Floresa.co – Di usianya yang ke-81, Pater Frans Mido SVD menghembuskan nafas terakhir, Rabu, 29 November 2017.

Setengah abad mengabdi di Seminari Pius XII Kisol (Sanpio), sekolah yang terletak di Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, imam asal Nangaroro, Nagekeo itu meninggalkan banyak kesan bagi para mantan muridnya.

Kabar kepergiannya pun spontan memunculkan beragam ekspresi sedih. Di linimasa media sosial dan di grup-grup Whats App, para alumni mengungkapkan  kesaksian mereka tentang Pater Frans.

Umumnya, kesan para alumni, yang mengemban beragam profesi, terkait warisan ilmu Bahasa Indonesia, Logika dan Dramaturgi yang menjadi materi ajarnya.

BACA JUGA: Pater Frans Mido SVD, Sesepuh di Seminari Kisol Meninggal Dunia

Don Bosco Selamun, alumnus yang kini Pemimpin Redaksi Metro TV menulis, “kata terima kasih sungguh tidak memadai untuk menyandingi jasamu.”

“Saya, dan ribuan murid lainnya yang selalu mengidolakanmu sangat berutang budi,” katanya.

Ia melukiskan Pater Frans sebagai sosok yang menyiapkannya untuk menghadapi tantangan di dunia yang kini digelutinya.

“Dari sebuah pojok sangat terpencil negeri ini, ketika itu, engkau membuka mata, membuka telinga, mengolah rasa, mengasah pikiran, membentangkan cakrawala, menembus batas-batas imaginasi tentang dunia dan manusia yang tidak bertepi,” katanya.

“Dengan caramu yang sederhana, sering dengan canda ringan, engkau seperti melukis tapak dan jejak kaki yang kami lintasi saat ini,” tulis Don.

Uskup Sorong, Mgr Hilarion Datus Lega yang juga merupakan alumni Seminari Kisol, menyebut Pater Frans berhak mendapat predikat “top” sebagai guru Bahasa Indonesia.

Menurutnya, ia tidak hanya mengajar pelajaran ‘tata bahasa’ dengan segala kompleksitasnya, tetapi juga menanamkan kecintaan akan sastra.

“Ia menumbuhkembangkan kreativitas berbahasa dengan alur pemikiran yang berkaitan erat dengan logika dan filsafat,” katanya.

Gusty Dawarja, alumni yang kini menjadi lawyer, menyebut Pater Frans  “menghayati pengajaran bahasa dan sastra dengan sangat tekun, teliti dan nyaris sempurna.”

“Kehidupan rohaninya juga tidak gegap gempita,” kenang Gusty, yang melewati pendidikan di Sanpio pada tahun 1982-1988.

Senada dengan itu, Benny Kabur Harman, Wakil Ketua Komisi III DPR RI menyebut Pater Frans sebagai “mengajar murid-muridnya tentang cara pikir yang kritis, sistematis, logis, dan radikal.”

“Kalau sekarang banyak alumnus yang hebat-hebat sebagai penulis atau orator, itu lebih karena pengetahuan dasar tentang bahasa dan logika yang mereka peroleh dari Pater Frans,” katanya.

Apa yang diajarkannya, menurut Benny, tetap melekat dan mendarah daging, susah dilupakan

“Ia juga seorang pendidik, yang membimbing anak-anaknya dengan perilakunya,”  katanya.

Sebagai seorang biarawan, ia memuji Pater Frans “yang setia dan menjaga kemurnian panggilan hingga pemilik kehidupan memanggilnya.”

“Dialah guru sejati yang patut menjadi teladan oleh para biarawan generasi sesudahnya,” ungkap Benny.

Sementara itu, Boni Hargens, yang kini menjadi pengamat politik nasional menyebut Pater Frans sebagai sosok yang mencerahkan.

“Dramaturgi Pater Frans selalu terekam dalam memori dan banyak membantu saya dalam memahami peserta dan atau pemirsa dalam kuliah, seminar atau acara televisi,” tulis Boni.

Marsel Rengka, alumni lain yang kini menetap di Jakarta mengamini jasa luar biasa Pater Frans.

“Para alumni bekas murid-muridmu sudah sukses berkiprah di seluruh pelosok tanah air karena sentuhan kepiawaianmu mengajarkan kami berbahasa Indonesia yang baik dan benar,” katanya.

Bagi Venansius Haryanto, alumni yang melewati masa di Sanpio 2002-2008, Pater Frans adalah sosok yang tegas dalam prinsip.

“Jika ya, katakan ya, jika tidak katakan tidak, jika benar katakan benar, jika salah katakan salah,” katanya.

Menurutnya, ketegasan itu tidak hanya tampak dalam tugasnya sebagai pembina, tetapi juga menyata dalam tugasnya sebagai seorang pendidik.

Frain Jebada, alumni yang kini bekerja di CNN Indonesia mengatakan, “ketegasan Pater Frans kadang bikin deg-degan.

Hal itu terkait caranya yang unik dalam memeriksa jawaban ujian murid-muridnya.

Kata alumni yang lulus 2003 ini, Pater Frans biasa memakai lup (kaca pembesar) untuk memperhatikan tanda baca pada lembaran ujian para siswanya.

Ignaz Laya, teman sekelas Frain melukiskan kehadiran Pater Frans sebagai sebuah berkah luar biasa.

“Keuskupan Ruteng, Seminari Kisol dan kami yang pernah secara khusus diajarnya tentang menulis yang baik dan benar layak bersyukur,” katanya.

Gazpar Araja, alumnus  tamatan tahun 2004 yang kini berprofesi sebagai musisi di Jakarta mengaku, betapa berharganya pelajaran Bahasa Indonesia yang pernah diterimanya dari Pater Frans.

“Tugas kita, mantan muridnya adalah menjaga terus apa yg dia sudah dia ajarkan lewat menulis dan berbicara yang baik dan benar pula,” kata Gazpar.

Pater Frans, yang lahir pada tanggal 7 November 1936 bertugas di Seminari Kisol sejak 1966, setahun setelah ia ditahbiskan sebagai imam.

Setelah sempat mengajar, ia lalu melanjutkan studi Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Pada tahun 1970, ia berhasil menyandang gelar Sarjana Muda.

Pengalaman mengajarnya sudah tercatat di sejumlah tempat. Selain di Seminari Kisol pada 1970-1978 dan 1982-2006, ia juga pernah mengajar di SDN Kisol, SMP Pancasila, dan SPG C II di Borong (1966), SMA Kolese De Britto di Yogyakarta (1968-1969) dan sebagai dosen tamu pada STKIP Katekis St. Paulus di Ruteng, Manggarai.

Selama karyanya, ia pernah dipercaya sebagai Kepala Sekolah SMP/SMA Sanpio (1974-1978) dan sebagai rektor pada 1982-1985.

ARJ/ARL/Floresa