Pemilu dan Narasi Kedamaian

Oleh: EPIN SOLANTA,  Alumni Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pemilu menjadi salah satu momentum penting bagi sebuah negara yang menganut demokrasi. Dikatakan demikian, karena pemilu selalu berasosiasi langsung bahkan dijadikan standar atau tolok ukur untuk menilai kualitas demokrasi suatu bangsa. 

Mengutip pendapat Robert Dahl (dalam Prihatmoko, 2005: 35-36) ada beberapa parameter untuk mengamati atau mengukur terwujudnya demokrasi, antara lain, pemilu, rotasi kekuasaan, rekrutmen terbuka dan akuntabilitas publik. Pada sisi yang lain, demokrasi syarat dengan nilai-nilai seperti kejujuran, kebebasan, kepatuhan, persamaan, toleransi, perdamaian dan tata krama (Zoelva, 2004).

Pemilu, baik pemilihan eksekutif (presiden, gubernur, walikota, dan bupati) maupun legislatif (DPR dan DPRD) adalah momentum perayaan demokrasi, di mana rakyat langsung menyatakan kedaulatan politiknya. 

Sejak tahun 1998, ketika era eeformasi dimulai sampai saat ini, negara kita tercatat telah menyelenggarakan empat kali pemilu presiden, yakni di tahun 1999, 2004, 2009, dan 2014. 

Pada tahun ini, kita akan melangsungkan Pemilu serentak baik Pileg maupun Pilpres yang kelima. Tahun 2018, telah diadakan Pilkada serentak di 171 daerah, terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.

Rentetan pesta demokrasi yang sudah terjadi selama ini menyisakan beragam kisah, mulai dari yang paling menyedihkan sampai yang membahagiakan. 

Pemilu diwarnai sekaligus oleh narasi kosong dan narasi berisi, narasi optimisme dan narasi pesimisme, narasi kebencian dan narasi kecintaan. Pemilu tidak hanya berkutat pada narasi yang berseliweran menghiasi ruang publik kita, melainkan juga tentang berbagai macam praktik, mulai dari yang halal sampai yang tidak halal. Benar jika tak sedikit masyarakat Indonesia yang mengatakan bahwa usaha untuk memperoleh kekuasaan itu dapat menghalalkan segala cara.

Jika kemudian pemilu hanya berbicara soal hitam di atas putih, perihal aneka macam “narasi”, janji saat kampanye ataupun juga tentang praktik money politic, lantas bisakah ia dijadikan sebagai standar untuk mengukur kualitas demokrasi dari suatu negara? 

Mengutip pendapat Frans Magnis Suseno, demokrasi Indonesia itu dibangun dari dalam kehidupan sehari-hari di pedesaan yang sangat menekankan musyawarah dan mufakat, hak-hak rakyat termasuk hak untuk mengadakan protes dan cita-cita tolong-menolong. Demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu tetapi tidak individualistik, semangat kebersamaan, gotong royong dan menekankan kearifan masyarakat dan bangsa Indonesia (Suseno, 1997: 10-11).

Jelang Pilpres 2019

Menjelang pemilu pada 17 April mendatang, ruang publik kita disuguhkan dengan tontonan yang terkadang menggelihkan karena berbagai macam praktik politik yang menyimpang dari nilai demokrasi dan Pancasila terus terjadi ,yang kemudian menjadi materi kampanye oleh segelintir elit. 

Perilaku seperti ini menjadi efektif ketika dihadapkan dengan karakteristik pemilih yang minim daya kritis. Hal inilah yang menjadikan politik identitas, politik uang, narasi hoax menjadi laku terjual dalam konteks pemilu di Indonesia hari ini.

Laporan yang disampaikan oleh Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) bahwa total hoaks tahun 2018 sebanyak 62. Di tahun 2019 pada bulan Januari sebanyak 175. Secara keseluruhan ada 81 terkait Pemilu. PadaFebruari tanggal 8 sudah ada sekitar 15. Kondisi ini mencerminkan bahwa produksi dan penyebaran isu hoaksmenjelang pemilu masih laku dan laris terjual dalam pasaran politik di Indonesia.

Fakta di atas menjadi preseden buruk sekaligus bentuk pengingkaran terhadap janji pada deklarasi kampanye damai pada 23 September 2019. 

Pada waktu itu, ada tiga janji kampanye yaitu: mewujudkan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luberjurdil), menjauhi politik uang, SARA dan penggunaan hoax serta melaksanakan kampanye berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku.

Narasi Kedamaian

Pemilu yang ideal selalu berlandaskan pada asas Luberjurdil. Ini merupakan landasan pokok sekaligus yang utama dalam praktik pemilu. Pemilu tidak cukup untuk mengasosiasikan dua kandidat yang ikut berkontestasi, dalam hal ini adalah antara pasangan Jokowi-Maruf Amin versus Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. 

Pemilu tidak cukup untuk diidentikan hanya dengan partai-partai politik yang mengusung para capres-cawapres. Pemilu tidak bisa hanya berbicara tentang kampanye terbuka dimana-mana, tentang janji-janji manis yang disampaikan oleh para tim sukses.

Pemilu adalah tentang narasi kedamaian untuk bangsa Indonesia. Pemilu adalah sebuah momentum untuk menguji kecintaan terhadap bangsa Indonesia yang sudah sejak lama didirikan oleh para founding fathers kita. Pemilu harus berlandaskan pada narasi kedamaian. 

Pemilu tidak lagi berbicara tentang Jokowi vs Prabowo atau Maruf Amin vs Sandiaga Uno, melainkan tentang keindonesiaan. Narasi-narasi kedamaian adalah jiwa sekaligus roh yang menghantarkan bangsa Indonesia tetap utuh, kuat dan bermartabat sebagaimana yang dicita-citakan oleh seluruh rakyat Indonesia. 

Mari menyongsong pemilu 2019 dengan semangat perdamaian. Dengan demikian, tidak ada lagi benci di antara kita.

spot_img

Artikel Terkini