Ignasius Iryanto Djou: Terpanggil untuk Membangun NTT

Demi berkontribusi membangun Nusa Tenggara Timur (NTT), Dr. Ing. Ignasius Iryanto SF. M. Eng. Sc CSRS menyatakan diri siap maju dalam pemilihan gubernur tahun 2018.

Ia menyadari, merambah dunia politik sudah menjadi suatu jalan untuk mewujudkan niat mulia itu. Sebab, hakekat politik adalah mengayunkan langkah untuk menghasilkan dan meningkatkan kesejahteraan umum.

Pengertian politik seperti ini menjadi dasar bagi siapa saja yang bersedia dan tertarik memasuki dunia politik, termasuk Ignatius sendiri.

Membangun NTT Secara Interdisipliner

Membangun NTT berarti siap membuka diri pada semua komponen, sehingga pihak-pihak yang mau berkontribusi secara positif dengan cara-cara yang benar, dapat bersinergi dalam derap langkah yang sama.

Komponen  Civil Society Organisation (CSO), khususnya NGO, lembaga keagamaan, pihak universitas, lembaga riset, swasta, media, BUMN dan BUMD, serta pemerintah harus mengambil porsi saling mendukung, tidak tumpang tindih, apalagi saling mendestruksi. Semua lembaga sama penting karena memiliki tujuan luhur, Bonum Communae, mewujudkan kesejahteraan umum.

Politik memang penuh intrik, namun memanipulasi aspirasi publik untuk meraih kekuasaan dan mendapatkan jabatan demi meningkatkan kemasyuran, sudah tidak menarik di era keterbukaan ini. Idola baru pemimpin masa kini tampak dalam sosok yang berintegritas tinggi, sederhana, jujur, mau bekerja keras, dan mau menjadi pelayan bagi masyarakat yang dipimpin, plus tulus hatinya.

Dr. Ing Ignasius Iryanto, SF, M.Eng.Sc, CSRS memiliki kriteria tersebut.

Siapa Ignasius?

Ignas Iryanto, nama lengkapnya Ignasius Iryanto Djou Gadi Gaa, biasa disapa Yanto adalah putra asli NTT.  Ia lahir di Ende, Flores pada 28 Februari 1962 dari keluarga pendidik. Kedua orang tuanya adalah guru.

Di tingkat preschool (TK) 1963 -1966, Yanto kecil ikut orang tuanya tinggal di Kota Kupang, berhubung kala itu ayahnya, Yan Djou Gadi Gaa menjadi guru di SGA Negeri Kupang, yang sekarang menjadi SMA Negeri.

Sebelumnya sang ayah mendampingi tokoh Kefamenanu, Bapak Johanes Bala Ladjepen mendirikan dan menjadi guru di SGA di Kefamenanu, Timor Tengah Utara.

Ketika ayahnya pindah ke Ende, Yanto kecil menempuh pendidikan di SD Katolik Ende 2, melanjutkan tingkat menengah pertama ke Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko, Bajawa, dan tingkat menengah atas ditempuh di SMAK Syuradikara, Ende Flores.

Keberanian Yanto untuk tampil dan memimpin, terlihat sejak kecil. Di SD ia menjadi komandan regu Pramuka, menjadi ketua asrama saat belajar di Seminari Mataloko (setingkat SMP), dan menjadi ketua OSIS di SMAK Syuradikara, Ende. Begitu pula di masa-masa pendidikan tingginya, Yanto selalu terlibat dalam berbagai organisasi dan aktivitas sosial di masyarakat.

Meninggalkan Ende, Yanto menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, jurusan Fisika Nuklir. Setelah menyelesaikan kuliahnya, Yanto lalu ke Jakarta dan mengajar di Universitas Trisakti Jakarta. Yanto sempat juga ngajar di Sekolah Tekni, yang kini menjadi SMK Vincentius, di daerah Kampung Ambon, Jakarta Timur.

Pilihan mengajar di sekolah ini pun sederhana saja. Selain supaya dekat dengan kos tempat tinggalnya sembari melanjutkan S2 di Universitas Indonesia, jurusan Optoelektronika.

Setelah lulus S2, Yanto lalu kembali bertugas mengajar di Universitas Trisakti. Darah guru warisan kedua orang tua memantapkan Yanto menjalani profesi dosen.

Melalui beasiswa yang diperoleh, Yanto kemudian melanjutkan S3 Aplikasi Laser dan menyelesaikan disertasi dalam bidang teknologi laser di Technische Universitaat, Berlin, Jerman.

Melihat banyak ketidakadilan di era orde baru, saat kuliah di Berlin, Yanto tidak berdiam diri.

Saat reformasi, bersama teman temannya sesama aktivis PPI Jerman, ia pernah berusaha mendatangkan Megawati Soekarno Putri ke Eropa setelah peristiwa 27 Juli 1998.

