Ada Ahok di Antara Balongub NTT, PDIP Perlu Jeli Menangkap Sosoknya

Oleh: AVEN JAMAN


Pilgub NTT sejatinya baru akan dihelat tahun depan. Namun “perang bintang” sudah mulai menghadirkan suasana panas di provinsi kepulauan itu. Berbagai manuver politik dari sejumlah bakal calon seperti hengkangnya politisi senior Golkar NTT, I.A. Medah ke Hanura, dll., sudah menciptakan friksi tak terelakkan di kalangan akar rumput. Maka, wajar apabila perbincangan di warung-warung kopi hingga di dinding-dinding sosial media warga didominasi oleh tema pilgubnya.

Sebagai warga NTT diaspora yang semangat cinta akan daerah kelahiran sedemikian tinggi, terketuk pula hati ini untuk turut memberi perhatian. Saya tentu saja tidak bisa mendukung salah satu dari sederetan calon yang ada oleh karena faktor KTP saya yang sudah lama berganti jadi warga sebuah provinsi lain di tanah Jawa. Namun, ini tak lantas berarti saya tidak perlu repot-repot “mengurus” pilgub daerah kelahiranku itu.

Bagi saya, NTT lebih dari sekadar daerah kelahiran. NTT adalah provinsi di mana Pancasila tergalikan pertama kali oleh Soekarno demi melihat betapa rukunnya warga Ende di Flores, NTT saat beliau dibuang ke sana oleh Kompeni Belanda. NTT adalah juga provinsi yang multietnik, multiras, multiagama. Pantaslah kalau di mata saya NTT menjadi semacam miniatur Indonesia yang serba bhineka ini, keunikan yang memang jadi kepedulian saya selama ini.

Maka, bila di pilkada DKI kemarin saya ikut terlibat mengampanyekan pemilu yang santun dan demokratis karena alasan DKI adalah ibukota dari negara Indonesia, memberi perhatian pada pilkada NTT lebih karena faktor bahwa itu adalah miniatur Indonesia, tidak semata-mata karena itu provinsi kelahiran atau asal saya. Tetapi mari kita lupakan hal yang sebenarnya tidak terlalu penting itu. Ada hal lain yang lebih penting.

Merindukan Ahok,  Akankah Publik NTT Menjadikannya Terwujud?

Dari dinamika Pilkada DKI yang lalu, saya petik sebuah kesimpulan bahwa publik NTT hampir seluruhnya adalah teman Ahok bila tak mau disebut sebagai pendukung meski tak ada jaminan berupa penyerahan KTP atau semacam bubuhan tanda tangan sebagai pernyataan dukungan. Kesimpulan ini, saya tarik dari massifnya pernyataan dukungan hingga ungkapan rasa simpati mendalam ketika Ahok dijebloskan ke penjara. Teman-teman dan saudara-saudara juga kenalan-kenalan saya yang ada di nyaris setiap kabupaten di NTT ketika suatu saat saya hubungi via telepon di tengah panasnya suasana Pilkada DKI, jawabannya bernada sama: dukung Ahok. So, anggap saja mereka adalah sampel mewakili seluruh publik NTT walau saya pun tahu ada segelintir orang yang karena faktor X, terpaksa berseberangan dengan mayoritas pilihan dukungan saudara-saudara sedaerahnya tersebut.

Sengaja saya singgung tentang fenomena Ahok di sini, sebab tak dapat dihindari bahwa untuk pilgub mendatang publik NTT sudah ada yang mulai terang-terangan bilang kalau NTT butuh figur sekaliber dan atau mendekati level integritas pribadi seorang Ahok. Mengapa hal itu sampai terjadi?

Dr. Ing Ignatius Iryanto Djou, SF, M.Eng.Sc, CSRS salah satu putra terbaik NTT, doktor lulusan Jerman di bidang fisika nuklir.

Jawabannya adalah karena sudah sedemikian lama provinsi yang berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste itu terposisikan sebagai provinsi dengan PAD rendah. Ini berkebalikan dengan kandungan potensi sumber daya yang melimpah ruah. NTT tidak hanya kaya akan SDA, tetapi SDM-nya juga sebetulnya sudah banyak yang mencapai level nasional ketokohannya. Namun mengapa provinsi ini masih saja tergolong miskin dan terbelakang dibandingkan provinsi lainnya?

Beberapa SDM-nya yang tergolong sukses sebagai figur sebut saja Boni Hargens, Sebastian Salang, Petrus Selestinus, Jeremy Teti, Don Bosco Salamun, Richard Bagun, dll. Mereka adalah tokoh-tokoh terkini yang melengkapi daftar era sebelumnya seperti Frans Seda, Adrianus Mooy, Sony Keraf, Ben dan istrinya Nafsiah Mboy sebagai tokoh-tokoh yang dianggap sukses menembus panggung ketokohan nasional.

