Bahaya Eksklusivisme

Oleh: BONIFASIUS GUNUNG

Pernyataan bernada provokatif Eggy Sudjana, selanjutnya disebut “ES”, bahwa agama Kristen bertentangan dengan Pancasila terasa seperti bom atom yang diledakkan persis di jantung iman umat Kristen.

ES menyampaikan hal itu, yang kemudian ramai diperbincangkan, dalam sebuah video yang diambil seusai sidang gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) di Mahkamah Konstitusi, Senin, 18 September 2017. Dalam rekaman video, secara tegas Eggi menegaskan tidak ada ajaran selain Islam yang sesuai dengan Pancasila.

Pernyataan ES itu selain tidak beretika, juga merupakan penodaan serius terhadap agama lain, termasuk Kristen dan nilai luhur Pancasila, sekaligus merupakan pelanggaran yang amat brutal terhadap UUD 45 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Tidak Beretika

Pernyataan ES bahwa jika Perppu Ormas berlaku maka akan melahirkan konsekuensi berupa pembubaran agama Kristen karena meyakini “Trinitas atau Tritunggal Maha Kudus” jelas merupakan pelecehan yang menyakitkan bagi umat Kristen sekaligus merupakan pelanggaran berat terhadap nilai etika hidup berbangsa.

Hal itu terlihat secara jelas pada beberapa hal. Pertama, agama Kristen (Katholik dan Protestan) merupakan agama yang diakui di Indonesia. Secara historis, agama Kristen sebagaimana agama-agama lainnya telah hadir di wilayah Hindia Belanda jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurut catatan sejarah, agama Kristen telah hadir di Indonesia sejak tahun 1534 di Maluku Utara.

Bahkan spiritualitas Kekristenan telah menjiwai beberapa tokoh Kristen Katolik, sebut saja beberapa di antaranya, yaitu Mgr. Albertus Soegidjapranata, S.J., LJ. Kasimo dan Letkol. Ignatius Slamet Riyadi untuk ikut berjuang dalam perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Jadi, pernyataan ES jelas ahistoris.

Kedua, momentum ketika ES mengungkapkan pernyataan itu adalah ketika yang bersangkutan sedang melakukan upaya hukum untuk menolak keberlakuan Perppu Ormas di Mahkamah Konstitusi. Artinya bahwa ES dan kelompoknya melakukan upaya hukum itu karena merasa kepentingannya dirugikan akibat diberlakukannya Perppu Ormas. Tidaklah pantas ketika kemudian ES berbicara tentang substansi keyakinan agama lain ketika penganut dari agama lain tersebut tidak merasa dirugikan atas berlakunya suatu produk hukum tertentu oleh negara. 

Ketiga, seingat penulis, ES tidak pernah diberikan kuasa apa pun untuk berbicara mewakili umat Kristen. Artinya, jika apa yang dikatakan oleh ES itu benar, maka yang mempunyai hak (legal standing) untuk menempuh upaya hukum guna membela hak dan kepentingan agama Kristen adalah umat Kristen sendiri. Faktanya, mayoritas untuk tidak dikatakan semua umat Kristen mendukung sepenuhnya keputusan Pemerintah menerbitkan Perppu Ormas demi tegaknya NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Keempat, ES telah salah total dalam memahami makna TRINITAS atau TRITUGGAL MAHA KUDUS yang diyakini oleh seluruh umat Kristen di seluruh dunia. Dan keyakinan imaniah terhadap TRINITAS itu sama sekali tidak bertentangan dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu. Tuhan umat Kristen satu-satunya adalah Yesus Kristus, dan tidak ada yang lain selain Dia. Keyakinan umat Kristen akan adanya Allah (Bapa) itu berdasarkan firman Yesus.

Berita baik tentang adanya Roh Kudus sebagai penolong bagi umat manusia yang percaya pasca Yesus bangkit dan naik ke surga, juga berdasarkan firman Yesus. Artinya, bahwa Allah Bapa, Roh Kudus dan bahkan eksistensi Yesus sendiri sebagai putra tunggal Allah, semuanya bersumber dari firman Yesus. Pusat dari seluruh ajaran teologi kekristenan adalah Yesus dan firmanNya. Jadi, Yesus adalah Tuhan yang tunggal bagi umat Kristen, yang karenanya tidak bertentangan dengan makna ke-Esa-an Tuhan sebagaimana dimaksud dalam sila pertama Pancasila.

Kelima, ES sangatlah berbahaya karena (i) dengan sengaja menyebarluaskan kebohongan bahwa nilai luhur yang terkandung dalam sila pertama Pancasila merupakan milik agama tertentu saja; (ii) merupakan perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk melecehkan kebenaran agama lain; dan (iii) memicu ketidakharmonisan kehidupan antar umat beragama di Indonesia.              

