Petrus Salestinus, Kordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). (Foto: Floresa)

Oleh: PETRUS SELESTINUS, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia dan Pemerhati Sosial Budaya NTT

Program wisata halal yang hendak diterapkan di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, tidak hanya berpotensi memecah belah kerukunan hidup umat beragama di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tetapi juga jelas bertolak belakang dengan program wisata budaya yang sedang dikembangkan oleh Pemprov NTT sebagai destinasi wisatawan dunia.

Publik NTT mulai meragukan itikad baik Shana Fatina, selaku Ketua Badan Otorita Pariwisata (BOP) karena mencoba menerapkan wisata halal, di luar program wisata budaya yang sedang dikembangkan oleh Pemprov NTT. Hal ini juga bertolak belakang dengan realitas sosial budaya masyarakat NTT.

Shana Fatina seharusnya tahu isi UU No 10 Tahun 2009 tentang Keparawisataan sebagai hukum positif dan paham tentang Konstitusi 1945.

Itikad Shana Fatina untuk menerapkan program wisata halal dimaksud diduga tidak hanya sekedar bermaksud menarik wisatawan Muslim ke NTT, akan tetapi di balik itu Shana Fatina patut diduga memiliki agenda khusus yaitu membuka ruang bagi penyebaran dan infiltrasi radikalisme dan intoleransi di NTT dengan kemasan wisata halal.

BACA JUGA: Kelompok Radikal ‘Gentayangan’ di NTT, Pemerintah dan Aparat Diminta Tindak Tegas

Padahal, Shana Fatina tahu bahwa Kabupaten Manggarai Barat itu adanya di NTT, yang kultur, struktur dan realitas sosial masyarakatnya 100% NTT dan 100% Indonesia.

Infiltrasi Radikalisme

Shana Fatina paham betul bahwa berkembangnya radikalisme dan intoleransi sudah sedemikian sistemik hingga pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan, karena sudah masuk ke berbagai institusi negara dan sektor-sektor BUMN, termasuk sektor pariwisata.

Program wisata halal Shana Fatina mengingatkan kita pada himbauan Kepala BNPT Komjen Pol. Suhardi Alius kepada 181 pejabat BUMN se Indonesia di Lembang, Jawa Barat beberapa waktu yang lalu, agar seluruh jajaran BUMN mengidentifikasi benih-benih radikalisme di dalam lingkungannya dan meningkatkan kewaspadaan karena tidak kurang dua juta karyawan BUMN berpotensi terinfiltrasi atau terpapar radikalisme.

BACA JUGA: Waspadai Kelompok Penyebar Teror di NTT

Kehendak Shana Fatina yang mencoba menerapkan program wisata halal di Labuan Bajo, bagi publik di NTT ibarat petir di siang bolong.

Ini adalah langkah yang sangat tidak masuk di akal sehat publik, karena melanggar prinsip-prinsip penyelenggaraan Usaha Pariwisata dan melanggar UU Kepariwisataan yang mengharuskan penentuan wilayah pariwisata yang strategis atau super strategis tetap memperhatikan aspek sosial, budaya, lingkungan alam sekitranya (ekowisata) dan sejalan dengan agama masyarakat setempat.

Beni Radikalisme di NTT

Kecurigaan publik NTT terhadap Shana Fatina, sangat beralasan oleh karena sebagai seorang Kepala BOP di Labuan Bajo, yang mayoritas masyarakatnya beragama Katolik, Protestan dan sedikit Muslim, maka upaya menerapkan wisata halal, terkandung niat tidak baik, bahkan bisa ditafsirkan sebagai upaya untuk membangun sel-sel yang memudahkan infiltrasi radikalisme dan intoleransi di Manggarai Barat atau di NTT.

Bagaimanapun, program wisata halal ini sudah pasti mengintegrasikan nilai-nilai syariah ke dalam aktivitas pariwisata di Labuan Bajo.

BACA JUGA: Anggap Ancam NKRI, Warga NTT Tuntut Bubarkan FPI

Sebagai Kepala BOP Labuan Bajo, Shana Fatina harus memegang teguh amanat pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dimana negara secara tegas mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan hukum masyarakat adat beserta hak-hak tradisionlnya sesuai dengan prinsip NKRI. Sedangakn posisi hukum syariah sendiri tidak termasuk dalam struktur formal hukum positif di Indonesia.

BACA JUGA: BOP dan Pemkab Mabar Saling Cuci Tangan Terkait Wisata Halal

Karena itu, kebijakan menerapkan wisata halal di Labuan Bajo, tidak memiliki landasan hukum apapun, tidak dikenal di dalam UU No 10 Tahun 2009, Tentang Kepariwisataan dan di dalam UU No. 5 Tahun 2017, Tentang Pemajuan Kebudayaan. Hal ini bahkan bertentangan dengan visi besar negara yang terkandung dalam ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD 1945.