Pada segi sumber daya alamnya, mari kita sebut pula potensi-potensinya seperti perkebunan kopi, cengkeh, vanili, coklat, kemiri, kelapa, aren, jagung, pisang, nanas, dll. Ada lagi areal persawahan di pulau Flores dan Timor. Atau tentang Pulau Sumba dengan kuda sandelwoodnya. Juga potensi pariwisata entah wisata alamnya yang punya pantai-pantai eksotis, air-air terjun, satwanya yang mendunia yakni Komodo, danau tiga warna Kelimutu hingga wisata budaya semacam Wae Rebo yang sukses meraih sebagai warisan dunia versi PBB.

Satu lagi putra terbaik NTT yang berkemungkinan maju di pilgub NTT mendatang, Marsda (Purn)TNI Robert Soter Marut, M.Sc , mantan perwira tinggi AU dengan jabatan terakhir Stafsus Kasau. Pernah menjabat sebagai Dankoharmatau(Komandan Komando Pemeliharaan Materiil Angkatan Udara)

Jadi, di bagian mananya yang bikin NTT masih terbelakang? Para tokoh NTT baik yang di daerah maupun yang diaspora yang berhasil kami kumpulkan dalam sebuah grup WA ketika itu ditanyakan, jawabannya nyaris seragam: NTT belum menemukan sosok yang tepat duduk sebagai ‘administrator geliat pembangunan’ di NTT. Dengan kata lain, NTT belum menemukan sosok gubernur yang sadar potensi daerah, sekaligus cakap dalam mengorganisir seluruh potensi itu jadi lahan penghasil duit bagi kas daerahnya.

Jadi? Ya, klop sudah. Wajar kalau publik NTT merindukan sosok yang seperti Ahok.

Tetapi pertanyaan besarnya ialah apakah dalam pilgub mendatang, NTT bisa memiliki sosok yang mirip dengan Ahok integritasnya?

Riset internal saya untuk kepentingan tulisan ini sebetulnya berhasil menemukan sosok itu. Siapa dia? Saya menolak menjawabnya karena saya tidak ingin memanaskan situasi yang memang sudah amat panas. Lagian, standar yang saya pakai hanya berbekal menilik prestasi dan rekam jejak plus tanya-tanya ‘sok bego ga tahu apa-apa’ ke beberapa tokoh yang kuyakini memiliki pengetahuan mendalam tentang masing-masing calon. Jadi ya… bisa saja penilaian saya amat sangat subyektif.

Namun bila hasil penelitian saya itu adalah benar, maka partai-partai yang ada perlu juga mengadakan semacam riset mendalam terhadap calon-calon yang mendaftar. Bila PDIP hendak melanjutkan hegemoninya di NTT selepas berjayanya kader mereka Frans Lebu Raya, gubernur sekarang, PDIP perlu tandem dengan partai lain yang kalau dijumlahkan kursinya di parlemen minimal mencapi 13 buah. Ini karena jumlah kursi PDIP tidak sampai 13 di parlemen NTT.

Lebih lanjut, partai tandem itu hendaknya partai yang tidak ngotot menuntut calonnyalah yang duduk di posisi sebagai gubernur melainkan fleksibel satu sama lain dengan PDIP. Mungkin saja bisa PKB sebab PKB tidak ngotot menjadikan calonnya sebagai gubernur, juga kalau dijumlahkan dengan PDIP maka jumlah kursi di parlemen kedua partai ini akan memenuhi syarat pencalonan.

Harapan kami selaku warga meski tercatat sebagai warga yang diaspora, partai-partai mengutamakan integritas calon, bukan atas landasan mahar. Sebab bila mahar yang diutamakan, kuatirnya  tidak akan sampai membuat sosok-sosok yang berintegritas tinggi yang terpilih. Alhasil, NTT tetap akan jalan di tempat. Munculnya Ahok ala NTT pun seketika sirna sampai beliau bisa maju secara independen. Bila sampai itu terjadi, saya akan terang-terangan nanti memunculkan sebuah gerakan “Teman Ahok a la NTT” selepas pilgub mendatang agar pada periode berikutnya sosok yang mendekati atau malah Ahok sendirilah yang menang sebab saat itu Ahok sudah bebas dari penjara.

Hahaha….namanya juga gara-gara….

 Penulis adalah warga NTT diaspora

[Tulisan ini sudah pernah ditayankan di www.seword.com. Ditayanagkan kembali di Floresa.co atas izin penulisnya untuk mejangkau pembaca yang lebih luas di NTT]

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini