Buzzer dan Geliat Oligarki

OLEH: ICAN PRYATNO, Mahasiswa STFK Ledalero

Tulisan ini lahir dari sebuah kegelisahan yang amat menyesak akibatnya manuver para buzzer politik akhir-akhir ini. Kehadiran mereka seperti bayang-bayang hampa, yang mendaraskan sejumlah fakta, menjinakan kesadaran, dan lantas memperkeruh suasana. Alhasil, marwah demokrasi yang mengukuhkan kejerniaan nalar dibantai dengan sejumlah opini banal.

Buzzer dan Kolonialisasi Kesadaran

 Beberapa waktu terakhir, wicara seputar buzzer di dalam frame politik indonesia kian mengemuka. Bukan tanpa alasan, eskalasi perbicangan ini justru didasarkan pada beragam kisruh politik yang disignalir merupakan buah produksi para buzzer. Mereka bergerak dan berekspansi dalam ranah publik seraya membidani beragam pergolakan yang memilukan. Isu Gejaya Memanggil yang ditunggangi kepentingan busuk, kabar video ambulans milik PMI dan Dinkes Pemprovinsi Jakarta yang membawa batu saat demonstrasi mahasiswa, dan Hoaks yang mengintari perkara unggahan percakapan whatsapp anak STM beberapa waktu lalu merupakan litani persoalan yang diproduksi para buzzer.

Dari serangkaian peristiwa yang terjadi belakangan ini dimaklumkan bahwa para buzzer berekspansi secara massif-sistematik seraya mengonstruksi wacana dan menyelenggarakan propaganda. Sekelompok pasukan siber yang anonime ini bergerak melalui jejaring-jejaring sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan whatsapp.

Setali tiga uang dengan hal ini, laporan penelitian berjudul“The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manupulation” yang digarap oleh Samatha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford layak dijustifikasi.  Dari hasil penelitian itu, mereka menyatakan  Buzzer di Indonesia menggunakan disinformasi dan memanipulasi media untuk menyesatkan pihak yang menjadi target. Melalui jejaring media sosial yang ada, mereka menyebarkan propaganda pro-pemerintah (pro-partai), menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi (cnnindonesia.com, diakses pada 7/10/2019).  Melalui serangkaian akun palsu, sekelompok manusia ini berusaha mendaraskan isu yang minus faktum. Mereka mengabarkan hoaks yakni tindakan yang berintensi untuk membohongi dan menjadikan sesuatu sebagai kebenaran umum. Informasi dihias sedemikian rupa, dipompa dan disebarkan guna membius dan mengalau ‘keputihan’ nalar rakyat.

Sebagaimana gagasan Mihaly Csikszentmihalyi tentang meme dalam karyanya The Evolving Self: A psychology for the Third Millenium, hemat penulis, rangkaian propaganda palsu yang disebarkan para para buzzer dalam kurun waktu terakhir adalah semacam meme yang berkelindan guna menyabotase kesadaran publik. Rangkaian opini banal yang diwartakan justru diciptakan untuk menggiring pikiran dan memformasi kesadaran baru. Otonomitas dan rasionalitas diri dibantai, lalu lumpuh dan rapuh di hadapan kedikyaan wacana yang dibidani para buzzer. Seluruh wacana dan opini banal yang dibuat justru hendak mengkolonialisasi perhatian,  kesadaran, dan keputihan idealisme (pikiran). Ekspansi pasar (baca: hoaks) ke wilayah-wilayah publik menghasilkan ‘naturalisasi’, yakni proses-proses komunikasi dalam kebebasan untuk saling pengertian dalam ruang publik diganti dengan mekanisme survival untuk mengonsumsi atau menaklukan pihak lain (Budi Hardiman (ed.), 2010: 193).

Makanya, isu Gejaya Memanggil yang ditunggangi kepentingan busuk, isu video ambulans milik PMI dan Dinkes Pemprovinsi Jakarta membawa batu saat demonstrasi mahasiswa, dan Hoaks yang mengintari perkara unggahan percakapan whatsapp anak STM beberapa waktu lalu misalnya, sangat boleh jadi merupakan  kreasi para buzzer untuk menghalau idealisme, kesadaran, dan presepsi publik dan mahasiswa. Litani opini infantil yang dibuat berintensi membonsai dan memojokan gelora demonstrasi mahasiswa dalam menolak pengesahan RKUHP, RUU pertanahan, dan Revisi UU KPK. Melalui rangkaian Meme yang beredar, barisan siber hendak meng-counter  dan menyulut animo kesadaran serta sikap kritis dari para insan muda.

Berkiblat pada Oligarki

Dalam karyanya berjudul Oligarchy, Jeffrey Winters menegaskan bangkitnya lembaga dan politik kontemporer, termasuk kemunculan demokrasi rupanya tidak menghilang oligarki dan juga tidak membuat oligarki usang secara politis (Jeffery Winters, 2011: 15).  Oligarki yang dimengertinya merujuk kepada politik pertahanan kekayaan oleh mereka yang memiliki kekayaan materi, justru tetap hadir merengkuh ruang demokrasi yang begitu luas. Para oligark (oligarch) yang berkelindan adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan kekayaan pribadi atau posisi eksklusifnya dalam ranah demokrasi.

Sepanjang sejarahnya, arus oligarki yang berkelindan mengarah pada segenap usaha mempertahankan kekayaan. Sebagaimana Winters, pertahanan kekayaan itu dilakukan dalam dua komponen yakni pertahanan harta (property defense) dan pertahanan pendapatan (income defense). Property defense mengarah pada usaha mengamankan klaim dasar atas kekayaan dan hak milik, sedangkan income defense berusaha menjaga sebanyak mungkin pendapatan dan laba kekayaan di dalam kondisi hak milik yang aman (ibid. 10). Maka dari itu, dalam frame oligarki, hal yang hendak dikultuskan ialah usaha mempertahankan kekayaan. Para Oligark memaksimalisasi keadaan, bergerak dan memainkan taktik seefektif mungkin agar kuasa material yang dimilikinya tidak direnggut atau usang sesaat.

Dalam usahanya mempertahankan kekayaan (memaksimalisasi harta) demikian, para oligark bekerja dengan mengedepankan kuasa material yang dimilikinya. Kekuasaan material ini sangat tangguh karena ia dapat menerobos masuk ke dalam berbagai realitas, kondisi, dan keadaan. Kekuasaan harta yang dimiliki para oligark menyanggupkan mereka menggunakan pasukan pelaku professional atau pun para pejabat. Mereka dibayar dengan sangat mahal untuk bekerja dan mengabdi sebagai pembela kepentingan.

Hari-hari ini, kita menyaksikan ekspansi para buzzer dalam politik. Mereka yang bergerak merupakan ‘robot ciptaan’ para oligarki yang bergerak untuk mengukuhkan kepentingan para oligark. Mereka hadir untuk meng-counter  kesadaran dan sikap kritis mahasiswa yang cukup banter terjadi dalam medio terakhir. Mereka menjadi agen legitimasi oligarki melalui usaha mewartakan isu-isu yang menyesatkan. Karena itu sebagaimana temuan Samatha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford, para buzzer yang bergerak justru dibayar dengan kisaran Rp 1 Juta hingga Rp 50 juta. Mereka hadir sebagai agen dari para politikus, partai politik, dan kontraktor pribadi demi menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai, menyerang lawan politik dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik (kompas.com, diakses pada 7/10/19).

Karena itu, para buzzer yang hadir akhir-akhir ini tidak lain adalah alat yang mengukuhkan kepentingan para oligarki. Mereka adalah pelaku-pelaku professional yang bekerja demi melanggengkan interese para oligark. Melalui kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya, kalangan buzzer hendak membangun opini banal dan merenggut kesadaran publik. Mereka membentengi segenap sikap kritis dan demonstrasi atas sejumlah kebijakan. Alhasil, kepentingan oligarki senantiasa ditahta, sementara rakyat biasa tetap binasa.

Maka dari itu, sebagaimana Antonio Gramsci, para buzzer yang bergerak adalah kalangan ‘intelektual tradisional’ yang bergerak dan melakukan aktivitasnya karena faktor ekonomi. Mereka menjadi hamba para oligark dengan bergerak dan menghegemoni kesadaran publik melalui propaganda yang krisis fakta.

Di tengah bergelimangnya propaga palsu yang dibidani para buzzer, semestinya publik terpanggil untuk mengedepankan sikap falsifikatif dalam hidup. Sebagaimana Karl Popper, yang ditekankan dalam  konsep falsifikasi ialah kualitas uji terhadap pelbagai kebenaran. Yang ditekankan di sana ialah artikulasi sikap kritis dan proses aktif untuk berpikir.

Dalam kaitannya dengan isu-isu palsu yang bertebaran akibat ulah para ‘intelektual karat’, publik semestinya mengedepankan semangat falsifikatif, dengan menyangkal, mempertanyakan dan mengkritisi realitas semu yang dihadirkan. Wacana dan data yang beredar tidak mesti ditelan secara langsung, melainkan mesti direfleksikan dan dipertanyakan segi kemasukalannya. Publik mesti berani ‘menyangkal’ dan mengedepankan kualitas uji hingga tiba pada kondisi keterpecahan serentak pemahaman radikal atas persoalan bersangkutan.

***

spot_img

Artikel Terkini