Salah Paham

Pernyataan ES bahwa sebagai konsekuensi hukum atas berlakunya Perppu Ormas akan menyebabkan pembubaran agama Kristen Katolik karena meyakini dogma “TRINITAS/TRI TUNGGAL MAHA KUDUS” selain telah melukai iman umat Kristen juga dinilai merupakan ancaman aktual terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. ES diduga kuat sedang menumbuhkan kebencian spiritual sebagai alat pemicu konflik horisontal.

Penulis merasa heran ketika menyimak pernyataan ES karena sejauh yang Penulis pahami, Perppu Ormas sama sekali tidak bermaksud membubarkan agama-agama selain Islam dengan alasan apa pun. Sebaliknya, Perppu Ormas justru dibentuk untuk menjamin ketertiban sosial dan memberikan jaminan yuridis yang lebih kuat atas eksistensi agama apa pun yang diakui di Indonesia termasuk ketika melaksanakan kegiatan keagamaan.

Pernyataan ES yang bertitel Doktor Ilmu hukum dan Advokat Senior itu, tidak hanya memperlihatkan keterbatasan intelektualnya dalam membaca makna Perppu Ormas, tapi juga bisa dianggap mempromosikan nilai, gagasan dan perilaku intoleran pada generasi milenia. Akibatnya pun tidak hanya melahirkan konflik pada tataran nilai dan gagasan, tapi dapat menyebabkan suasana hidup yang tidak harmonis antar umat beragama. 

Jika membaca Perppu Ormas tersebut secara cermat, maka dapat dipahami bahwa negara saat ini sangat membutuhkan instrumen hukum baru yang sesuai dengan situasi, keadaan dan tantangan yang dihadapi untuk mengatasi perbuatan organisasi kemasyarakatan tertentu yang kerap melecehkan Pancasila dan UUD 45. Kebutuhan untuk itu tidak dapat lagi dipenuhi secara memadai oleh UU nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi kemasyarakatan, yang karenanya perlu dilakukan perubahan.

Selain untuk menjaga kewibawaan Pancasila dan UUD 45, Perppu Ormas itu juga dibentuk untuk melegitimasi tindakan negara dalam menjalankan kewajibannya melindungi kedaulatan NKRI. Sebuah kebijakan setingkat undang-undang dalam bentuk Perppu Ormas justru sengaja dibuat untuk menjaga moralitas masyarakat termasuk agama-agama dari gangguan ilegal oleh organisasi masyarakat tertentu.

Substansi Perppu Ormas yang paling banyak menyita perhatian publik antara lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan larangan-larangan terhadap ormas sebagaimana diatur dalam Pasal 59 dan hal yang berkaitan dengan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 60.

Dalam ketentuan Pasal 59 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur antara lain bahwa Ormas dilarang (i) menerima dari atau memberikan sumbangan kepada pihak mana pun secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (ii) mengumpulkan dana untuk partai politik; (iii) melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; (iv) melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; (v) melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum, fasilitas sosial; dan (vi) melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum; (vii) melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan negara.

Selain mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang, Perppu Ormas juga mengatur tentang jenis-jenis sanksi yang diberikan kepada setiap organisasi kemasyarakatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam PP tersebut, seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 60, yaitu mulai dari sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, sampai dengan sanksi berupa pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Pernyataan ES bahwa agama-agama selain Islam akan dibubarkan jika Perppu Ormas tetap diberlakukan tidak saja salah secara hukum, tapi juga tidak beretika. Dalam hidup dalam masyarakat plural seperti Indonesia, tuntutan untuk hidup saling menghormat bukan merupakan masalah etiket semata, bukan sekedar ekspresi perilaku sopan santun terhadap sesama saja, bukan pula hanya sekedar pencitraan diri, melainkan sebuah tuntutan etika yang bersifat imperatif.

Bahwa setiap warga negara Indonesia wajib untuk saling menghormati satu sama lain. Kewajiban itu terutama bermakna ideologis karena bersumber langsung pada Pancasila sebagai satu-satunya ideologi berbangsa dan bernegara Indonesia. Sebagai warga bangsa, mesti yakin bahwa menjalankan kewajiban semacam itu adalah baik. Baik untuk individu, baik untuk masyarakat, serta baik pula bagi bangsa dan negara Indonesia. Semua itu akan berujung pada terciptanya kehidupan bangsa dan negara yang damai, adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Jadi, pernyataan ES jelas salah. Kesalahan semacam itu terjadi atas beberapa kemungkinan, yaitu (i) tidak atau belum membaca teks Perppu Ormas dengan cermat  sehingga tidak paham isinya secara benar, (ii) bersikap apriori karena tergerak oleh posisi politiknya sehingga hanya membaca teks secara politis saja; atau (iii) karena keterbatasan intelektual sehingga tidak mampu memahami isi teks dengan baik. Kalau pernyataan itu disebabkan oleh alasan yang pertama dan ketiga, maka solusinya mudah saja, yaitu pertama-tama membuka diri untuk bersikap obyektif, lalu menyediakan waktu untuk membaca secara cermat teks Perppu Ormas itu. Namun, jika karena alasan kedua, maka right or wrong, yang bersangkutan tetap pada sikapnya yang eksklusif itu.        

