sedikit cemas di sudut hatinya yang sendu: jangan sampai benar, matahari itu benar-benar tenggalam dalam kenangan! Sekaligus tak bosan-bosannya ia menanti dan menggugat. Masih layakkah menanti endong patola patola taung sama wulang di pantai yang makin murung ini?


Nana Lalong adalah nama pena untuk seorang mahasiswa asal Manggarai yang sedang studi di Jakarta.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini