TPDI Pertanyakan Posisi Tawar Masyarakat Flores Terhadap TdF

Jakarta, Floresa.co – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mempertanyakan posisi tawar dan keberadaan masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam event Tour de Flores (TdF).

TdF akan kembali digelar pada Juli mendatang, setelah untuk pertama kalinya digelar pada tahun lalu.

Menurut Petrus,  kontribusi Tdf 2016 nyaris tak terdengar sampai kepada masyarakat sebagai salah satu elemen penting dalam kepariwisataan.

“Kita nyaris tak mendengar kontribusi TdF 2016 terhadap masyarakat Flores. Mereka lebih pasif dan hanya menjadi penonton saja dari tour tersebut,” ujar Petrus di Jakarta, Senin, 12 Juni 2017.

Petrus menilai, sulit mengharapkan adanya multiplier effect dan trickle down effect dari TdF sampai ke masyarakat.

Selain karena rendahnya partisipasi masyarakat, kata dia, masyarakat juga kurang dipersiapkan dan pemerintah daerah kurang melibatkan masyarakat untuk berperan serta dalam event internasional ini.

“Pemerintah masih hanya sebatas menghimbau masyarakat untuk berpartisipasi, namun Pemerintah tidak pernah secara sungguh-sungguh melakukan pemberdayaan sosial bagi masyarakat untuk siap secara mental dan ekonomi menjadi pelaku bisnis dalam TdF 2016 dan TdF 2017,” tandas dia.

Advokat Peradi ini menjelaskan dalam  Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan telah memberi batasan yang tegas mengenai Kepariwisataan. Dalam UU tersebut dikatakan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dengan masyarakat setempat, serta sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha.

Dari batasan yang disebutkan oleh UU Kepariwisataan tersebut, menurut Petrus, ada 4 (empat) unsur yang akan berinteraksi dalam penyelenggaraan kepariwisataan yaitu unsur masyarakat, wisatawan, pengusaha dan pemerintah.

“Namun dari keempat unsur ini, unsur masyarakat merupakan elemen yang paling sial, karena dalam kegiatan penyelenggaraan TdF 2016 dan TdF 2017 ini masyarakat tidak dilibatkan atau dilibatkan tetapi dalam skala yang sangat terbatas serta tidak punya posisi tawar,” ungkap dia.

Petrus mencontohkan persiapan pelaksanaan TdF 2017 yang akan dilangsungkan pada 24-29 Juli mendatang. Publik, kata dia sudah mendengar adanya persiapan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten se-daratan Flores dan panitia penyelenggara.

“Tapi, kita tidak pernah dengar persiapan masyarakat Flores yang seharusnya menjadi pelaku utama tour tersebut dan pemda juga seharusnya hanya menjadi fasilitator sekaligus membimbing masyarakat dalam karya kepariwisataan untuk menyelenggarakan TdF tersebut,” terang dia.

Persoalan Pendanaan dari APBD

Salah satu hal yang dikritisi juga oleh Petrus adalah soal anggaran Rp. 1 miliar per kabupaten untuk kegiatan TdF tersebut. Menurut dia, anggaran tersebut membebani daerah dan mengganggu cash flow pemerintah daerah.

“Sudah beberapa bupati yang memberikan sinyal tidak akan mengeluarkan anggaran daerah Rp 1 miliar untuk TdF 2017 karena membebani anggaran daerah, sementara TdfF belum jelas manfaatnya untuk masyarakat,” tutur dia.

Lebih lanjut, Petrus mengatakan keberhasilan TdF sebenarnya juga tergantung peran Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan para Bupati se-daratan Flores. Menurut dia, jika pemimpin daerah mampu menterjemahkan dan mewujudkan tujuan paling hakiki dari TdF 2016 dan TdF 2017 ini, maka TdF bisa memberikan kontribusi yang positif bagi masyakarat.

“Karakter birokrat kita di daerah juga banyak yang minim inovasi dan miskin kreatifitas. Padahal, ini sudah diamanatkan untuk dijadikan sebagai salah satu mesin penggerak ekonomi masyarakat di daerah dalam rangka meningkatkan daya saing daerah” tandasnya.

Birokrat di daerah juga, kata dia, lebih suka melayani kepentingan orang-orang pusat, dibandingkan menciptakan terobosan yang inovatif dan kreatif untuk memberdayakan masyarakat. Menurut dia, karakter birokrat di daerah pada umunya hanya mau mengabdi ke atas, menyikut ke samping dan menginjak ke bawah (politik gaya kodok).

“Apalagi lagi ketika menghadapi event-event berskala nasional bahkan internasional.  Inilah yang menyebabkan birokrat kita minim inovasi dan miskin kreatif, karena birokrat-birokrat kita lebih senang mengabdi kepada atasannya ketimbang kepada masyarakat yang harus mereka layani,” pungkas dia. (TIN/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini