Tuhan Orang Miskin di Menara Gereja Megah

Oleh: ANNO SUSABON

“…Yang paling penting adalah umat Katolik harus bisa memahami kesukaran ekonomi masyarakat Indonesia saat ini. Saya lihat di Jakarta dan beberapa tempat di Indonesia gereja megah-megah, sementara di sekitar gereja banyak orang miskin” (Romo Franz Magnis-Suseno, SJ)

Kritik tajam pastor sekaligus filsuf dan budayawan ini merupakan tamparan keras serentak memantik refleksi terkait eksistensi Gereja di Indonesia saat ini.

Refleksi itu terkait dengan sejumlah pertanyaan pokok, misalnya, sejauh mana Gereja (termasuk institusi agama-agama lain) hadir sebagai penyalur roh Mesianis yang menyelamatkan umat Tuhan yang de facto sedang melarat, menderita, miskin dan terpinggirkan? Apakah Gereja cukup puas dengan keberadaannya yang mengagung-agungkan kemewahan ortodoksinya? Tidak mampukah Gereja melampaui pola pikir konservatif dengan membangun gedung-gedung megah di tengah umat Tuhan yang melarat dan beralih lebih ke atas (beyond) untuk memproduksi aksi-aksi transformatif yang menyelamatkan umat? Apakah Gereja hanya puas menjual hiburan-hiburan eskatologis ketimbang berbuat sesuatu bagi umat yang miskin?

Dalam konteks ini, saya mempersempit pengertian Gereja sebagai para pemangku kepentingan (pejabat Gereja) di paroki-paroki dan keuskupan-keuskupan.

Pernyataan menggelitik Romo Magnis, hemat saya, muncul pada saat yang tepat ketika Gereja di Indonesia sedang lelap dalam konservatisme dan mengkultuskan gedung-gedung gereja mewah.

Gereja-gereja lokal di NTT khususnya, dalam hal ini harus merasa ditampar. Jika menganggap biasa-biasa saja, fatalisme pola pikir yang mengkultuskan bangunan gereja megah akan memelihara kondisi kemelaratan umat. Kehadiran institusi Gereja patut dipertanyakan, jangan sampai hanya menjadi opium atau candu yang mengajak umat Tuhan yang miskin untuk hidup dalam bayang-bayang kebahagiaan.

Kemegahan gedung-gedung gereja di banyak tempat di NTT tampak kontradiktif dengan statistik kesejahteraan hidup umat.

Provinsi NTT menempati peringkat ketiga termiskin (22,61%), setelah Papua (28,17%) dan Papua Barat (25,82%). Artinya, dari total 5,1 juta penduduk NTT, terdapat 1,2 juta penduduk yang masuk kategori miskin. Jumlah ini meningkat sekitar 168 ribu jiwa jika dibandingkan dengan data tahun 2014.

Mengherankan, daerah religius dengan cita rasa Kristen yang kental ini, ternyata menampung begitu banyak masalah, termasuk korupsi dalam banyak institusi (mungkin juga Gereja).

Kondisi kemiskinan ini tidak menjadi masalah yang berdiri sendiri. Persoalan ini berdomino pada gelombang migrasi besar buruh ke kota-kota besar, termasuk ke luar negeri. Pada tahun 2013, ada 75 ribu buruh migran ilegal dan 32 buruh legal NTT di Malaysia. Yang lebih disayangkan lagi, para buruh migran ini sering masuk dalam jebakan sindikat perdagangan manusia (human trafficking) (E. Y. S. Tolo, Indoprogress.com, 29/8/17).

Teologi yang Membebaskan

Gustavo Gutierrez melahirkan teologi pembebasan persis ketika tahun 1960-an Gereja Katolik Amerika Latin mengalami keadaan compang-camping dalam beragam dimensi. Teologi yang vis a vis dengan teologi tradisional ini kala itu hadir membongkar kemapanan doktrinal Gereja yang terlampau nyenyak dalam ortodoksi ajaran-ajaran ketuhanan, lantas lupa dengan kondisi ketertindasan, kemelaratan, dan pelecehan martabat manusia, yang terjadi di depan.

Sabda yang paling menggugah Gutierrez mengatakan, “If faith is a commitment to God and to human beings, it is not possible to believe in today world without a commitment to the process of liberation” (Hannelly, 1995 dikutip Kristeva, 2015: 323).

Cara berpikir  yang mau diperkenalkan Gutierrez pada dasarnya adalah bagaimana menjadi Gereja yang beriman kepada Tuhan secara konsekuen sekaligus tidak monadis terhadap situasi  ketertindasan umat.

Gutierrez tampaknya yakin benar bahwa Tuhan yang diimaninya, hadir dalam kondisi manusia yang miskin, terlantar dan melarat. Menurut Gutierrez, teologi pembebasan hadir bukan hanya untuk merefleksikan dunia, melainkan juga mentransformasinya. “This is a theology which doesn’t stop with reflecting on the world, but rather tries to be part of the process through which the world is transformed”.

Paradigma teologi yang membebaskan adalah teologi yang relevan dengan situasi umat setempat. Paralel dengan pandangan Gutierrez, Gereja era sekarang mesti mengalami kemajuan teologis, terutama dalam menganalisis situasi umat sekaligus memproduksi solusi-solusi atasnya.

Kalau Gereja sebagai institusi tidak mencapai ideal seperti ini, umat yang semakin kritis tidak akan pernah berhenti mempertanyakan eksistensi Gereja yang tidak sadar konteks.

Tuhan orang-orang miskin seperti sangat sulit digapai karena Ia ditahtakan di atas menara-menara megah gereja. Gereja akan kehilangan daya communio yang memperkenalkan Tuhan sebagai pribadi yang menggetarkan dan mengagumkan sekaligus dekat pada orang-orang kecil (tremendum et fascinosum [Rudolf Otto]). 

Gereja yang Terlibat

Gereja mesti terlibat! Keterlibatan gereja dalam mewartakan kabar gembira Tuhan kepada umat pada zaman ini tidak boleh hanya bermodus retoris dari atas mimbar. Gereja yang terlibat mesti beralih menjadi lebih dari sekadar memuji-muji Tuhan dalam ibadat-ibadat yang sistematis. Gereja yang terlibat mesti turun ke bawah, turun ke tengah kesengsaraan umat.

Kemegahan gedung gereja di tengah kemelaratan umat adalah kelucuan paling mengerikan. Sebab Tuhan yang hadir dalam konteks orang-orang kecil, bahkan mati untuk orang-orang kecil dijauhkan setinggi-tingginya di atas menara megah. Sudah saatnya Gereja era sekarang merenovasi paradigma teologinya menjadi teologi yang terlibat yang berdasar pada keterlibatan Allah dalam nasib dan sejarah umat manusia (Budi Kleden, 2003: vii).

Iman umat Kristen, dengan demikian, adalah iman yang kontekstual, yang terlibat aktif dalam menanggapi keterlibatan Allah atas kehidupannya. Dalam kaitan dengan ini, Gereja sebagai institusi juga dituntut untuk menarik umat dengan stimulus-stimulus kritis, baik secara teologis maupun praktis, bukan malah membonsai daya kritis umat dengan dalil-dalil teologi yang susah dimengerti.

Dalam rangka itu, Gereja, dalam hal ini para pemangku kepentingan di paroki-paroki dan keuskupan-keuskupan perlu:

Pertama memberikan teladan hidup sederhana sesuai dengan keadaan umat. Gaya hidup serba wah para pejabat gereja sesungguhnya merupakan kelucuan apabila ditampilkan di depan umat yang miskin dalam banyak dimensi kehidupan. Dalam hal ini, pembangunan gereja-gereja megah di tengah umat miskin mesti dihentikan!

Kedua, Gereja perlu memberikan sumbangan praktis untuk kesejahteraan umat, misalnya dengan membangun strategi-strategi pemberdayaan umat secara sosio-ekonomi. Umat tidak perlu disumbangkan uang atau bantuan langsung tunai seperti praktik pemerintah, tetapi dibantu untuk mengenal strategi-strategi pemberdayaan ekonomi.

Ketiga, dalam konteks politik, gereja mesti terlibat mengadvokasi masyarakat miskin yang menjadi korban pemiskinan sistemik dan terstruktur. Berkenaan dengan itu, Gereja perlu mengupayakan teologi pembebasan, membongkar kebobrokan politik anggaran untuk masyarakat miskin, misalnya dalam kasus-kasus korupsi. Namun, atensi serius juga mesti tampak dalam pengelolaan keuangan gereja sendiri yang transparan sehingga  tidak turut menstrukturisasi kemiskinan umat.

Tuhan hadir ke tengah dunia orang-orang kecil dan terpinggirkan, maka kita tidak boleh sewenang-wenang membungkusnya secara monadis di atas menara-menara megah gereja-gereja kita, tetapi memperkenalkannya sebagai Tuhan yang membebaskan.

Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero

spot_img

Artikel Terkini