Benarkah Festival Komodo Meningkatkan Kunjungan Wisatawan?

Floresa.co – Sebulan berjalan dan sebelum acara puncak pada 4 Maret 2017, Kepala Dinas Pariwisata Manggarai Barat (Mabar), Theodorus Suardi sudah mengklaim bahwa Festival Komodo memicu terjadinya peningkatan jumlah kunjungan dan uang yang beredar di Labuan Bajo.

Jumlah wisatawan periode Januari-Februari tahun ini memang terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya. Jumlah wisatawan mencapai 14.506 wisatawan, naik sekitar 6.856 dari tahun 2016.

Sementara jumlah uang yang beredar diperkirakan mencapai Rp. 54,5 miliar. Jumlah tersebut lebih besar dari jumlah uang yang beredar pada periode yang sama tahun 2016 sejumlah Rp. 28,7 miliar.

Lalu, hasil dari selisih tahun lalu tersebut, disimpulkan Suardi demikian, “Jika dihitung khusus untuk dampak Festival Komodo tahun 2017 (adalah) Rp 25.798.840.000 atau mengalami kenaikan uang beredar Rp. 47,28 persen.”

Benarkah Festival Komodo meningkatkan kunjungan wisatawan bahkan jumlah uang yang beredar? Bagaimana Theo Suardi mengukurnya? Apa saja variabel-variable yang mendukung?

Sejauh pantauan Floresa,co, selama tiga puluh hari penyelenggaraan Festival Komodo, kunjungan wisatawan tidak begitu mencolok. Selain Malam minggu dan pada penghujung festival, sangat jarang terlihat wisatawan asing mendatangi Festival Komodo.  Paling banyak adalah warga lokal yang meminati acara lempar gelang dan pengisi acara.

Padahal, dalam acara pembukaan dijelaskan bahwa Festival Komodo ditujukan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan, terutama wisatawan asing.

Upaya tersebut tidak lain adalah mengejar target 500 ribu kunjungan pada tahun 2019, naik dari sekitar 90 ribu kunjungan pada tahun 2015.

Sebagian alasannya, sudah dipahami sejak awal Festival ini diselenggarakan. Bahwasannya Festival berlangsung pada musim sepi pengunjung. Tak heran jika jumlah pengunjung asing tidak banyak. Meski demikian, secara statistik menunjukkan bahwa jumlah kunjungan ke Labuan Bajo tetap meningkat.

Lantas, jika terjadi kenaikan dari periode Januari-Februari dari tahun sebelumnya, apakah karena Festival Komodo? Kesimpulan demikian sangat terburu-buru apalagi belum ada bukti-bukti yang menunjukkan keterkaitan yang sangat kuat.

Sebaliknya, jika kenaikan itu berhubungan dengan kebijakan di bidang pariwisata secara nasional, tampak jauh lebih masuk akal. Karena, ada beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung kenaikan wisatawan sejak tahun 2016.

Di antaranya adalah lalu lintas wisatawan semakin dipermudah dengan penambahan maskapai penerbangan dan dibukanya rute penerbangan baru.

Pada bulan Oktober 2016, misalnya, maskapai Garuda membuka rute penerbangan langsung Jakarta-Labuan Bajo. Pada bulan April, Nam Air menambah jumlah maskapai penerbangan Labuan Bajo-Bali.

Sementara itu, anggaran sektor pariwisata kian meningkat.  Pada tahun 2016, anggaran sektor pariwisata mencapai Rp 5,6 trilliun. Anggaran tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang hanya berjumlah Rp 2,4 triliun.

Dari jumlah itu, sebagian besar dimanfaatkan untuk promosi. Tidak heran, sejak tahun 2016, branding “Wonderful Indonesia” dan gambar Komodo mulai berseliweran di taxi di London, iklan digital di New York dan lain sebagainya.

Ditambah lagi, kebijakan bebas visa dan meringankan syarat bagi berlabuhnya kapal wisata asing/yacht. Melalui Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2016, Presiden Joko Widodon membebaskan visa bagi 169 negara.  Padahal tahun sebelumnya hanya 45 negara. Sementara melalui Peraturan Presiden Nomor 105 tahun 2015, pemerintah meringankan aturan masuk bagi kapal asing.

Dari beberapa kebijakan nasional tersebut, kita bisa memaklumi jika jumlah kunjungan wisatawan di Labuan Bajo telah meningkat tahun ini. Bisa jadi benar bahwa Festival Komodo dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Namun lebih benar bahwa jumlah peningkatan itu dikarenakan politik dan kebijakan di level nasional.

Dana Rp 1,6 milliar

Lalu bagaimana dengan penggunaan anggaran Rp 1,6 milliar untuk Festival Komodo? Belum ada pertanggungjawaban secara publik bagaimana pemanfaatan dana itu untuk Festival yang selama 30 hari.

Kita hitung-hitung saja. Andaikata, dari anggaran tersebut kita alokasikan per malamnya mencapai 30 juta, maka sebulan bisa mencapai Rp 900 juta. Sementara sisanya sebanyak Rp 700 juta kita asumsikan dialokasikan untuk acara pembukaan dan acara penutup yang lebih memakan anggaran. Sekaligus dari porsi tersebut, kita alokasikan juga untuk panggung dan sound system.

Namun, apakah Rp 30 juta bisa masuk akal? Beberapa siswa SMA mengaku, mereka hanya dibayar sekitar Rp 2 juta untuk beberapa kali pentas. Sementara itu, ada yang mengaku tak dibayar apapun. Belum terbukti benar, namun ini mesti mesti dicek apakah ada mark up pendanaan atau penyelewengan anggaran publik.

Apalagi saat acara puncak, Kementerian Pariwisata turut mendanai penutupan Festival, di antaranya, memfasilitasi kehadiran musisi Ivan Nestorman dan kawan-kawan.

Bisa jadi juga dana itu kurang untuk pendanaan tersebut. Setidaknya kita perlu tahu, kemana saja dana senilai 1,6 milliar itu merembes?  (Greg/Floresa)

Baca Juga:

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.