Anggota Komunitas Perempuan Manggarai (KPM) sedang menari dalam acara HUT pertama mereka di Jakarta, Minggu, 21 Oktober 2018. (Foto: Floresa)

 Jakarta – Komunitas Perempuan Manggarai (KPM), organisasi kaum perempuan asal Manggarai yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya, merayakan hari ulang tahun pertama pada Minggu, 21 Oktober 2018.

Digelar di Wisma Slipi, Jakarta Barat, acara dihadiri oleh sekitar 250 orang, yang mayoritas mengenakan kostum dengan nuansa Manggarai.

Rangkaian acara diawali dengan Misa yang dipimpin Pastor Peter C Aman OFM, imam asal Manggarai yang juga dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Acara ini juga menjadi momen syukur untuk dua pasangan keluarga Manggarai yang penikahannya difasilitasi oleh KPM sehari sebelumnya.

Kedua pasangan ini, masing-masing Hilgarda Sijung – Hendrikus Kristian Santoso dan Fansiana Dambut -Ferdinandus Jani sudah lama hidup bersama, namun belum menikah.

KPM kemudian membantu pengurusan persiapan, hingga penyelenggaraan pernikahan di Gereja St Agustinus, Halim, Jakarta Timur dan pencatatan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Emilia Kabur, ketua panitia menyebut dalam kata sambutannya, acara ini merupakan momen untuk merayakan kasih.

Menyinggung warna kuning cerah pada baju anggota KPM, ia menyatakan hal itu sebagai lambang “optimisme untuk maju ke depan, juga kebahagiaan dan keceriaan.”

Suasana saat Misa HUT pertama Komunitas Perempuan Manggarai (KPM) di Jakarta, Minggu, 21 Oktober 2018. (Foto: Floresa)

“Hari ini, kami semua para wanita Manggarai melakukan tugas dengan penuh keceriaan,” katanya.

Ia menambahkan, “baju kuning yang kami pilih tidak kemudian berarti kami berafiliasai ke salah satu partai politik.”

“Kalau saya tidak mengatakan hal ini, nanti kami dicurigai sebagai pendukung Partai Golkar,” lanjutnya yang disambut tawa hadirin.

Kemeriahan acara ini makin lengkap dengan pementasan beragam warisan budaya, termasuk mbata, tarian (sae) dan nanyi (nenggo).

Penghargaan untuk Tiga Perempuan Muda

KPM juga menandai perayaan HUT-nya dengan pemberian penghargaan untuk tiga perempuan muda berdarah Manggarai karena kiprah mereka di level nasional, yakni Angelina Ayuni Praise, Debora Jemadu dan Laura Brigitta Ludju.

Debora Jemadu, Laura Brigitta Ludju dan Angelina Ayuni Praise, tiga perempuan muda Manggarai menerima penghargaan dalam acara HUT pertama Komunitas Perempuan Manggarai (KPM) di Jakarta, Minggu, 21 Oktober 2018. (Foto: Floresa)

Yuni, putri dari Kanisius Jerahu dan Virgula Gaudens Bermansia yang kini kuliah di Institut Kesenian Jakarta merupakan salah satu anggota penari dalam ajang Asian Games dan Asian Para Games 2018.

Sementara Debora, putri dari Aleksius Jemadu dan Dewi Yosefina, yang lahir di Leuven, Belgia, 30 April 1993, adalah dosen musik di Universtas Pelita Harapan, juga performer yang sudah berpartisipasi dalam beberapa festival ternama, termasuk Java Jazz Festival.

Sementara Laura, putri dari Paskalis Baut danAni Kedaru yang kini sedang mengenyam pendidikan Universitas Indonesia adalah master of ceremony (MC) pada Asian Games 2018 untuk cabang olahraga wrestling, qurash, jujitsu and sambo.

Mewakili dua rekannya, Debora menyebut, penghargaan itu bermakna bagi mereka, sebagai pelecut semangat “untuk terus maju.”

Josefina Syukur, Ketua KPM mengatakan, ada maksud khusus pemberian penghargaan itu.

“Melalui mereka, kami ingin memberi dorongan kepada perempuan Manggarai lainnya untuk terus berprestasi dan mengembangkan bakat. Mereka tidak sendirian. Ada KPM yang bisa mendampingi dan membantu mereka,” katanya.

Suasana saat makan siang dalam acara HUT pertama Komunitas Perempuan Manggarai (KPM) di Jakarta, Minggu, 21 Oktober 2018. Hidangan yang disajikan merupakan makanan khas Manggarai, seperti daun singkong, daging babi dan ikan cara. (Foto: Floresa)

“Kami juga ingin menunjukkan bahwa perempuan Manggarai bisa tampil di acara nasional, asal mereka punya kemauan untuk itu,” tegas Josefina, yang sehari-hari berprofesi sebagai advokat.

Berawal dari Keprihatinan

Josefina menyatakan, KPM terbentuk karena keprihatinan terhadap situasi warga Manggarai di perantauan.

“Banyak sekali yang mengalami masalah dan terpinggirkan. Kami ingin berbuat sesuatu. tetapi tentu tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri,” jelasnya.

Keprihatinan itu, kata dia, kemudian menggerakan 22 orang perempuan Manggarai bertemu pertama kalinya pada 21 Oktober 2017.

Momen itu, kemudian dimanfaatkan untuk menginventaris masalah-masalah yang kerap dihadapi oleh orang Manggarai di perantauan.

“Ternyata banyak sekali (persoalan) dan salah satunya adalah banyak yang sudah hidup bersama bahkan mempunyai anak, tetapi belum menikah secara resmi,” katanya.

“Kami pikir bahwa kami perempuan tidak bisa diam saja menyaksikan hal ini. Kami mesti membantu,” katanya.

Ia menegaskan, agar bantuan bisa berkesinambungan dan bisa dirasakan oleh banyak orang, maka mereka sepakat membentuk suatu organisasi yang resmi dan diberi nama Komunitas Perempuan Manggarai, dengan format badan hukum perkumpulan.

“Sengaja dibuat suatu organisasi berbadan hukum supaya bisa terus dilanjutkan oleh generasi berikutnya dan ada kepastian bahwa KPM akan terus eksis.”

Komunitas ini, yang kini memiliki 42 anggota aktif, memilih kalimat ‘Sesamaku adalah aku yang lain’ sebagai motto.

Josefina menyebutnya sebagai kata-kata yang ajaib.

“Sebab ketika kami merasa bahwa orang lain adalah aku yang lain, maka kami juga ingin orang lain merasakan kebahagiaan dan berkat yang kami alami,” tegasnya.

Sejumlah kegiatan yang juga sudah dilakukan KPM antara lain membagikan bingkisan pada Natal tahun lalu kepada orang Manggarai yang tunanetra, menggelar Misa inkulturasi dan pentas budaya, mengunjungi yang sedang sakit dan memberi tanda dukacita untuk keluarga yang meninggal.

Dua pasangan keluarga asal Manggarai, masing-masing Hilgarda Sijung – Hendrikus Kristian Santoso dan Fansiana Dambut -Ferdinandus Jani yang pernikahannya difasilitasi oleh Komunitas Perempuan Manggarai (KPM) pada Sabtu, 20 Oktober 2018. (Foto: Ist)

KPM juga melayani permintaan koor dalam Misa perkawinan.

Sebagai satu organisasi, kata Josefina, KPM bersifat mandiri, tunggal, tidak berafiliasi dengan ormas atau organisasi politik apapun.

“Ini merupakan wadah tukar informasi, melaksakanan kegiatan sosial budaya dan kelompok penggerak bagi kegiatan perempuan pada umumnya,” katanya.

ARL/Floresa