Heterofobia

Oleh: HIRO EDISON

Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat pluralistis. Pluralismenya tampak dalam keanekaragaman suku, budaya, bahasa, dan agama yang hidup di bumi pertiwi ini. Nilai etis yang menyertai keanekaragaman itu sejatinya ialah saling menerima, menghargai, dan mengakui satu sama lain. Yang Lain atau yang berbeda diberi tempat untuk mengekspresikan dan mengungkapkan apa yang menjadi kekhasannya masing-masing. Dengan itu, apa yang menjadi hakikat dari pluralisme menjadi tampak dan mengemuka.

Pemaksaan dan juga penyeragaman dalam sebuah negara yang pluralis merupakan sebuah term yang sejatinya tidak boleh ada. Artinya, memaksakan apa yang menjadi ajaran sebuah agama, budaya, ataupun hal lainnya kepada agama dan budaya yang lain sejatinya tidak boleh terjadi.

Hal itu hanya akan menjadi pemicu perpecahan dan bahkan peperangan dalam kehidupan bersama. Agama yang satu berperang melawan agama yang lain. Budaya yang satu juga berperang dan melawan budaya yang lain. Akibatnya ialah kekacauan atau suasana yang chaostic menghiasi peradaban sejarah umat manusia.

Indonesia akhir-akhir ini direpotkan oleh aksi sweeping beberapa organisasi terhadap atribut-atribut natal. Tidak sedikit pusat perbelanjaan yang mereka sambangi guna memusnahkah segala atribut natal. Apa yang menjadi dasar? Tidak lain dan tidak bukan ialah ketakutan akan isu kristianisasi atau apalah namanya. Atau minimal mereka yang mengaku diri beragama dan bertuhan tidak boleh dipengaruhi oleh atribut dari mereka yang disebut kafir.

Di sana, penghormatan dan pengakuan akan keberadaan agama yang lain dengan segala tradisinya dikikis bahkan tidak ada sama sekali. Kecurigaan, kebencian, dan bahkan melakukan kekerasan terhadap agama yang lain tidak bisa dihindari. Sikap yang muncul kemudian ialah heterofobis.

Heterofobia berasal dari kata bahasa Yunani yaitu heteros yang berarti yang lain dan fobia yang berarti kecemasan atau ketakutan. Heterofobia kemudian diartikan dengan ketakutan akan yang lain (Pandor, 2014:29). Siapakah yang lain? Yang lain itu muncul dalam bentuk yang bukan Aku atau Kami. Yang bukan Aku atau Kami itu ialah entah, yang berbeda agama, suku, budaya, bahasa, ideologi politik, pandagan hidup, dan bahkah asal.

Di tengah masyarakat yang heterofobis, kehadiran Yang Lain kemudian dianggap sebagai ancaman dan bahkan bahaya. Agar dapat menghindari diri dari bahaya atau ancaman maka memerangi dan melenyapkan Yang Lain merupakan sebuah keharusan. Tidaklah mengherankan bahwa penindasan mayoritas terhadap minoritas seringkali dianggap wajar dan biasa-biasa saja. Padahal kebiasaan yang sangat membabi buta itu merupakan sebuah kejahatan yang sangat potensial dalam memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa.

Aksi sweeping yang dilakukan oleh beberapa kelompok ormas terhadap semua atribut natal akhir-akhir ini menjadi tanda yang tampak dan kelihatan dari sifat yang heterofobis. Sungguh sangat ironi. Sebuah negara yang telah berdiri puluhan tahun dengan segala keberagamannya masih juga memiliki sifat dan sikap yang anti keanekaragaman.

Tidak adanya pengakuan dan penghormatan terhadap kehadiran Yang Lain menjadi tanda betapa butanya mata, hati, dan pikiran terhadap realitas kehidupan bersama yang telah dijalani selama ini. Mereka-mereka itulah yang sejatinya disebut sebagai penista, pengkhianat dan pemecahbelah kesatuan.

Adanya sikap yang heterofobis di tengah sebuah negara yang sangat pluralis sejatinya menjadi sebuah tragedi yang bukannya untuk ditangisi tetapi harus ditertawakan. Betapa tidak. Sikap itu justeru lahir di tengah sebuah negara yang sangat pluralis. Sebuah negara yang mengakui sebagai bukan negara agama serta bukan negara sekular masih juga diisi oleh onak-onak duri yang sesekali dapat melukai dan bahkan menghancurkan kesatuan.

Oleh karena itu, tantangannya sekarang ialah apakah hukum negara dengan segala perangkat penegak hukumnya mampu untuk mengayomi serta mempersatukan kebinekaan yang ada sekaligus yang menjadi hakikat dan substansi negara ini? Pertanyaan itu menjadi penting untuk digemakan serta dijawab di tengah situasi negara yang akhir-akhir ini mulai jatuh dalam sikap yang anti keanekaragaman (heterobia).

Menjamin pengakuan akan keanekaragaman serta memberi tempat bagi segala aktivitas dari yang beragam itu merupkan sebuah panggilan bagi setiap orang, agama, ideologi, dan lain-lain untuk segera dilakukan. Panggilan itu tidak terlepas dari identitas kita sebagai orang yang menjunjung tinggi hukum positif negara serta semangat persatuan dan kesatuan. Itu berarti bahwa kita tidak lagi menciptakan jarak dan tempat bagi sikap anti keanekaragaman.

Keanekaragaman sejatinya harus dirayakan dan dijunjung tinggi sebab yang dituntut dalam keanekaragaman bukanlah uniformitas melainkan unisitas. Artinya ialah keanekaragaman tidak menuntut keseragaman entah dalam bentuk apapun. Keanekaragaman hanya menuntut sebuah pengakuan serta sikap menghargai dan menghormati agar terciptalah kesatuan.

Penulis adalah Mahasiswa di STFT Widya Sasana Malang

spot_img

Artikel Terkini