Perjuangan Perempuan Sebatang Kara di Ruteng: Tinggal di Gubuk, Menyambung Hidup dengan Jual Kue

Tinggal sendirian di sebuah gubuk kecil, Maria Goreti Lanu, perempuan 54 tahun di Ruteng, Kabupaten Manggarai berusaha bertahan hidup dengan berjualan kue. Sambil terus berjuang, ia berharap bisa mendapat bantuan hunian yang layak

Floresa.co – Di sebuah gubuk kecil di tepi Jalan Dr Soetomo, Ruteng, sekitar 100 meter ke arah barat dari RSUD Ben Mboi, Maria Goreti Lanu membereskan kue-kue yang akan dijualnya.

Di gubuk dengan panjang enam meter dan lebar satu koma lima meter itu, ia melewati hari-hari hidupnya di usianya yang sudah 54 tahun.

“Kalau dibilang sempit, ya memang tempatnya sempit. Tapi berada di tempat ini saja sudah cukup. Saya bisa tinggal dan berusaha untuk menyambung hidup,” katanya saat ditemui baru-baru ini.

Bangunan yang tampak ringkih itu terbuat dari kerangka bambu, berbalut dinding seng bekas, sementara alasnya dari sisa-sisa papan bekas.

Di bagian depan gubuk itu, terdapat sebuah gerobak kecil, tempat berapa jenis kue dipajang di dalam rak yang ditutup kaca. Di bawahnya, tampak dua buah kompor dengan sejumlah perlengkapan dapur.

Sementara di bagian belakang, di balik kain pembatas ruangan, sebuah kasur yang dibentangkan di atas papan menjadi tempatnya untuk tidur.

Keterampilan meracik adonan menjadi berbagai macam kue menjadi modal baginya untuk mencari nafkah, juga untuk bisa membayar sewa gubuk itu tiga juta per tahun.

“(Saya membuat) roti, tajupiang, donat, dan keripik pisang. Selain jual di sini, saya juga titip di empat kios. Biasanya titip 70 sampai 80 biji. Tunggu tiga hari sampai satu Minggu baru laku,” tuturnya.

Wanita dengan kartu identitas beralamat di Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong, Manggarai itu tinggal berpindah-pindah. Layak huni bukan prioritas dalam memilih kontrakan, tetapi soal ramah di kantong.

“Asalkan bisa ditempati dan saya bisa berjualan kue,” katanya.

Maria Goreti Lanu sedang beraktivitas di gubuknya, tempat ia setiap hari membuat kue, yang dijual di gubuknya, sebagian di titip di kios-kios di Ruteng. (Foto: Yohanes/Floresa)

Sebelum bisa menjalani hidup seperti saat ini, Maria yang memilih tidak menikah sudah melalui banyak perjuangan, sejak ia kecil.

Ia lahir di Golo Lebo, Elar, Kabupaten Manggarai Timur pada 16 Maret 1968, sulung dari tiga bersaudara. Saat ia masih berusia sembilan tahun, ibunya Agatha Koja meninggal dunia. Tak lama kemudain, ayahnya, Barnabas Nggalang merantau dan menikah lagi.

Ia dan dua adiknya lalu diasuh oleh saudara ayahnya.

“Saat itu kami dibesarkan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Kami tinggal di pondok di kebun. Kami tidak pernah merasakan makan nasi, hanya makan jagung dan ubi. Kami juga sering dipukul hingga berdarah-darah,” kata Maria.

Karena tidak tahan dengan perlakukan demikian, pada suatu hari yang masih terus diingatnya, 3 Maret 1982, ia melarikan diri dari pondok paman dan bibinya. Itu terjadi setelah ia mengaku dipukul oleh bibinya hingga tubuhnya berdarah.

Dari kampungnya, ia nekad berjalan kaki menuju Lengko Elar, lalu lanjut ke Ruteng.

“Saya jalan kaki ikut orang-orang yang datang sekolah di kota Ruteng. Waktu itu belum ada kendaraan seperti sekarang. Harus jalan kaki tiga hari untuk sampai di Ruteng,” kenangnya.

Di Ruteng, awalnya ia tinggal di rumah pamannya – saudara dari ibunya – hingga tiga tahun berikutnya, saat ia mendapatkan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga di rumah seorang pengusaha.

Ia juga sempat bekerja di sebuah toko di kota Ruteng. Demi menghemat biaya untuk tempat tinggal, tahun 2000 ia bekerja sambilan menjadi pengasuh orang jompo di sebuah keluarga di Ruteng.

Pekerjaan yang dilakoninya selama 14 tahun itu tanpa gaji demi mendapat tumpangan yang lebih dekat dengan toko tempatnya bekerja.

“Saya bersihkan rumah, masak, cuci, dan mandikan orang jompo,” kenangnya.

Tahun 2014, ia  mulai mencoba tinggal di rumah kontrakan yang terletak di Kelurahan Pau.

Kondisi keuangannya yang tak mengalami perubahan membuat Maria merantau ke Jakarta pada 10 Februari 2015.

Di sana, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh ayah dari majikannya yang sudah lansia.

“Majikan saya ini orang Manado. Orangnya baik hati. Saat ayahnya pindah ke Manado, saya diminta ikut ke sana untuk urus ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, majikan saya tahan supaya saya jangan pulang, tetapi saya mau pulang supaya bisa hidup mandiri di Manggarai,” tuturnya.

Maria pulang ke Ruteng pada Oktober 2019 dan langsung membeli sebidang tanah yang terletak di Kelurahan Waso.

“Saya ingin bangun rumah, tapi uang yang saya bawa dari tempat rantau hanya cukup untuk beli tanah. Ada sisa sedikit, saya jadikan modal untuk usaha bikin kue,” katanya.

Kisah tentang Maria telah sampai ke telinga Pemkab Manggarai. Siprianus Jamun, Kepala Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Pertanahan mengatakan, pihaknya akan mengecek kondisi Maria, meski belum bisa berjanji akan membantunya untuk pembangunan rumah.

Ia mengatakan, untuk tahun 2022, Pemkab Manggarai mengusulkan pembangunan 240 unit rumah di 12 kecamatan dan nama-nama penerima bantuan sudah dimasukkan ke dalam aplikasi Sistem Informasi Rumah Tidak Layak Huni.

Karena sudah masuk aplikasi, kata dia, tidak bisa diutak atik lagi.

Maria Goreti Lanu ingin memiliki rumah sendiri dan karena itu ia berharap bisa mendapat bantuan dari pemerintah. (Foto: Yohanes/Floresa)

Meski demikian, ia mengatakan akan memprioritaskan Maria sebagai salah satu calon penerima bantuan rumah tidak layak huni, dengan syarat ia bisa menanggung sebagian biaya lain di luar 20 juta rupiah yang disediakan pemerintah.

“Kalau ada alokasi untuk Kecamatan Langke Rembong dan ada calon penerima bantuan yang menolak, dalam arti tidak mampu menanggung biaya swadaya, kita prioritaskan ibu ini,” ujar Sipri.

Bisa mendapat hunian yang layak memang salah satu impian Maria saat ini, apalagi ia sudah memiliki tanah.

“Saya berharap suatu saat memiliki rumah sendiri, rumah yang dibangun di atas tanah yang saya beli,” katanya.

Untuk saat ini, impian itu memang belum bisa terwujud, jika hanya mengandalkan hasil jual kue.

“Semoga pemerintah bisa membantu saya,” katanya.

John Manasye

spot_img

Artikel Terkini