Tujuannya untuk menarik perhatian dunia atas proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia saat itu.

Namun, rencana itu gagal dan diganti menyelenggarakan seminar mengenai pemilu demokratis di Indonesia, dengan mendatangkan Sekjend PDIP, Alex Litaay, Sekjend PPP Tosari Widjaya dan Mulyana Kusuma, Sekjend KIPP (lembaga independen pemantau pemilu saat itu), sebagai “koreksi” atas Pemilu yang A demokratis semasa Orde Baru. Partai Golkar dan KPU sebagai lembaga resmi menolak untuk menghadiri seminar itu.

Media nasional meliputi kegiatan anak anak Berlin ini, saat menggelar diskusi kritis soal kedatangan Soeharto ke Jerman pada tahun 1995, dimana Iryanto menjadi pemandu, yang kemudian menjadi alasan rejim saat itu untuk menjebloskan Sri Bintang Pamungkas ke penjara, karena dianggap sebagai pembangkang. Yanto harus datang ke Jakarta untuk memberi kesaksian di Mabes Polri dan Pengadilan atas kasus tersebut dengan perlindungan ketat aktivis pro reformasi.

Pasca Reformasi, bersama beberapa tokoh lintas daerah dan agama, Iryanto dua kali mengambil bagian dalam pembentukan dan kepengurusan partai politik baru, namun tidak berlanjut, karena tidak puas terhadap kinerja partai yang ada.

Pada waktu itu, agak sulit memang menjalankan politik dengan tetap berpegang teguh pada prinsip etika dan moral politik yang benar dan konsisten pada pertimbangan rasional semata.

Yanto lalu beralih ke dunia NGO karena yakin ada elemen pengabdian yang lebih konkret bagi masyarakat.

Bersama sosiolog terkemuka asal NTT, Dr. Ignas Kleden dan beberapa tokoh lainnya, mereka mendirikan The Go East Institute yang kemudian berubah menjadi Center For East Indonesian Affairs.

Beberapa aktivitas di Indonesia Timur, antara lain melakukan misi rekonsiliasi konflik Maluku bekerja sama dengan USAID, pendidikan politik pasca reformasi dalam menyongsong Pemilu Demokratis pertama di tahun 2004, bekerja sama dengan KPU dan pemerintah dengan dana dari Uni Eropa (scope kegiatan meliputi seluruh wilayah Indonesia), serta memberikan pelatihan peneliti Sosial di NTT dengan dana dari Toyota Foundation.

Tujuan diadakan pelatihan tersebut, yakni mendorong perumusan kebijakan publik di NTT berbasis riset dengan dasar data serta analisis yang valid, tidak berdasarkan selera pemimpin daerah semata.

Sayang langkah pembentukan kelompok peneliti sosial ini tidak diteruskan dengan usaha-usaha implementasi konkret karena masalah dana.

Salah satu aktivitas sosial yang bersifat sukarela namun mengandung risiko adalah sebagai ketua tim Paralegal PADMA pimpinan almarhum Pater Dr. Norbert Betan SVD, yang saat itu berusaha menyelamatkan tiga orang terpidana mati di Poso, yaitu Marinus Riwu, Domi Da Silva, dan Fabianus Tibo.

Yanto bersama Pater Norbert dan Ketua tim Legal, Roy Rening serta Maximilianus (Mili) berada di Palu ketika akhirnya ketiga putra NTT itu dieksekusi mati.

Mereka berempat yang akhirnya memulangkan jenasah Domi Da Silva ke Maumere, sementara jenasah Fabianus Tibo dan Marinus Riwu telah dibawa ke Desa Jamurjaya, Poso.

Pada tahun 2009, Ignas mengawali profesi sebagai konsultan dalam program Integrated Micro Hydro Development Program (IMIDAP), kerja sama antara ESDM dan UNDP dengan dana dari Global Environment Facility (GEF), berjuang di bawah Direktorat Energi baru dan Terbarukan (kini menjadi dirjen).

Profesi inilah yang mengantarnya langsung bersentuhan dengan pengembangan masyarakat dan berinteraksi dengan lembaga pemerintah dan korporasi.

Yanto bertanggung jawab pada rumusan pengembangan kebijakan publik dalam energi baru terbarukan, khususnya energi mikro hidro, penyusunan buku pedoman pengembangan serta pengembangan usaha produktif di pedesaan dengan memanfaatkan energi listrik dari mikro hidro di siang hari.

Di bawah IMIDAP, Yanto berkeliling Indonesia meninjau proyek mikro hidro di berbagai daerah, memimpin rapat koordinasi dinas dan badan yang terkait dengan pengembangan mikrohidro.

Setiap turun ke lapangan bersama tim, Yanto selalu didampingi pakar bidang teknologi, baik teknologi mikrohidro maupun teknologi tepat guna bagi pengembangan usaha produktif.

Tidak ketinggalan, pakar bidang koperasi yang bertugas mengembangkan lembaga di pedesaan bagi pengelolaan distribusi energi di pedesaan, serta lembaga yang mengembangkan usaha produktifnya.

Pengalaman ini membuka matanya pada masalah yang sering terjadi dalam koordinasi antarlembaga dan dinas di daerah, dan yang sangat penting, sulitnya pengembangan kelembagaan produktif di pedesaan, masalah utama yang menyebabkan sulitnya pengembangan desa hingga saat ini.

Yanto kemudian memasuki dunia korporasi/perusahaan, entitas yang selama aktivitasnya di NGO, dilihat sebagai pusat kapitalisme yang selalu menyengsarakan rakyat demi orientasi profit sebagai tujuan utamanya, hal yang kemudian disadari sebagai sebuah kesimpulan yang terlalu digeneralisasi.

Februari 2010 atas ajakan dan rekomendasi seorang sahabat senior, alumni Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia di Eropa (Jerman), Yanto bergabung dengan sebuah korporasi nasional yang bergerak di sektor energi.

Melalui divisi Corporate Social Responsibility (CSR) dan yayasan korporasi yang dibentuk, Yanto bersama tim bertugas mengembangkan masyarakat di wilayah operasional perusahaan.

Lima pilar pengembangan CSR korporasi sesuai skala prioritas, adalah pendidikan, pengembangan ekonomi masyarakat, pengembangan kesehatan publik, pengembangan sosial budaya, dan penataan lingkungan yang berkelanjutan yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Pilar-pilar ini dituangkan dalam program pengembangan yang dilaksanakan secara sistematis dan terencana, sesuai kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan.

Pimpinan divisi serta staf CSR di sana mengenal Yanto sebagai pimpinan yang bukan saja sangat piawai dalam merumuskan strategy pengembangan masyarakat melalui program, namun pimpinan yang senang turun ke lapangan, ke pelosok pedesaan, dan berinteraksi langsung dengan masyarakat binaan.

Atas upaya yang dicapai, team CSR di perusahaan tersebut, telah meraih berbagai penghargaan dalam bidang pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, dalam skala nasional, regional, maupun internasional.

Hal penting yang dipelajari dalam korporasi ini adalah kesadaran bahwa korporasi merupakan pilar penting dalam pengembangan negara, bangsa, dan masyarakatnya. Banyak korporasi yang menjalankan bisnisnya secara beretika dan memiliki tanggung jawab sosial yang tulus serta melaksanakannya secara substantive dan serius. Kemitraan antara pemerintah dan dunia korporasi dengan melibatkan peran aktif masyarakat adalah kunci keberhasilan dari transformasi masyarakat di daerah.

Peran media juga terbukti sangat penting dalam memberitakan kerja kerja positif yang dapat memberikan inspirasi bagi pihak lain serta juga menambah semangat bagi kader kader dan penggiat yang melakukan pekerjaan transformative tersebut.

Yang dibutuhkan adalah keterbukaan untuk saling melihat kepentingan masing-masing, serta kerelaan untuk merumuskan strategi kemitraan, terutama hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat.

Jebakan paling berat adalah kemitraan pemerintah dan korporasi hanya digunakan untuk memperkaya aktor-aktor di dalamnya, dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Di sinilah integritas seorang pemimpin diuji.

Latar belakang pendidikan yang berkualitas dan rangkaian pengalaman panjang yang variatif, merupakan modal penting memimpin daerah.

Dr. Ing Ignasius Iryanto, SF, M.Eng.Sc, CSRS memiliki semua kriteria itu. Sebagai aktivis sosial politik, akademisi, aktivis NGO, manajer dalam corporals, juga memiliki pengalaman berinteraksi dengan pemerintah dan masyarakat desa.

Menawarkan Manajemen Transformatif Interdisipliner

Problematika pembangunan NTT diakui rumit dan butuh kerja keras semua bidang untuk menyukseskannya.

Ignatius Iriyanto layak dan mampu sebagai putra daerah untuk berkontribusi dalam transformasi pembangunan NTT dengan pendekatan manajemen interdisipliner.

Katharina Ziena Anastasia sang istri, serta tiga putra putrinya, Vincent Aloysius Baraputra (alumnus Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara), Berliano Aurelius Baraputra (sedang kuliah di Universitas Atmajaya Jakarta), dan Angelin Gabriella Gayatri (Siswi SMP Santa Ursula Jakarta) mendukung penuh keputusannya.

Partai politik dan masyarakat NTT yang menginginkan perubahan yang substantif dan transformatif perlu mendukung Dr. Ing Ignatius Iryanto, SF, M.Eng.Sc, CSRS menuju NTT yang lebih baik. (Ads)

spot_img

Artikel Terkini