Bahaya Eksklusivisme      

Dr. Otto Gusti Madung, SVD (Eksklusivisme Dan Inklusivisme Dalam Gereja Katolik) menjelaskan bahwa konsep eksklusivisme dikemukakan pertama kali pada abad ke-3 oleh St. Cyprianus. Maknanya adalah tidak ada keselamatan di luar gereja (Extra Ecclesiam Nulla Salus).

Namun, munculnya berbagai persoalan iman pada tataran praksis yang, antara lain, dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman terhadap pandangan itu, maka pada Konsili Vatikan II tahun 1965, Gereja Katolik telah meninggalkan doktrin tersebut lalu mulai membuka diri pada pandangan yang bersifat inklusif, sebuah konsep teologi yang dikembangkan oleh Karl Rahner, seorang teolog Jerman dari Serikat Jesuit.

Doktrin inklusivisme hendak menegaskan adanya pengakuan bahwa ada keselamatan di luar Gereja. Atas doktrin inilah Gereja Katolik kemudian membuka diri untuk menerima kehadiran agama lain lalu berupaya hidup berdampingan secara damai.          

Kita harus jujur bahwa doktrin eksklusivisme dalam beragama atau berkeyakinan itu dibenarkan sejauh ditempatkan dalam konteks relasi imaniah antara penganut agama dengan Tuhannya. Artinya bahwa kepercayaan kepada Tuhan memang harus berakar pada keyakinan tunggal yang teguh akan kebenaran sebagaimana diwartakan lewat kitab suci agama-agama. Inilah yang dikatakan sebagai eksklusivisme vertikal.

Namun, penting untuk dipahami bahwa kebenaran yang secara eksklusif terkandung dalam ajaran agama tertentu bukanlah hasil dari proses perbandingan dengan ajaran-ajaran agama lain. Sebab, setiap agama mengajarkan kebenaran masing-masing, yang oleh penganutnya diyakini sebagaimana kebenaran iman.

Kebenaran itu, sejak semula diwartakan dalam kitab suci sebagai kebenaran. Artinya, kebenaran itu tidak menjadi benar karena ajaran agama lain salah atau tersesat. Dan karena yakin akan kebenaran itulah yang kemudian menjadi alasan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk menganut agama tertentu. Sejauh pandangan eksklusivisme diletakkan dalam konteks hubungan secara vertikal antara penganut agama dengan subyek yang diyakini sebagai TYME seperti yang diwartakan dalam kitab suci setiap agama, maka hal itu tidaklah keliru.         

Eksklusivisme agama akan menjadi masalah jika pandangan akan kebenaran yang eksklusif dalam agama tertentu dipaksakan menjadi kebenaran bagi agama lain. Dengan kata lain, keyakinan akan kebenaran atas agama yang dianut telah dijadikan sebagai alat untuk membuktikan kesalahan atas kebenaran yang terkandung dalam ajaran agama yang lain. Inilah yang dikatakan sebagai eksklusivisme horisontal. Dalam konteks kehidupan masyarakat plural semacam Indonesia, hal itu dapat menjadi pemicu konflik antara umat beragama. 

Lalu, jika eksklusivisme vertikal dibenarkan dalam berkeyakinan kepada TYME, Tuhan yang disembah oleh setiap agama, apakah itu berarti agama-agama tidak bisa hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat? Apakah dibolehkan agama tertentu menghina keyakinan dan kebenaran pada agama lain?

Tentu tidak, karena setiap agama telah menyediakan solusinya. Agama mengajarkan umatnya untuk mencintai satu sama lain seperti diri sendiri, menghargai seluruh ciptaan Tuhan, dan berbagai ajaran lainnya yang mewajibkan umat beragama menghargai hak orang serentak menunaikan kewajiban. Artinya, cinta dan kasih sayang terhadap sesama adalah pintu masuk bagi setiap umat beragama untuk terbuka bagi kehadiran pihak lain yang tidak seagama dengan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat.

Namun, ketika eksklusivisme vertikal ditarik menjadi eksklusivisme horizontal, maka akan menimbulkan beberapa bahaya, yaitu pertama, kebenaran agama berubah menjadi kebenaran teori tentang agama; kedua, agama lalu menjadi obyek perdebatan ilmiah; ketiga, kedua hal tersebut tentu tidak kondusif bagi suasana kebatinan para penganut agama apa pun karena keberagaman tingkat pemahaman terhadap nilai kebenaran agama yang berbeda-beda; keempat, agama berpotensi dijadikan alat untuk menilai atau mengukur nilai kebenaran agama lain; kelima,  agama akan menjustifikasi sikap eksklusif “kami versus mereka”, lalu membenarkan sikap atau tindakan intoleran terhadap penganut agama lain.

Penulis adalah advokat yang berbasis di Jakarta dan direktur eksekutif Institute of Indonesia Law Transformation (IILTRA). Email: [email protected]

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini