Polisi di Matim Amankan Penangkap Burung Ilegal Asal NTB

Aktivis lingkungan dan pengamat burung mengapresiasi pihak kepolisian atas "penegakan hukum yang langka ini" dan meminta polisi untuk menyelidiki motif para pelaku.

Floresa.co – Petugas kepolisian di Kabupaten Manggarai Timur (Matim) mengamankan beberapa orang warga asal Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menangkap burung secara illegal, pasca mendapat laporan dari masyarakat.

Aparat dari Polsek Kota Komba itu mengamankan delapan warga asal Sape, NTB ketika mereka sedang menangkap burung di Padang Mausui, Kelurahan Watu Nggene pada Selasa, 16 November 2021.

Dalam aksi itu, lebih dari 200 burung yang hendak diujual ke Bajawa, Kabupaten Ngada diamankan, demikian menurut keterangan polisi.

“Saat ini kami sedang menunggu petugas TWA (Taman Wisata Alam) Ruteng untuk memastikan apakah burung yang ditangkap masuk kategori satwa yang dilindungi atau tidak, sebagaimana dimaksud dalam PP No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa,” kata Kapolsek Kota Komba, Ipda I Komang Suita, Selasa malam.

Burung branjangan (Mirafra javanica), menurut berbagai sumber, merupakan spesies burung pengicau (passeriformes) yang termasuk kedalam famili alaudidae. Burung yang berwarna coklat dengan garis-garis abu-abu dan bintik-bintik ini mendiami padang rumput di sebagian besar Australia dan Asia Tenggara.

Keberadaan burung ini di alam liar memiliki fungsi ekologi yang penting, antara lain sebagai pengendali hama alami bagi berbagai komoditas pertanian.

Burung ini tidak tergolong hewan yang terancam punah dan karena itu belum termasuk dalam daftar CITES, konvensi perdagangan internasional untuk spesies terancam punah.

Yovie Jehabut, salah satu aktivis lingkungan dan pengamat burung di NTT, mengapresiasi pihak kepolisian atas “penegakan hukum yang langka ini” dan meminta polisi untuk menyelidiki motif para pelaku.

Menurut dia, dalam kasus ini, hal yang mesti diselidiki penegak hukum bukan hanya soal burung itu dilindungi atau tidak, tetapi juga terkait tindakan penangkapan secara ilegal.

“Ini bukan saja upaya menangkap pelaku kejahatan lingkungan, tetapi juga menandai dimulainya perang bagi perburuan dan perdagangan satwa di Flores, hal yang selama ini menjadi kerinduan kita semua,” katanya kepada Floresa.co.

“Ini akan menjadi era dimulainya kerja sama lintas sektoral dalam mengamankan kekayaan flora dan fauna Flores dan NTT pada umumnya,” lanjutnya.

Ia berharap, langkah ini terus dilanjutkan serta diikuti oleh kepolisian dan penegak hukum yang lain di seluruh Flores dan NTT.

“Melihat kondisi ini, seharusnya masyarakat lokal lebih aktif lagi dalam mengamankan wilayahnya agar tidak diobrak-abrik para pemburu dan pedagang satwa. Ini kekayaan kita yang tidak bisa dengan begitu mudahnya diambil untuk dibawa keluar,” ujarnya.

BACA JUGA: Peneliti: Regulasi Permanen di Tingkat Lokal Penting demi Lindungi Satwa di Flores

Kasus penangkapan liar dan penyelundupan satwa dari Pulau Flores ke wilayah lain bukan baru pertama terjadi.

Pada 25 Januari 2021, Balai Karantina Besar Pertanian (BKBP) Surabaya, Jawa Timur mengamankan 280 ekor burung yang diselundupkan dari Kabupaten Ende.

Sebelumnya, pada Mei 2020, petugas di Pelabuhan Tanjung Perak, Jawa Timur menggagalkan penyelundupan sekitar 204 ekor burung anis kembang atau geokichla interpres. Dua bulan setelahnya, burung-burung itu dilepaskan di Taman Wisata Alam Ranamese di Kabupaten Manggarai Timur.

Rosis Adir

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini