Hoaks vs Pemilu yang Jujur dan Adil

Oleh: JOHNNY DOHUT OFM, Koordinator JPIC-OFM Flores

Ketua DPR RI, Bambang Susatyo, pada 4 Januari lalu meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menjamin penyelenggaraan Pemilu 2019 berlangsung secara jujur dan adil.

Pada dua lembaga penyelanggara pemilu tersebut, Bambang, selaku wakil rakyat, juga menyampaikan permintaan dengan tegas, “KPU dan Bawaslu harus memastikan tidak ada kebocoran surat suara ataupun pelanggaran pemilu lainnya” (Kompas, 4 Januari 2019).

Kita semua tahu bahwa pernyataan Bambang ini disampaikan setelah geger pemberitaan terkait tujuh container berisi surat suara yang sudah dicoblos pada awal Januari. Surat suara yang sudah dicoblos merupakan surat suara bergambar pasangan calon nomor urut 01. Tidak membutuhkan waktu lama, KPU akhirnya membuktikan bahwa itu merupakan kabar bohong (hoaks).

Tentu saja hoaks tujuh container hanya salah satu saja dari beberapa kabar bohong terlait Pemilu 2019. Hoaks untuk kepentingan politik tertentu masih mungkin beredar di harihari mendatang. Tapi kiranya pada satu hal ini kita sepakat: Hoaks adalah salah satu musuh besar pemilu yang jujur dan adil.

Hoaks mengandung sekurang-kurangnya tiga unsur. Pertama, informasi yang menyesatkan (misleading information). Terkait ini perlu dibedakan misinformasi dan disinformasi. Pada misinformasi tidak ada kesengajaan; informasi yang salah, tapi orang yang membagikannya percaya hal itu benar. Sementara pada disinformasi, informasi yang salah dan orang yang membagikannya tahu hal tersebut salah dengan kesengajaan. Kedua, tindakan yang disengaja (deliberate or purposefully act). Ketiga, ketidakbenaran yang ditampilkan seolah-olah kebenaran (presented untruth as the ultimate truth) (Kompas, 31 Desember 2018).

Mengacu pada tiga hal itu, sulit bagi kita untuk percaya saja bahwa produsen dan penyebar hoax ini melakukan aksinya sekadar iseng. Risiko keisengan itu tidak main-main: bisa berujung penjara. Betapapun Ratna Sarumpaet, mungkin iseng, ketika saat itu mengklaim prestasi sebagai pembuat hoaks terbaik, pada akhirnya ia dicegat saat mau ke luar negeri, berurusan dengan hukum, dan sebuah kekonyolan menganggap itu sebuah prestasi.

Kemalasan Berpikir

Demokrasi selalu berpijak pada kekuatan rasional. Dan puncak tertinggi bangunan rasionalitas adalah kebenaran. Dalam demokrasi kebenaran demi kebaikan bersama dijunjung tinggi. Karena itu, segala sesuatu yang disajikan ke ruang publik didiskusikan dan diterima sejauh dapat dipertanggungjawabkan secara kritis. Salah satu musuh dari asas rasional demokrasi adalah kemalasan berpikir.

Di sini orang tidak mengoptimalkan penggunaan akal kritis berhadapan dengan semua data dan informasi yang disajikan di ruang publik. Dalam kemalasan berpikir, informasi yang dangkal sekalipun dapat diyakini sebagai informasi yang cukup mendalam dan tak perlu diragukan lagi kebenarannya.

Kemalasan berpikir diperparah ketika bertaut dengan hasrat ingin serba cepat. Sementara berpikir kritis membutuhkan waktu, berhadapan dengan lubernya informasi kerap kali orang susah menahan diri untuk segera like, comment, dan share. Seperti dirasuki kemendesakan yang dangkal, orang kerap terburuburu melahap berita bohong secara utuh, bereaksi terhadapnya, dan ikut menyebarkannya.

Menunda konfirmasi selalu dianggap ketertinggalan. Kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menjadi contoh terbaik untuk ‘kemendesakan yang dangkal’ khas ruang digital ketika bereaksi untuk kabar bohong penganiayaan aktivis Ratna Sarumpaet di ruang publik.

Daripada bersikap kritis terhadap informasi yang diterima, di era jurnalisme digital ini orang kerap memilih menjadi pelahap informasi tanpa catatan kritis. Kemalasan berpikir ini dilirik produsen hoaks sebagai peluang untuk ‘menggarap massa karat’, massa yang akal kritisnya keropos dan pada mereka setiap berita bohong bisa lolos tanpa penyaringan menjadi kebenaran.

Merawat Akal Kritis

Melimpahnya hoaks akhir-akhir ini dapat menjadi gelombang pembodohan yang akan menghempas kita sampai pada suatu titik di mana sulit menarik batas antara kebenaran dan kebohongan, fakta dan rekaan, kesejatian dan kepalsuan.

Yang membahayakan ialah bertumbuhnya ‘masa karat’ yang meyakini hoaks sebagai kebenaran dan tidak mau berdiskusi lagi. Jangan-jangan memang kita sedang menjadikan negeri ini sebagai ladang subur bagi produksi hoaks. Pada masa panen hoaks di seputar Pemilu 2019 ini, siapapun rentan menjadi korban hoaks, baik itu masyarakat biasa di kampung maupun para politisi dan tokoh masyarakat di metropolitan yang terjangkit virus kemalasan berpikir.

