Korupsi Dana Desa

Oleh: BOY DORENG

Salah satu headline di koran Flores Pos edisi Sabtu, 4 Maret 2017 adalah berita tentang kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa (Kades) Runut, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka.

Diberitakan bahwa Kades Runut terbukti menggelapkan dana tunjangan aparat desa dan BPD Runut periode Maret-Desember 2016 senilai 177 juta. Ini tenting angka yang cukup fantastis.

Kasus ini merupakan puncak gunung es dari persoalan seputar tata kelola dana desa yang tidak transparan, tidak akuntabel yang akhirnya bermuara pada tindakan korupsi.

Data Indonesia Corruption Watch(ICW) tahun 2016 mencatat bahwa ada 292 kasus korupsi di pemerintahan kabupaten/kota dengan nilai korupsi Rp 478 miliar dan 62 kasus korupsi di pemerintah desa dengan nilai korupsi Rp 18 miliar. Sementara itu, korupsi di kementerian ada 28 dengan nilai mencapai 206 miliar.

Untuk korupsi pemerintahan desa, dari jumlah 62 kasus, yang sejauh ini diproses ke penyidikkan ada 48 kasus dengan nilai korupsi Rp 10,4 miliar (Kompas,3/3/17).

Tingginya angka korupsi di pemerintahan daerah khususnya pemerintahan desa tidak terlepas dari adanya dana desa yang diperuntukkan bagi setiap desa.

Dana Desa (DD) berbeda dengan Alokasi Dana Desa (ADD). Dana Desa merupakan dana yang diperuntukkan bagi setiap desa yang berasal dari APBN, sedangkan Alokasi Dana Desa adalah dana bagi setiap desa yang berasal dari APBD.

Pada tahun 2015 pemerintah menganggarkan Rp 20,76 triliun untuk dana desa. Di tahun 2016 meningkat 46,98 triliun, tahun 2017 akan meningkat lagi menjadi Rp 60 triliun. Dalam perencaan pun dana desa akan mencapai Rp 120 triliun pada 2018 (Kompas, 20/2/17). Setiap desa mendapat dana berkisar ratusan hingga satu miliar.

Tama S Langkun dari ICW mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi anggaran hingga ke pedesaan merupakan upaya pemerataan. Namun perlu diingat, ketika desentralisasi dilaksanakan terjadi desentraliasi kekuasaan dan tentunya rawan terjadi korupsi (Kompas,3/3/17).

Dengan kata lain, desentralisasi anggaran melalui DD menyebabkan desentraliasi kekuasaan dan kemungkinan besar terjadi desentralisasi korupsi.

Akhirnya, cita-cita pemerataan pembangunan desa serentak kesejahteraan rakyat melalui DD dan ADD hanyalah wacana belaka. Dan, pastinya rakyat adalah pihak yang paling dirugikan.

Akar Persoalan

Hemat saya, mengguritanya korupsi pada tataran pemerintahan desa disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Kurangnya pengawasan terhadap aliran dana yang dialirkan ke  desa, baik itu DD maupun ADD memperbesar ruang gerak dari pemerintah desa (kades khususnya) untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Lembaga peradilan  kurang dapat memainkan peran control dengan baik, dan baru tersadar ketika ada pengaduan dari masyarakat.

Hal juga sudah dinyatakan oleh Tama S Langkun. Menurutnya, tingginya korupsi yang dilakukan pemerintah daerah menghambat pengawasan korupsi di tingkat di bawahnya (desa).

Kedua, lemahnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Lemahnya sosialisasi tentang tata kelola keuangan dana desa oleh pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) turut mendorong terjadinya salah kelola pada dana desa.

Apalagi, dana desa yang dialokasikan bagi setiap desa nilainya cukup besar. Di Kabupaten Ende misalnya jumlah pendamping lokal desa sangat terbatas. Satu pendamping menanggani empat desa (Flores Pos, 11/1/17).

Ketiga, Lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) perangkat desa. SDM yang kurang memadai dari aparatur desa berimplikasi pada kurangnya kecakapan manajemen dan tata kelola dana desa.

Kemampuan manajemen dana yang lemah mendorong terjadinya tindakan korupsi. Faktanya banyak kepala desa yang terjerat korupsi karena kesalahan pada level manajemen dana administrasi pemerintahan.

Febri Hendri, koordinator divisi investigasi ICW pun mengatakan bahwa minimnya pengetahuan apparat desa soal perencanaan dan pengelolaan sesuai peraturan perundangan (Kompas,20/2/17).

Selain itu, hemat saya, ketiadaan aparatur desa khususnya Kades yang berkualitas berkorelasi dengan proses seleksi atau pemilihan kepala desa. Kentalnya aroma dan nuansa primordial dan politik identitas pada perhelatan pemilihan kades (Pilkades) menghambat proses demokrasi untuk menjaring pemimpin yang benar-benar berkualitas.

Keempat, lemahnya kontrol publik. Masyarakat desa mempunyai peranan penting dalam menyukseskan realisasi dana desa dengan cara ikut mengawasi tata kelola dana desa. Di sini, kontrol publik masyarakat desa mesti kuat agar tidak terjadi penyelewengan terhadap dana desa.

Jalan Keluar

Berhadapan dengan persoalan di atas, hemat saya ada beberapa upaya solutif yang dapat dilakukan.

Pertama, pemerintah daerah perlu memperkuat pengawasan terhadap tata kelola dana desa. Kejaksaan Negeri (Kejari) perlu intensif dalam melakukan mekanisme check and balance dalam hal ini. Selain itu, Kejari juga perlu bekerjasama dengan instansi daerah terkait seperti dinas pemberdayaan masyarakat desa agar pengawasannya lebih optimal. Penegakkan hukum pun dimaksimalkan agar semua perkara bisa sampai pada tahap penyidikan.

Kedua, pemerintah daerah perlu melakukan sosialisasi dan pelatihan secara berkala agar aparatur desa dapat mengelola dana desa dengan baik. Sosialisasi dapat dilakukan di kecamatan dengan bimbingan teknik (Bimtek) ataupun terjun langsung ke desa-desa.

Pemerintah juga hendaknya mengadakan tenaga dari luar daerah yang memiliki kompetensi dalam hal pengelolaan dana desa agar dapat membimbing para aparatur desa dalam melakukan pengelolaan dan desa.

Agar lebih optimal, di setiap desa ditempatkan satu pembimbing lokal untuk membimbing aparatur desa. Atau, yang mulai dilakukan saat ini yaitu studi banding antardesa.

Ketiga, perketat proses seleksi para calon Kades. Dalam hal ini, pemerintah daerah hendaknya menyiapkan sebuah produk hukum seperti peraturan bupati (Perbup) yang mengatur tentang syarat pendidikan bagi para calon kepala desa. Dengan cara ini, diharapkan calon-calon yang bertarung dalam Pilkades memiliki kompetensi dan kualitas yang baik.

Keempat, masyarakat perlu memperkuat kontrol publik. Kontrol publik masyarakat senantiasa diwujudkan dengan meminta pertanggungjawaban aparatur desa tentang dana desa.

Kontrol publik juga dapat dilakukan dengan cara memilih secara rasional dalam perhelatan Pilkades. Oleh karena itu, masyarakat perlu menanggalkan identitas primordial dan mengubur dalam-dalam politik identitas.

Hanya dengan itu kita dapat mewujudkan desa yang makmur dan sejahtera, dengan pengelolaan dana yang akuntabel-transparan.

Penulis adalah anggota Komunitas TOR Ritapiret

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini