“Bangun Gedung Kami, Supaya Bisa Belajar Seperti Orang Indonesia Lainnya!”

Floresa.coDari Benteng Jawa, ibukota Kecamatan Lamba-Leda, butuh waktu dua jam jalan kaki menyusuri jalan terjal berbatu menuju lokasi Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 10, yang terletak di Desa Goreng Meni.

Pada Selasa, 13 Maret 2018, rombongan pejabat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melintasi jalur itu menggunakan kendaraan roda empat.  Mereka menempuhnya tak sampai 30 menit untuk sampai ke sekolah tanpa gedung itu.

Sudah gelap gulita saat rombongan masuk wilayah Desa Goreng Meni. Siswa-siswi berseragam rapih putih-biru pun bergerombol menunggu di depan jalan.

Dua perempuan berbaju kebaya, dengan kain adat Songke Manggarai berdiri di belakang juru bicara adat.  Salah seorang dari mereka memapah nampan berisi beberapa helai selendang songke dan topi khas Manggarai. 

Ada sorak-sorai girang para siswa saat kendaraan rombongan itu berhenti. Dua orang perwakilan kementerian, yakni Muhammad Mustari, Kepala Seksi Kelembagaan, Subbid Kelembagaan Sarpras Direktorat Pembinaan SMP dan Dwi Satriawan selaku tim teknis langsung disambut dengan tata cara adat Manggarai.

Mereka dipakaikan topi Manggarai dan dikalungi selendang Songke. Seluruh peserta rombongan diperlakukan sama. 

Kehadiran keduanya adalah merespons pemberitaan di media lokal dan nasional terkait SMPN 10 itu, yang sejak berdiri belum juga memiliki gedung sekolah, termasuk fasilitas-fasilitas lainnnya.

BACA:

Pertemuan pihak sekolah bersama dua perwakilan kementerian ini dilaksanakan dalam ruang kecil milik Desa Goreng Meni. Bangunan permanen tersebut adalah kantor desa. Lokasinya bersebelahan dengan lahan milik SMPN 10 Lamba Leda.

Diskusi berjalan alot dihadiri tokoh-tokoh pemerintah, di antaranya Camat Lamba Leda, Aleks Rahman dan Kepala Desa Meni, Aleksius Talis. Beberapa warga dan anggota komite sekolah pun ikut hadir. 

“Inilah kondisi yang terjadi di Lamba Leda. Harapan kami, kehadiran (pihak) kementerian bisa memberikan solusi untuk sekolah ini dan untuk Kecamatan Lamba Leda pada umumnya,” ucap Aleksius, membuka pertemuan.

Bangunan SMPN 10 Lamba Leda belum pernah ada sejak dibentuk pada 2013 lalu. Setiap hari, para siswa-siswi dari kelas VII sampai IX datang ke sekolah dengan berseragam lengkap. Namun, mereka menjalankan kegiatan belajar-mengajar di bawah pohon kemiri yang tumbuh di dekat lahan sekolah.

Para siswa di SMP Negeri 10 Lamba Leda mengikuti pelajaran di bawah pohon kemiri, karena tidak ada ruang kelas, sejak sekolah itu berdiri pada 2013. (Foto: Floresa)

 

Kepala Desa, Aleksius mengatakan, SMPN 10 Lamba Leda dulu dibentuk untuk menekan jumlah anak putus sekolah di wilayah tersebut.

Konon, sebelum dibangun, banyak anak-anak yang berhenti sekolah karena letak SMP jauh dari kampung mereka. Pembentukan sekolah pun muncul atas inisiatif seluruh warga.

“Sejak dibentuk, ada banyak yang kurang dan gedung belum pernah ada sama sekali. Selama lima tahun berjalan, mereka pakai yang seadanya. Sempat ada pengadaan kursi 75 unit secara swadaya,” katanya

Selama lima tahun berjalan, siswa-siswi SMPN 10 Lamba Leda yang kini berjumlah 93 siswa menjalankan kegiatan belajar-mengajar  dengan fasilitas yang kurang.

Salah seorang siswi kelas VIII SMPN 10 Lamba Leda, Adel Burga Indra mengatakan, sering sekali mereka terpaksa tidak belajar apabila sedang turun hujan. 

“Biasanya langsung berhenti belajar dan kami cari tempat berteduh. Tunggu hujan berhenti baru belajar lagi,” kata Adel yang diikuti anggukan setuju siswa-siswi lain.

Hal ini pun dibenarkan Kepala Sekolah, Damianus Nabit.  Ia mengatakan, untuk kelancaran belajar mengajar, mereka meminjam satu ruangan PAUD Meni Jaya.

Ruangan ini pun dipinjam pada saat pelaksanaan Ujian Akhir Nasional.

“Kalau kelas VII dan VIII, ujian pun tetap dilaksanakan di bawah pohon. Untungnya ujian selalu saat musim kemarau. Sedangkan untuk mengejar ketertinggalan karena hujan, biasanya ada les tambahan sore hari,” terangnya.

Dalam rangkaian pertemuan dengan utusan Kemendikbud tersebut, para siswa-siswi pun diberi kesempatan menyampaikan keluh-kesah mereka secara langsung. Permohonan mereka disampaikan Dionisia Nurani sebagai perwakilan seluruh siswa.

“Dirjen Dikdasmen, saya selaku mewakili teman-teman SMPN 10 Lamba Leda, ingin menyampaikan bahwa sentuhilah kami dengan kasih sayang dan dengan membangun gedung bagi kami semua, supaya kami bisa belajar dengan tenang seperti anak Indonesia yang lainnya. Tolong bangunkanlah kami gedung secepat mungkin,” katanya dengan lantang.

Peninjauan lokasi oleh utusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tersebut sekaligus untuk merealisasikan harapan para siswa-siswi.

Dengan menyusuri tanah lapang yang gelap gulita, mereka melihat kembali tempat belajar siswa-siswi SMPN 10 Lamba Leda. 

Malam hari, meja dan kursi yang ditempatkan di bawah pohon kemiri itu disusun satu. Kursi diletakkan terbalik di atas meja. Agar tidak terkena embun, pihak sekolah membungkusnya menggunakan terpal plastik.

Pasca peninjauan, Muhammad Mustari mengatakan, pembangunan gedung sekolah bisa direalisasikan tahun ini asal seluruh persyaratan administrasi segera dipenuhi pihak sekolah.

“Saya sudah datang ke sini dan bertemu warga. Yang dibutuhkan untuk membangun sekolah baru di sini adalah data siswa dan status tanah. Kalau sudah jelas, langsung kita bangun tahun ini,” kata Mustari.

Sampai saat ini, untuk Kabupaten Manggarai Timur, terdapat 13 SMP yang belum memiliki gedung sendiri. Kepala Dinas Kabupaten Manggarai Timur, Frederika Soch mengatakan untuk tahun 2018, tidak ada pembangunan ruang kelas baru karena dalam menu dana alokasi khusus (DAK) tidak ada dana untuk bangun ruang kelas baru melainkan hanya rehab ruang kelas rusak.

AVB/ARL/Floresa

spot_img

Artikel Terkini