Yah, demokrasi yang digerakkan oleh kekuatan sentimentalitas barangkali menjadi ladang produksi hoaks yang sangat potensial. Ketika masyarakat cenderung bereaksi atas sentimen-sentimen, mengabaikan penggunaan akal kritis dalam mencari kebenaran, maka hoaks akan menjadi jajanan lezat yang dikonsumsi hari demi hari sebagai kebenaran.

Kecendrungan ideologis politik tertentu juga kerap kali membuat orang mudah percaya pada hoaks. Asal informasi itu menyenangkan kubu (baca : kelompok ideologis-politis) kita, soal benar dan salah itu tidak penting diverifikasi. Hoaks itulah informasi yang benar.

Karena itu, upaya merawat akal kritis di ruang publik sangatlah penting. Edukasi warga melalui literasi media agar makin kritis mencerna tiap informasi perlu diupayakan. Gerakan anti-hoaks berbasis warga dan melalui sekolah-sekolah perlu didukung.

Menarik, setelah debat pertama dan kedua, ada upaya mengoreksi beberapa data yang disampaikan capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Ada upaya verifikasi, mengecek kebenaran, yang tentu saja lahir dari tanggung jawab menyampaikan dan menyebar informasi yang benar kepada publik. Ketika hoaks melimpah, upaya verifikasi seperti ini, betapapun kecil, merupakan upaya yang sangat penting dilakukan setiap orang.

Komitmen Personal pada Kebenaran

Bahaya lain di era jurnalisme digital adalah orang tergesagesa menjadi penyalur berita (bohong) sembari menyerahkan tanggung jawab memverifikasi kebenaran pada pihak lain dengan mengucapkan “Tolong dicek kebenarannya…”. Ada satu hal yang agak pudar di situ yakni komitmen moral personal pada kebenaran.

Hoaks tujuh container sebenarnya tidak membuat geger ruang publik jika saja orang memiliki komitmen moral personal pada kebenaran. Tentu saja menjadi penyebar informasi di era jurnalisme digital ini adalah hak semua orang. Namun, selalu ada tuntutan akan tanggung jawab moral untuk memverifikasi tiap informasi yang kita terima sebelum menyajikannya untuk orang lain melalui media sosial.

Kontestasi politik yang bertabur hoaks memalukan demokrasi saat ini. Gelimang hoaks menurunkan derajat rasionalitas dalam ikhwal kita berdemokrasi. Produksi hoaks, penyebaran, dan juga meyakininya adalah sebentuk penistaan terhadap kebenaran. Hoax menodai cita-cita luhur berlangsungnya pemilu yang jujur dan adil. Mewujudkan pemilu yang jujur dan adil serentak menuntut upaya bersama memberantas mengucapkan “Tolong dicek kebenarannya…”.

Ada satu hal yang agak pudar di situ yakni komitmen moral personal pada kebenaran. Hoaks tujuh container sebenarnya tidak membuat geger ruang publik jika saja orang memiliki komitmen moral personal pada kebenaran. Tentu saja menjadi penyebar informasi di era jurnalisme digital ini adalah hak semua orang.

Namun, selalu ada tuntutan akan tanggung jawab moral untuk memverifikasi tiap informasi yang kita terima sebelum menyajikannya untuk orang lain melalui media sosial. Kontestasi politik yang bertabur hoaks memalukan demokrasi saat ini. Gelimang hoaks menurunkan derajat rasionalitas dalam ikhwal kita berdemokrasi. Produksi hoaks, penyebaran, dan juga meyakininya adalah sebentuk penistaan terhadap kebenaran. Hoax menodai cita-cita luhur berlangsungnya pemilu yang jujur dan adil.

Mewujudkan pemilu yang jujur dan adil serentak menuntut upaya bersama memberantas hoax. Produsen hoax melanggar hak konsumen akan informasi yang benar. Informasi yang tidak jujur atau salah, yang ditampilkan seolah-olah benar, pada konsumen bisa menjadi dasar untuk keputusan memilih yang keliru.

Di level institusi kita berharap pada peran kelembagaan yang efektif dari Bawaslu dan KPU yang menjamin proses pemilu ini berlangsung jujur dan adil. Asas jujur dan adil, duaduanya berpaut erat dan berpijak di atas kebenaran. KPU dan Bawaslu tentu saja bertanggung jawab agar tidak ada manipulasi dan kecurangan dalam proses mulai di TPS hingga rekapitulasi suara di tingkat yang lebih tinggi.

Penegakan hukum terhadap para produsen dan penyebar hoax perlu dilakukan dengan tegas. Segenap elemen masyarakat perlu terlibat dalam upaya ini lewat berbagai model gerakan anti-hoax. Partai-partai politik dan organisasiorganisasi kemasyarakatan juga mestinya menjadi yang terdepan dalam mengedukasi masyarakat (konstituen) untuk makin kritis.

Menjadi soal ketika partai-partai politik atau kubu pasangan capres/ cawapres dan para caleg tergoda untuk mengarahkan konstituennya pada semacam nepotisme kebenaran. Pokoknya yang benar adalah informasi yang mendukung dan menguatkan elektabilitas kubu kita meskipun itu hoax. Tendensi ini menciptakan kondisi yang membutuhkan hoax. Produsen kabar bohong, semisal Saracen, tak pernah benar-benar mati, karena selalu ada permintaan jasa mereka. Satu Saracen mati, seribu Saracen lainnya menggeliat.)

[Artikel ini sebelumnya dimuat di situs milik JPIC-OFM, Jpicofmindonesia.com. Dimuat kembali di sini atas izin JPIC-OFM)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini